Rahman Arge: Diciduk Demi Membela Korps Wartawan


RAHMAN ARGE. Antara tahun 1972-1992, almarhum  memimpin organisasi wartawan Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Makassar hingga berubah menjadi PWI Cabang Sulawesi Selatan sebelum digantikan HM Alwi Hamu. Arge pernah menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan dua periode, dan anggota DPR/MPR RI satu periode.





-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Agustus 2015


Riwayat Hidup Rahman Arge:

Diciduk Demi  Membela Korps Wartawan


Oleh: M. Dahlan Abubakar
(Sekretaris PWI Sulsel 1988-1992)

Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun. Pada hari Senin, 10 Agustus 2015 pukul 09.45 Wita, berpulang ke rakhmatullah Bapak Abd.Rahman Gega, yang akrab disapa Rahman Arge atau Arge. Almarhum dilahirkan di Makassar 17 Juli 1935, meninggalkan seorang istri, IBU WIEDARNARSIH dan 5 orang anak, masing-masing: M Yuniar Arge, Amalia Arge, Fajar Arge, Upika Raina Arge, dan Ani Nurani Arge, beserta 10 cucu.

ALMARHUM adalah seorang yang multi talenta. Pada dirinya, melekat sejumlah predikat; sebagai budayawan, seniman, aktor, penulis naskah puisi/drama/skenario film, politisi, dan tentu saja wartawan.

Jejaknya sebagai wartawan berawal pada tahun 1955 bersama sahabatnya yang sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah, Arsal Alhabsy. Semula, almarhum hampir menjadi pegawai Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda. Tetapi, Arsal selalu mengajaknya bergaul dengan M Basir, Salman AS, LE Manuhua, dan Achmad Siara.

Dari mereka itulah, Arge menemukan atmosfir dan suasana tentang betapa idealnya menjadi wartawan. Mulailah Arge dan Arsal ‘magang’ di Pedoman Rakyat dan Marhaen. Di  PR keduanya dibimbing langsung oleh M Basir. Arge ditugasi menulis sebuah opini tentang sebuah fakta. Arsal menulis tentang kehidupan kelas menengah dengan judul ’’Paradoks’’. Arge mengambil tema mengenai hari Imlek.

Hasan Raja Loa, wartawan senior waktu itu, pada tahun 1956 membuka satu sekolah jurnalistik, setingkat SMA. Namanya, Amana Gappa College. Pengajarnya, Hasan Usman, Mewengkang, M Basir, LEManuhua, dan wartawan senior yang lain.

Muridnya antara lain, Arge, Arsal, dan Azis Husain (almarhum).  Hanya bertahan 2 tahun, Amana Gappa College pun bubar. Beruntung, Arge dkk sudah memperoleh pengetahuan dasar mengenai teknik-teknik jurnalistik. Meski pernah mengikuti sekolah jurnalistik, Arge dan Arsal tetap magang di ‘’PR’’.

Antara tahun 1958 dan 1959, Arsal sudah punya rubrik atau kolom jurnalistik dan sastra di ‘’PR’’. Arge malah menulis di Marhaen, langsung berada di bawah Salman AS.

Pada tahun 1959, karena banyak meliput pada strata kelas menengah, "PR" membuka rubrik minggu yang menampung tulisan yang ringan-ringan. Muncul pula sebuah lembaga yang menamakan dirinya Lembaga Seni dan Film Rakyat (LESFIRA) yang dipimpin Henk Rondonuwu yang juga termasuk salah seorang wartawan senior, bahkan internasional.

Henk Rondonuwu juga terlibat dalam pembuatan teater dan film. Lembaga yang dipimpinnya, LESFIRA pun membikin film. Arge sebagai salah seorang wartawan dan kala itu berusia sekitar 23 tahun. Ia menjadi salah seorang pemeran utama film tersebut. Sutradaranya dari Jakarta. Ternyata, di balik lembaga ini terselip aspek politik. LESFIRA dituding sebagai kelompok Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Di sudut Jl. Bawakaraeng dengan Lapangan Karebosi sekarang ini, Arge dkk membentuk Lembaga Kebudayaan Indonesia Sulawesi Selatan. Perfilman menjadi bagian dari lembaga ini. Waktu itu diproduksi satu film berjudul Prajurit Teladan, yang  merupakan produk bersama antara Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan Tenggara, LESFIRA, dan pemilik modal. Arge memegang peran utama dalam film tersebut.

Persoalan politik masuk. Arge masih bekerja di Harian Marhaen yang merupakan penerbitan dari Kelompok PNI yang jelas anti Permesta. Arge kemudian dipanggil Achmad Massiara dan Salman AS.

Arge berada di dalam posisi yang dilematis. Tiga hari kemudian, Arge datang ke Kantor Marhaen dan menyatakan keluar dari Marhaen.

Dia malu jika kembali ke Marhaen. Rencana mundur dari penerbitan tersebut sudah diceritakan dan diketahui keluarga. Tetapi, ketika syuting film Prajurit Teladan di lapangan Karebosi menjelang 30%-40% dan Ani Kesuma termasuk salah satu bintangnya, pihak LESFIRA giliran mengadili Arge. Karena berprinsip Bugis, setelah keluar dari Marhaen, Arge juga memilih keluar dari LESFIRA.

Pada tahun 1960 Arge  menjadi penulis freelance. Beruntung dia punya teman seorang Arsal Alhabsy. Dia termasuk seorang yang penuh inisiatif dan menerbitkan  mingguan politik SWARA. Bersamaan dengan terbitnya SWARA, partai politik pun mulai menanamkan pengaruhnya. Selain sebagai wartawan,  Arge juga bekerja sama dalam pementasan teater dengan beberapa orang.  

Lalu muncullah Radjadin Daeng Lau bersama Ramiz Parenrengi menerbitkan Mingguan Bawakaraeng dalam bentuk majalah. Arge, Arsal, dan Ramli Otoluwa (Ramto) tetap menerbitkan SWARA dalam bentuk tabloid.
SWARA berada dalam tiga kekuatan. Di Makassar ada  Komando Militer Kota Besar (KMKB) dan komandannya adalah Syamsuddin Djanggo, ayah Letjen TNI Syafrie Syamsuddin (mantan Wakil Menteri Pertahanan).

Pada saat Kodam dipimpin Pak Sayidiman, almarhum Syamsuddin DL dipecat sebagai Ketua PWI. Dia dianggap insubordinasi. Melalui Harian Tegas, Pak Syam – demikian tentara yang juga wartawan dan pengurus PSM ini karib disapa -- menulis pojok yang intinya melawan pemecatan tersebut.

"Kalau tidak di dunia, nanti kita ketemu di akhirat," begitulah kurang lebih salah satu kalimat yang digores Pak Syam.

Arge selaku Wakil Ketua PWI, jelas membela ketuanya. Maka, keluarlah tulisan di Harian Tegas bertajuk "Kepemimpinan ABRI di Sulselra Memakai Gaya Napoleon Bonaparte."

Ternyata, gara-gara tulisan itu, Arge diciduk. Belakangan setelah persoalan selesai, Arge memperoleh informasi yang mengerikan. Panglima Kodam XIV Hasanuddin pengganti Sayidiman, Brigjen TNI Azis Bostan, berkisah kepada Arge yang saat itu ditemani Arsal dan Ramiz Parenrengi.

Kata Pak Azis Bustan, karena Arge diketahui sering pulang pukul 03.00 dinihari dari Percetakan Bakti Baru, itu sudah dipetakan oleh para intel dan tukang pukul. Arge sudah dibidik sebagai salah seorang yang tidak disukai Kodam dan masuk dalam daftar orang yang akan ’dihilangkan’.

Skenarionya, ada truk yang mengangkut bambu yang akan menggeser dan menginjaknya ketika menggoyang sepeda saat pulang. Tapi, skenario itu batal, karena tiba-tiba Pangkopkamtib Sumitro saat itu, mengetahui permasalahan tersebut. Sekjen PWI Pusat Hadi pun diutus ke Makassar menengahi persoalan ini. Pak Sayidiman bilang, kita berunding lagi. Arge pun diundang.

Antara tahun 1972-1992, almarhum  memimpin organisasi wartawan Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Makassar hingga berubah menjadi PWI Cabang Sulawesi Selatan sebelum digantikan M.Alwi Hamu. Arge pernah menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan dua periode dan anggota DPR/MPR RI satu periode.

Bersama Mahbub Junaidi dia menerbitkan Koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan. Juga menerbitkan majalah Suara, Esensi, Intim, Harian Pembaharuan, dan Pos Makassar.

Di bidang kesenian pernah dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulawersi Selatan. Almarhum termasuk pendiri Teater Makassar dan beberapa kali mengikuti festival teater di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang dan Japan Foundation memberinya penghargaan dan kesempatan berkeliling Jepang pada tahun 1980.

Pada tahun 1993-1997 Arge dilantik sebagai Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Pusat dan kemudian duduk sebagai Anggota Dewan Penasihat PARFI Pusat. Pada tahun 2003 almarhum pernah duduk sebagai anggota Panitia Kongres Kebudayaan Nasional.

Rangkuman dari ratusan tulisannya dihimpun menjadi buku dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas dengan judul ’’Permainan Kekuasaan’’.

Pada tahun 1977 almarhum memperoleh Anugerah Seni dan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003. Di bidang jurnalistik pernah memperoleh penghargaan sebagai Penegak Pers Pancasila atas jasanya melawan PKI.

Dari dulu, dia dikenal sebagai penulis esei handal. Tulisannya dimuat   di berbagai media cetak. Mulai dari tingkat nasional hingga lokal Sulawesi Selatan. Terakhir, Arge rutin mengisi kolom di Harian Fajar Makassar.

Sebagai seorang penulis puisi, karyanya pernah dimuat di majalah Horison, Budaya Jaya, dalam antologi ‘Sajak-sajak dari Makassar’ (1974) dan Antologi Puisi ASEAN (Buku I, 1978).
Sebagai dramawan, sudah tak terhitung banyaknya drama yang pernah dia lakoni. Begitu pula sebagai penulis skenario. Dia sering menulis naskah drama yang kebanyakan berwarna lokal Bugis-Makassar. Juga sering menulis karya terjemahan dari pengarang-pengarang terkenal Eropa.

Sebagai seorang aktor,  di bidang perfilman nasional dia meraih  Piala Citra Harapan pada Festival Film Indonesia (FFI) di Makassar pada tahun 1978. Wajahnya pernah muncul di layar perak dalam beberapa judul film antara lain Latando di Toraja, dan Senja di Pantai Losari serta Embun Pagi garapan Djamaluddin Effendy.

Rahman Arge telah pergi.  Dia seorang guru jurnalistik bagi para wartawan muda. Direktur Utama Fajar Group, H.M.Alwi Hamu, dengan jujur mengakui,  almarhum adalah gurunya.

"Dia itu guru saya,’’ Alwi yang mantan Ketua PWI Sulsel mengakui.

Almarhum pernah berkata, ketika seorang penulis meninggal dunia, dia memiliki dua batu nisan. Satu batu nisan di atas pusaranya, dan satu batu nisan lainnya adalah tulisan-tulisannya yang dibaca oleh setiap orang yang mengaguminya.

Kini, apa yang dikatakannya itu almarhum Rahman Arge menunaikannya sendiri. Selamat jalan senior..***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama