PWI, Muhammadiyah, dan Pilkada


Pertanyaannya sekarang, haruskah kita memilih pemimpin yang ideal sesuai syarat dan kelaziman? Haruskah kita berdebat panjang untuk memilih pemimpin yang ideal? Haruskah kita pasrah mengikuti proses yang terjadi dalam pemilihan pemimpin?





------


PWI, Muhammadiyah, dan Pilkada


(Menyoroti Anomali Pemilihan Pemimpin)

Oleh: Asnawin
(Pengurus PWI Sulsel/Muhammadiyah Sulsel)

Secara organisasi, tidak ada hubungan antara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan Muhammadiyah. PWI adalah organisasi profesi, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam.

PWI (lahir pada 1946) dan Muhammadiyah (lahir pada 1912) juga tidak mungkin terlibat secara langsung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Presiden (Pilpres), karena keduanya bukan partai politik.

Tulisan mengenai PWI, Muhammadiyah, dan Pilkada perlu diturunkan dan dibahas, karena kebetulan PWI Provinsi Sulawesi Selatan akan melaksanakan Konferensi Cabang/Provinsi (Konfercab/Konferprov) di Makassar untuk memilih pengurus baru pada akhir Oktober 2015.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan juga akan menggelar Musyawarah Wilayah (Musywil) di Palopo untuk memilih pengurus baru pada akhir Desember 2015.

Pada tahun ini juga (Desember 2015), sebelas kabupaten di Sulsel akan menggelar Pilkada serentak. Secara kebetulan, periode kepengurusan PWI dan Muhammadiyah sama-sama lima tahun. Artinya, sama dengan periode pemerintahan (pusat dan daerah) di Indonesia.

Di sinilah antara lain letak persamaan atau titik temu antara Konfercab/Konferprov PWI Sulsel, Musywil Muhammadiyah Sulsel, dan Pilkada serentak di Sulsel. Sama-sama memilih ketua atau pemimpin, dan sama-sama pula kerap mengalami anomali.

Anomali di PWI

Pemilihan ketua dan pengurus baru di PWI (provinsi/kabupaten) dilakukan melalui konferensi. Sebutannya Konferensi Cabang (Konfercab) atau Konferensi Provinsi (Konferprov) untuk tingkat provinsi, dan Konferensi Perwakilan atau Konferensi Kabupaten untuk tingkat kabupaten.

Yang berhak dipilih sebagai calon Ketua PWI Provinsi adalah Anggota  Biasa PWI sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan diutamakan yang pernah menjadi Pengurus Pleno PWI Cabang/Provinsi. Syarat tersebut tertuang dalam Pasal 17, ayat (6), huruf a, Peraturan Dasar PWI.

Artinya, calon Ketua PWI Cabang/Provinsi adalah orang yang sudah melalui proses panjang sebagai wartawan, sudah melewati jenjang Wartawan Anggota Muda di PWI, serta sudah mengetahui seluk-beluk dan dinamika yang terjadi di PWI.

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia).

Faktanya, ketua PWI Cabang/Provinsi yang terpilih tidak selamanya wartawan yang benar-benar berangkat dari bawah sebagai seorang reporter, kemudian menjadi redaktur, dan selanjutnya menjabat pemimpin redaksi.

Ketua PWI Cabang/Provinsi juga kadang-kadang bukan dari pengurus harian yang telah mengenal dengan baik dan mengalami dinamika kepengurusan selama minimal satu periode.

Terjadinya anomali seperti itu, terutama disebabkan karena calon ketua PWI tidak hanya harus memenuhi syarat ideal, tetapi harus pula memiliki berbagai syarat lainnya, terutama syarat realitas seperti fasilitas dan jaringan.

Anomali di Muhammadiyah

Pemilihan ketua Muhammadiyah juga berbeda dibandingkan pemilihan ketua Ormas pada umumnya. Ormas umum dan Ormas Islam pada umumnya memilih langsung ketua saat kongres, muktamar, atau musyawarah, tetapi muktamar atau musyawarah di Muhammadiyah tidak memilih secara langsung ketuanya.

Proses pemilihan ketua di Muhammadiyah diawali dengan pengusulan masing-masing 13 nama calon pimpinan (bukan calon ketua) dari tingkat bawah. Nama-nama yang diusulkan dari bawah tersebut, oleh panitia pemilihan kemudian dikirimi formulir pengisian biodata sekaligus pernyataan BERSEDIA atau TIDAK BERSEDIA dipilih sebagai calon pimpinan.

Nama-nama yang bersedia dipilih kemudian diseleksi kelengkapan biodata dan berkasnya. Nama-nama yang memenuhi syarat kemudian dibawa ke Tanwir (untuk pemilihan pimpinan pusat) atau ke Musyawarah Pimpinan (untuk pemilihan pimpinan wilayah atau pimpinan daerah).

Tanwir atau Musyawarah Pimpinan selanjutnya memlih dan menetapkan 39 nama calon pimpinan pusat atau pimpinan wilayah. Ke-39 calon tetap itulah yang kemudian dipilih pada muktamar atau Musywil.

Muktamar atau Musywil memilih 13 pimpinan harian berdasarkan urutan perolehan suara. Selanjutnya ke-13 pimpinan harian terpilih melakukan musyawarah internal untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai ketua.

Peraih suara terbanyak tidak otomatis menjadi ketua, tetapi bergantung kesediaan yang bersangkutan, dan juga bergantung pada proses yang terjadi dalam rapat internal di antara 13 pimpinan harian terpilih.

Tidak hanya sampai di situ. Ketua Muhammadiyah juga tidak harus diambil dari 13 pimpinan harian terpilih. Jika di antara 13 pimpinan harian terpilih, tidak ada yang bersedia menjadi ketua, maka mereka bisa saja meminta kesediaan salah seorang kader terbaik untuk menjadi ketua Muhammadiyah.

Di sinilah anomali atau ketidak-laziman yang terjadi pada proses pemilihan ketua Muhammadiyah, tetapi justru anomali itulah yang melahirkan ketua yang benar-benar berkualitas, karena mereka adalah kader organisasi yang telah melalui proses panjang sebagai kader dan pengurus Muhammadiyah.

Anomali di Pilkada

Berbeda dengan pemilihan pemimpin (ketua) di PWI dan di Muhammadiyah, anomali yang terjadi pada Pilkada gubernur/walikota/bupati, biasanya sudah terlihat sejak proses awal hingga akhir.
Idealnya, calon gubernur/walikota/bupati adalah orang yang benar-benar berpengalaman di pemerintahan dan tidak harus kaya.

Syarat ideal lainnya adalah calon gubernur/walikota/bupati harus mengenal dengan baik daerah yang akan dipimpinnya, merakyat atau dikenal oleh rakyat setempat, serta memiliki rekam jejak (track record) yang jelas. Artinya, calon gubernur/walikota/bupati memang benar-benar tokoh yang dianggap pantas menjadi pemimpin.

Faktanya, pamong senior akan sulit mendapatkan dukungan partai politik kalau tidak memiliki uang dalam jumlah besar untuk biaya pendaftaran, dan juga akan kesulitan mencari dukungan masyarakat kalau tidak memiliki uang yang banyak untuk ongkos politik.

Akademisi (dosen) yang memiliki pengetahuan dalam bidang pemerintahan, serta memiliki keinginan memimpin sebuah daerah, juga akan mengalami hal yang sama jika kantongnya tidak cukup tebal.
Maka, calon gubernur/walikota/bupati pun didominasi oleh pengusaha dan politisi yang kebanyakan tidak memiliki pengalaman dalam bidang pemerintahan, bahkan tidak sedikit di antara mereka usianya tergolong masih sangat muda.

Mereka berhasil lolos sebagai calon gubernur/walikota/bupati, karena umumnya berkantong tebal dan atau memiliki pendukung yang berkantong tebal untuk membayar atau membiayai ongkos politik yang umumnya sangat mahal.

Pertanyaannya sekarang, haruskah kita memilih pemimpin yang ideal sesuai syarat dan kelaziman? Haruskah kita berdebat panjang untuk memilih pemimpin yang ideal? Haruskah kita pasrah mengikuti proses yang terjadi dalam pemilihan pemimpin?

Mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan dan tentu saja akan banyak jawaban yang dapat muncul dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Namun ada satu hal yang seharusnya selalu mengusik nurani kita, yaitu tanggungjawab moral untuk memperbaiki atau menata proses yang pemilihan pemimpin (organisasi/pemerintahan), agar tercipta suasana yang kondusif dan terpilih pemimpin yang ideal untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

---
Keterangan:
-- Artikel opini ini dimuat Harian Tribun Timur, pada halaman 23, Sabtu, 24 Oktober 2015.

1 Komentar

  1. Terima kasih Tribun Timur atas dimuatnya artikel opini ini pada halaman 23, edisi Sabtu, 24 Oktober 2015...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama