Banyak Berkorban untuk UNM


BANYAK BERKORBAN. “Kepercayaan Pak Idris kepada saya sangat tinggi. Beliau itu cukup sering berkorban untuk UNM. Pekuburan UNM yang berlokasi di daerah Limbung, Gowa, itu dibeli dengan uang pribadi beliau dan uang itu tidak diganti oleh UNM. Mungkin tidak banyak yang tahu, tapi saya tahu karena saya sangat dekat dengan beliau,” tutur Basri Wello.






-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 24 Agustus 2015


Banyak Berkorban untuk UNM


(Kenangan Prof Basri Wello tentang Almarhum Prof Idris Arief)

Perkenalan antara Prof Muhammad Basri Wello MA dengan almarhum Prof Idris Arief MS berlangsung di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Makassar (sekarang Universitas Negeri Makassar/UNM) sebagai sesama dosen.

Namun mereka menjadi lebih akrab pada sekitar tahun 1983. Ketika itu, Basri Wello menjabat Sekretaris Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (YPUP) dan Idris Arief mulai membangun Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya.

“Waktu itu, mahasiswa STIE YPUP dan ABA YPUP sedang booming. Pendaftar calon mahasiswa barunya saja lebih dari 1.000 orang, karena STIE YPUP adalah sekolah tinggi swasta pertama yang mendapatkan izin membuka program studi S1 Manajemen dan S1 Akuntansi,” ungkap Basri.

Karena jumlah pendaftarnya sangat banyak dan tak mungkin ditampung semuanya, maka STIE YPUP terpaksa melakukan seleksi dan hanya menerima sesuai kapasitas ruangan dan rasio dosen yang ada.

“Mungkin karena tahu bahwa kami menolak mahasiswa, Pak Idris menelpon saya. Pak Idris bilang, kirim sebagian calon mahasiswanya ke STIEM Bongaya. Atas permintaan itu, saya kemudian memberi rekomendasi kepada sejumlah calon mahasiswa untuk mendaftar di STIEM Bongaya,” ungkap Basri.

Sejak itulah mereka berdua menjadi akrab, apalagi mereka pun sering bertemu dalam berbagai pertemuan sebagai sesama pengelola perguruan tinggi swasta (PTS).

Ketika Idris Arief menjabat Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) Universitas Negeri Makassar, Basri Wello mendapat amanah sebagai Kepala Humas UNM.

Ketika Idris Arief terpilih sebagai Wakil Rektor II, Basri Wello juga terpilih sebagai Wakil Dekan Tiga (WD-3) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS).

“Sewaktu beliau terpilih jadi rektor (Rektor UNM periode 1999-2004), saya salah satu yang diminta jadi pembantunya. Waktu itu saya Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan sedang sibuk-sibuknya mengurus program D3 (Diploma Tiga) Bisnis English. Beliau meminta saya menjadi Wakil Rektor III dan disetujui dalam rapat senat,” papar Basri.

Selama mendampingi sebagai Wakil Rektor III, Basri Wello merasa dirinya sangat dipercaya oleh Idris Arief.

“Kepercayaan Pak Idris kepada saya sangat tinggi. Beliau itu cukup sering berkorban untuk UNM. Pekuburan UNM yang berlokasi di daerah Limbung, Gowa, itu dibeli dengan uang pribadi beliau dan uang itu tidak diganti oleh UNM. Mungkin tidak banyak yang tahu, tapi saya tahu karena saya sangat dekat dengan beliau,” tutur Basri.

Pekuburan UNM di Limbung Gowa, awalnya disepakati dibeli dengan memotong gaji dosen dan pegawai, tetapi banyak yang protes, akhirnya gaji dosen dan pegawai dikembalikan dan Prof Idris Arief sebagai rektor, membelinya dengan menggunakan uang pribadi.

“Waktu itu kebetulan sedang Krismon (krisis moneter), sehingga banyak kegiatan kemahasiswaan yang tidak jalan. Kalau ada yang mau dibayar, misalnya rekening listrik atau gaji pegawai, dan kebetulan tidak ada uang di kas UNM, maka Pak Idris biasanya memakai uang pribadinya untuk membayar dan itu tidak ada dalam laporan keuangan,” kata Basri.

LKTI Tingkat Nasional

Menurut dia, Prof Idrsi Arief sebenarnya tergolong pemimpin konservatif, tetapi tetap terbuka menerima masukan-masukan dan kritikan.

Salah satu contohnya, ketika Basri Wello menghadiri pertemuan Wakil Rektor III PTN se-Indonesia di Jakarta, dan melihat ada peluang bagi UNM untuk menjadi tuan rumah Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Nasional, maka dirinya langsung menelpon Prof Idris.

“Saya sampaikan bahwa kita (UNM) punya peluang jadi tuan rumah dan mendapat dukungan dari PTN lain. Pak Idris ternyata setuju dan para peserta rapat pun gembira, karena mereka memang menginginkan Makassar jadi tuan rumah,” urainya.

Setelah kembali dari Jakarta dan dilakukan rapat di UNM, akhirnya diputuskan menunjuk Prof Arismunandar (sekarang Rektor UNM) sebagai Ketua Panitia.

Tegas tapi Tidak Kaku

Tentang gaya kepemimpinan Prof Idris Arief sebagai Rektor UNM, Basri Wello mengatakan Prof Idris sangat hati-hati dalam kepemimpinannya, sehingga terkesan tegas, tetapi tidak kaku.

“Beliau kadang-kadang susah menerima masukan, tetapi saya tahu cara masuknya, sehingga masukan-masukan saya cepat diterima,” katanya.

Diangkat jadi WR-4

Ketika Prof Idris Arief terpilih kembali menjadi Rektor UNM (periode 2004-2008), Prof Basri Wello lagi-lagi diminta sebagai salah seorang pembantunya.

“Waktu itu saya sedang di Mekkah menunaikan ibadah haji. Beliau telepon dan meminta kesediaan saya untuk jadi WR-4. Saya bilang kalau itu dianggap cocok, saya siap saja,” ujarnya.

Dosen Senior Melanggar

Kedekatan Prof Idris Arief dengan Prof Basri Wello memang sulit diukur, karena Prof Idris selalu menyampaikan dan meminta pendapat Prof Basri jika ada masalah yang dihadapi, termasuk persoalan-persoalan pribadi.

“Beliau sangat menjaga perasaan orang lain, apalagi terhadap dosen yang lebih senior. Kalau ada dosen senior yang melanggar atau melakukan sesuatu yang kurang etis, maka beliau hanya bilang; mau diapa lagi, dia lebih senior, seharusnya dia yang memberitahu kita,” paparnya.

Bukan Sekadar Pimpinan

Karena kedekatannya dengan Prof Idris, maka dirinya sering diminta menemani dalam satu mobil jika ada perjalanan darat ke luar kota.

“Beliau juga sering memanggil saya ke ruangannya untuk ngobrol-ngobrol,” ungkap Basri.

Kedekatan itu membuat Basri Wello bukan hanya menganggap Idris Arief sebagai pimpinan, melainkan juga sebagai kakak atau orangtua.

Tak Pernah Marah

Selama kurang lebih 10 tahun mendampingi sebagai Wakil Rektor, tak pernah sekali pun Basri Wello mendapat amarah dari Idris Arief. Basri Wello juga tak pernah melihat Idris Arief marah kepada orang lain.

“Kalau ada yang bikin kesalahan, beliau tetap mengkomunikasikannya dengan baik dan bijak,” kata Basri. (asnawin)


-----------
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama