Silariang


Kasus silariang atau kawin lari di Sulawesi Selatan, sejak dulu hingga kini masih sering terjadi. Pelaku silariang tidak peduli alias tidak menghiraukan sanksi yang bakal dihadapi, meskipun harus berhadapan dengan ujung badik (ditikam). Bagi pelaku silariang, selama cinta bersemi, sanksi maut pun akan tetap dihadapi.






-----



Silariang


Oleh: Zainuddin Tika

(Wartawan/Penulis Buku)

Kasus silariang atau kawin lari di Sulawesi Selatan, sejak dulu hingga kini masih sering terjadi. Pelaku silariang tidak peduli alias tidak menghiraukan sanksi yang bakal dihadapi, meskipun harus berhadapan dengan ujung badik (ditikam). Bagi pelaku silariang, selama cinta bersemi, sanksi maut pun akan tetap dihadapi.

Dalam kasus silariang ini, pelaku tidak jarang dihadang oleh tumasiri’ (dari pihak keluarga perempuan) yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau bahkan pembunuhan.

Perempuan yang melakukan kawin lari disebut tumanyala, sedangkan keluarga perempuan yang malu akibat perbuatan si perempuan, disebut tumasiri’.

Bagi suku Bugis Makassar, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya menyangkut masalah siri’, dan di sisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana.

Kedua hukum yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus silariang saling bertolak belakang. Di satu sisi, hukum adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siri’ (malu/harga diri), tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia (orang yang membunuh pelaku silariang) dianggap sebagai pahlawan yang membela siri’-nya.

Di sisi lain, hukum pidana tidak menerima alasan kalau ada terjadi kasus pembunuhan, termasuk alasan siri’, maka pelakunya bisa dikenakan pasal pembunuhan atau penganiayaan dalam KUHP.

Pengertian Silariang


Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan dan keduanya sepakat untuk melakukan kawin lari.

Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan, tidak terbatas pada kaum pemuda dan pemudi yang belum menikah, tetapi juga berlaku bagi laki-laki dan atau perempuan yang sudah menikah.

Dr TH Chabot dalam bukunya Verwatenschap Stnd en Sexse in Suid Celebes mengatakan, perkawinan silariang adalah apabila gadis dengan pemuda / laki-laki setelah lari bersama-sama.

Pengertian silariang ini diperjelas oleh budayawan Sulsel H Moh Nasir Said dengan mengatakan, perkawinan silariang adalah perkawinan yang dilang-sungkan setelah pemuda / laki-laki dengan gadis / perempuan, lari bersama-sama atas kehendak sendiri-sendiri.

Hal senada juga disampaikan oleh Bertlin. Dalam bukunya Huwelijk en Huwelijkenreht in Zuid Celebes, Bertlin mengatakan, silariang adalah apabila gadis / perempuan dengan laki-laki setelah lari bersama atas kehendak bersama.

Dari pengertian tersebut di atas jelas bahwa kawin silariang itu apabila memenuhi syarat yakni dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan, sepakat lari bersama untuk menikah, serta menimbulkan siri’ bagi keluarga-nya dan dapat dikenakan sanksi.

Menikah di Penghulu


Perkawinan silariang ini dilakukan atas kata sepakat dari kedua pelaku silariang, yakni dari pihak laki-laki dan perempuan yang akan kawin lari,

Mereka sepakat lari bersama menuju suatu daerah untuk menikah di depan penghulu. Biasanya daerah yang dituju agak jauh dari tempat tinggal semula, bisa juga menyeberang laut, supaya jauh dari tumasiri’-nya (keluarga pihak perempuan).

Penghulu atau imam yang akan menikahkan kedua pasangan ini, terlebih dahulu menghubungi pihak keluarganya, terutama kedua orang tuanya untuk dimin-takan persetujuan atau rella.

Bilamana tidak ada persetu-juan dari orang tua, cukup keluarga dekatnya. Bila tak ada rella, maka imam dengan melihat kondisi yang ada, tetap menikahkan kedua pasangan ini menjadi suami istri. Imam khawatir, kalau tidak cepat dinikahkan, akan terjadi perzinahan dari pasangan silariang tersebut.

Siri’


Pada kawin silariang ini pula, bagi suku Makassar jelas menimbulkan siri’, utamanya bagi pihak keluarga perempuan yang disebut tumasiri’.

Dengan alasan siri’, maka pihak keluarga perempuan oleh hukum adat Makassar diwajibkan baginya untuk menegakkan siri’, bahkan tidak sedikit di antaranya penegakan siri’ ini berakhir dengan  pembunuhan pada pelaku silariang yang disebut tumannyala.

Pada zaman dulu, kala komu-nikasi belum secanggih sekarang ini, menurut budayawan Gowa H Halik Mone, anak gadis yang ada dalam rumah-tangga itu bagaikan mahkota yang harus dijaga keasliannya.
Ibarat telur, kalau pecah sedi-kit maka tidak ada lagi harganya. Orangtua maupun keluarga dari gadis tersebut tidak mengingin-kan anak gadisnya dipermainkan orang.

Selanjutnya dikatakan, seorang gadis, sangat rawan dengan siri’. Pada zaman dulu, bila seorang pemuda melihat aurat seorang gadis, maka gadis itu akan malu.

Bila seorang gadis tengah mandi di sumur yang terbuka (bukan di dalam rumah), kemudian tiba-tiba ada seorang pemuda yang lewat, dan secara tidak sengaja kain yang dipakai gadis itu melorot hingga terlihat auratnya, maka peristiwa itu bagi gadis dianggap siri’.

Untuk menutupi rasa malu, maka gadis itu minta dinikahkan. Kalau orangtua si gadis tidak setuju, maka kondisi seperti itulah yang memicu terjadinya kawin silariang.

Orangtua menginginkan, ka-lau gadis atau pemuda itu tiba masanya untuk menikah, maka mereka bisa melakukan prosesi pernikahan yang dimulai dengan acara lamaran (ajjangang-jangang). Bila lamaran diterima, tinggal ditentukan kapan pestanya.

Masalahnya, bagaimana kalau orangtua dari pihak perempuan tidak menyetujui laki-laki yang dicintai anak gadisnya, misalnya karena perilaku laki-laki itu tidak baik, sering mencuri, pemabuk, playboy, perbedaan strata sosial, atau faktor ekonomi.

Karena tidak setuju, maka lamaran dari pihak laki-laki biasanya akan ditolak. Jika lamaran sudah ditolak, lalu kedua sejoli ini ingin sehidup-semati, maka jalan yang ditempuh adalah silariang.

Silariang ini dilakukan sebagai protes atas ketidak-setujuan orangtua perempuan pada pemuda pilihannya.

Siasat


Gadis atau perempuan dengan pemuda atau laki-laki yang ingin kawin lari ini harus melakukan siasat agar tidak diketahui oleh keluarganya.

Siasat itu antara lain, si perempuan menyembunyikan sejumlah pakaiannya di semak belukar atau di rumah sahabatnya yang dipercaya tidak akan mem-buka rahasia, saat pergi mencuci pakaian di sungai.
Setelah semua sudah siap, maka laki-laki menjemput perem-puan tersebut (biasanya) pada malam hari, agar tidak banyak orang yang melihat.

Kedatangan laki-laki untuk menjemput perempuan, dilakukan dengan kode tertentu, misalnya memukul benda-benda, bertepuk-tangan, atau kode apa-pun sesuai kesepakatan mereka.

Kalau laki-laki itu sudah ada di sekitar rumah perempuan, maka perempuan itu perlahan-lahan melangkah ke pintu belakang, lalu turun melalui tangga.

Setelah keduanya bertemu, keduanya bergegas mengambil barang-barang yang disimpan di semak-semak atau di rumah sahabatnya.

Setelah semua persiapan sudah ada, maka keduanya lari ke suatu daerah menuju rumah penghulu atau imam dengan tujuan untuk meni-kah sebagai suami isteri.

Biasanya laki-laki dan perempuan yang akan lari, mengajak teman-temannya untuk mengantar ke rumah imam. Bantuan pada rekan-rekannya itu dimaksudkan, karena perjalanan pada malam hari ini sangat rawan, terutama bila diketahui oleh keluarga dari pihak perempuan. Jika ketahuan, maka bisa saja keduanya celaka, yakni mati di ujung badik (ditikam).

Keesokan harinya, setelah terjadi peristiwa kawin silariang, maka orangtua si gadis akan mencari anak gadisnya yang meng-hilang lari meninggalkan rumah.

Setelah mencari dan menda-patkan informasi, misalnya dari kampung seberang, bahwa anak gadisnya melakukan kawin silariang, maka orangtua gadis itu segera melakukan abburitta atau memberitahu kepada sanak keluarganya bahwa anak gadisnya itu melakukan kawin silariang atau a’lampa kodi (pergi meninggalkan rasa malu).

Pihak keluarga yang sudah mendapat berita itu, juga selalu siap untuk mengambil tindakan penegakan siri’ bilamana menemukan kedua pelaku yang dianggap membuat malu itu.

Pihak keluarga perempuan yang mengetahui itu, tidaklah secara sengaja merencanakan mencari kedua pelaku sampai ketemu, akan tetapi bila secara kebetulan bertemu di sebuah jalan, lantas si laki-laki tidak lari, maka ia dianggap laki-laki tidak tahu diri, dan pihak keluarga perempuan bisa bertindak memburunya.

Bila si laki-laki tidak segera meminta perlindungan, maka saat itulah biasanya terjadi peristiwa berdarah. ***


------
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama