Tumbuhkan Budaya Inovasi dan Kompetisi


Norma-norma sosial dan nilai budaya menjadi kontrol atas berlangsungnya kompetisi yang rasional dan sehat. Kompetisi diarahkan pada kegiatan produktif dan etos kerja tinggi, bebas dari sifat “kecemburuan sosial” terhadap prestasi yang dicapai oleh seseorang.




---------


Tumbuhkan Budaya Inovasi dan Kompetisi


Oleh : Prof Abu Hamid

Wujud kebudayaan harus dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Fungsi dan sistem ini, memberi pedoman bagi masyarakat dalam hal bersikap dan berperilaku, atas kontaknya dengan lingkungan alam dan sosial di mana mereka berada.

Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan pendukungnya untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat.

Kebudayaan sebagai suatu sistem, dimiliki oleh anggota masyarakat melalui proses belajar, sejak ia lahir sampai ajal menjemputnya. Kebudayaan mengatur kehidupan kita setiap saat, sadar atau tidak mengenai hal ini, rupanya ada tekanan untuk mengikuti dan membentuk perilaku kita sesuai apa yang telah diciptakan oleh pendahulu kita.

Banyak lagi penjelasan tentang dimensi kebudayaan seperti terlukis dalam buku C. Kuckhohn. Pandangan seperti ini melihat kebudayaan sebagai “warisan” yang tidak perlu diganggu, cukup mengikuti saja apa yang sudah ada, adalah suatu realitas yang sudah diciptakan dan sudah dilembagakan.

Apabila kebudayaan dipandang sebagal warisan sosial dengan segala yang tampak berupa perilaku dan benda-benda produk, kegiatan penelitian terhadapnya, tentunya idea yang sudah terbentuk dalam kelompok etnik, seperti halnya yang diperhatikan adalah berupa benda-benda fisik yang sudah jadi.

Masih berkisar pada pandangan ini, dikatakan bahwa setiap kebudayaan merupakan susunan teknik-teknik adaptasi atau strategi terhadap ekosistem dan memperoleh input dari luar.

Strategi adaptif tersebut lahir dari dalam masyarakat melalui lembaga yang berfungsi evaluatif, selektif, dan dinamik mengembangkan semua aspek-aspek kebudayaan dan memproduksi output berupa perilaku pemangku kebudayaan.

Semua itu adalah hasil kearifan budaya atau semacam local knowledge yang menjadi sumber perkembangan budaya secara luwes melalui proses transformasi.

Apabila ilmuwan sosial mengandalkan penelitian terhadap proses perubahan masyarakat dan kebudayaan, maka yang menjadi perhatian mereka adalah perubahan bentuk, fungsi, dan peranan dari yang lama kepada yang baru, berarti pembaharuan ide-ide, pergeseran perilaku dan perubahan wujud benda fisik yang sudah ada atau yang sedang terjadi.

Dalam hubungan dengan pendapat, bahwa kebudayaan menimbulkan berbagai kebutuhan dan kepentingan, serta menyediakan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain kebutuhan primer, lebih besar biayanya adalah kebutuhan kebudayaan, seperti kebutuhan tentang gengsi sosial, gaya hidup, dan keinginan berprestasi.

Kepentingan politik untuk posisi tertentu, menimbulkan berbagai konflik sosial, dalam arti konflik kepentingan, namun dalam kebudayaan itu sendiri sudah tersedia resep untuk meredam konflik, hanya anggota masyarakat belum menemukan resep tersebut.

Kebudayaan yang dilihat dari aspek waktu, ia memiliki pancaran sejarah, yaitu aspek sejarah masa lalu, biasa dalam bentuk baru yang sudah mengalami seleksi, berkembang secara transformatif, akhirnya sampai pada kita.

Penemuan dan invention baru, material dan ideologis, serta sistem kepercayaan, dipersiapkan oleh kelompok individu melalui kontak-kontak historis dengan individu lain atau dicipta oleh kelompok sendiri.

Akumulasi sejarah berbagai warisan sosial, anak manusia yang lahir dari warisan tersebut melanjutkannya, biasanya dalam bentuk yang sudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan perkembangan masyarakat.

Uraian ringkas tensebut di atas, adalah pandangan yang melihat kebudayaan sebagai warisan yang sudah jadi dengan fungsinya yang transformatif, dijadikan latar untuk uraian selanjutnya dalam kesempatan ini.

Daya Cipta

Hampir semua unsur-unsur kehidupan ini sudah mengalami transformasi atas perubahan waktu, terjadinya penemuan baru, dan adanya difusi unsur budaya asing dan luar.

Menurut teori transformasi, bahwa beberapa unsur budaya, gugur karena tidak diperlukan lagi dan yang lainnya berlanjut terus dengan modifikasi tertentu.

Unsur budaya yang gugur tersebut, adakalanya muncul kembali dengan konsep yang diperbaharui dan interpretasi yang baru pula. Sementara unsur yang berlanjut, karena gagasan dan nilai yang dikandungnya masih disadari pentingnya oleh sebagian anggota masyarakat. Transformasi bisa membawa pembaharuan dan mungkin pula membawa kemerosotan, bila daya selektivitas kurang memadai.

Transformasi tradisi, disebut demikian sejak kehidupan manusia tergantung atau ditentukan oleh alam, namun secara perlahan manusia mencipta dan memajukan kebudayaannya.

Pewarisan budaya secara simbolis, secara tradisi lisan/tulisan, melalui kultus, nitus-nitus dan sistem kepercayaan, inilah yang dipelajari dan disadari oleh generasi masyarakat sekarang.

Pertanyaan yang muncul, apakah masih perlu dianut ajaran teori transformasi dalam keadaan masyarakat yang serba cepat, dengan pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi canggih sekarang ini.

Kondisi pemerintah dan kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan mendasar yang tentunya berpengaruh pada budaya bangsa. Selain perkembangan globalisasi dan modernisasi bidang-bidang kehidupan, adalah konsekuensi pula yang berpengaruh terhadap kebudayaan.

Sudah lama Soedjatmoko telah memperingatkan pada kita suatu konsep “Revolusi Pengetahuan” yang harus digunakan secara konsekuen dan kemampuan ilmu pengetahuan untuk keperluan industrial.

Inovasi dan invensi tidak lagi merupakan peristiwa insidentil, tetapi harus merupakan hasil pencarian ilmiah yang direncanakan dan diatur secara sadar. Pengerahan ilmu pengetahuan terhadap pengembangan masyarakat dan kebudayaan, seharusnya perantaraan penelitian dan pengembangan yang berorientasi penemuan.

Temuan-temuan dari hasil pengerahan ilmu pengetahuan, bukan temuan reduplikasi atau semacam inventarisasi, melainkan sesuatu yang bisa membawa perubahan dan pembaharuan, bila dimanfaatkan.

Kenyataan sekarang, hampir semua instansi sudah memiliki lembaga penelitian, namun hasil penelitian tersebut belum diolah, apalagi dipergunakan.

Revolusi pengetahuan yang menyangkut masalah mendasar, sudah berjalan di negara-negara maju atau negara industri. Pengaruhnya terhadap kemajuan ekonomi industri, makin maju pesat dan makin kaya, sementara negara berkembang terlambat dan makin miskin.

Kemajuan negara maju tersebut, membangkitkan kekuatan sosial sebagai akibat inovasi dan invensi atas pengerahan pengetahuan melalui penelitian berencana dan mendalam, telah mengubah kehidupan manusia dalam paruh kedua abad ke-20.

Dalam abad 21 ini, negara maju sudah melaju dengan pembuatan barang-barang sintetis, penyaringan air laut untuk keperluan irigasi, pengolahan bahan mentah menjadi bahan siap pakai, dan kemajuan lainnya.

Konsep revolusi pengetahuan, rupanya ada kemiripan dengan konsep Thomas S. Khun, menganjurkan supaya berguru pada sejarah yang harus menjadi titik pangkal penelitian.

Dikatakan bahwa perubahan mendalam haruslah melalui revolusi ilmiah, bahwa kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner, bertentangan dengan sebelumnya, bahwa ilmu pengetahuan maju secara komulatif.

Khun adalah filosof yang berorientasi pada sejarah ilmu. Konsep pokok Khun ialah paradigma yang dapat ditafsir sebagai cara pandang terhadap dunia dan praktek ilmiah konkrit.

Marilah kita maknai konsep revolusi pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang sifatnya harus sistematis dan objektif dalam aspek dinamis dan kreatif, yaitu kegiatan manusia kreatif, senantiasa mengejar pengetahuan baru, selalu tergugat jiwa dan pikirannya untuk menemukan sesuatu yang berguna, tanpa pernah puas atas semua temuannya itu.

Semua komponen sosial, diharapkan memiliki sikap demikian, terutama kaum intelek yang merasakan diri alumnus Perguruan Tinggi. Tidak terbatas pada kaum intelek saja, namun pemimpin organisasi dan tokoh masyarakat disyaratkan selalu bersikap sebagai pengejar dan penemu konsep baru.

Apakah Pendidikan Tinggi perlu menjadi Research University atau membuat program studi doktor peneliti? Semua ini merupakan alternatif, tentunya disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan, mengingat hambatan dan kerumitan perlu terlebih dahulu disingkirkan, seperti kondisi ekonomi dan politik.

Tidak kalah pentingnya sebagai penghambat, adalah mentalitas bangsa, dalam arti kondisi kebudayaan itu sendiri.

Inovasi unsur-unsur kehidupan, berarti perubahan besar yang dilakukan secara berencana dan secara bersama diterima sukarela, maka ketika itulah budaya inovasi sudah terjelma.

Daya cipta dibangun dengan revolusi pengetahuan melalui penelitian dan pengembangan kreativitas terus menerus, sampai kegiatan itu dirasakan suatu kebutuhan, maka daya cipta sudah menjadi bagian dari kebudayaan. Inovasi dan daya cipta terkait satu dengan lainnya dan inter play antara keduanya yang memajukan perkembangan kebudayaan.

Kompetisi

Dalam masyarakat yang tidak menganut ajaran individualisme, kompetisi dianggap sesuatu yang negatif, oleh karena kemajuan dan pembaharuan, dianggap tidak perlu berkompetisi, cukup bekerja bersama dan bergotong royong menghasilkan yang bermanfaat, itu sudah satu kemajuan.

Maju bersama dan menikmati hasil bersama, tanpa perlu memilih sikap kompetitif. Rupanya paham ini menyamakan pengertian antara kompetisi dengan konflik.

Pengalaman masa lalu ketika mulai digiatkan Pembangunan Lima Tahun pertama dan kedua, suasana masyarakat dikendalikan sedemikian rupa dengan konsep “stabilitas sosial”, sehingga kompetisi terpasung dan konflik terjaga tidak sampai mengganggu stabilitas.

Kompetisi adalah alamat masih adanya kehidupan, masih ada keinginan dan kebutuhan. Kompetisi adalah bagian dari gejala kemanusiaan, bahwa semenjak adanya kelompok manusia, di dalamnya terdapat kompetisi apakah menggejala atau tersembunyi.

Masyarakat Indonesia yang majemuk ini, terdiri atas berbagai suku bangsa dengan identitas kebudayaannya masing-masing. Setiap kebudayaan mempunyai intensitas, kuantitas, dan kualitas kompetisi yang berbeda dan cara pengendaliannya pula yang berbeda.

Muncul pertanyaan, sejauh mana kompetisi setiap kebudayaan membawa kemajuan dan pembaharuan. Rupanya kebudayaan yang meletakkan “harmonisasi” dalam hubungan sosial dan lingkungan, kompetisi muncul sebagal akibat dari adanya aset sosial yang diperlombakan memilikinya, sehingga yang tampil di permukaan adalah memburu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan, biasanya pemuasan di atas benda-benda material dan posisi sosial. Bukanlah kompetisi dalam arti persaingan pada kemampuan ilmu dan teknologi yang didukung oleh sikap rasional, kritis, dan analitis.

Prasyarat sikap kompetitif, harus menjunjung tinggi martabat manusia sebagai persona dengan nilai-nilai demokratis, serta hak azasi seseorang, supaya dinamika hidup berlangsung secara dialektik.

Dalam hal ini norma-norma sosial dan nilai budaya menjadi kontrol atas berlangsungnya kompetisi yang rasional dan sehat. Kompetisi diarahkan pada kegiatan produktif dan etos kerja tinggi, bebas dari sifat “kecemburuan sosial” terhadap prestasi yang dicapai oleh seseorang.

Sementara kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa, mungkin sebagian saja, bahwa pada umumnya menempatkan “harmonisasi” lebih utama, agar keseimbangan hidup lebih terpelihara.

Sikap kompetitifnya tidak rasional, tetapi pendekatan simbolik dengan menyertakan perasaan, cukup dimengerti mempunyai kemampuan adaptasi, sedangkan dinamikanya terlihat pada kemampuan asimilasi dan daya serapnya tinggi yang datang dari sekitarnya.

Uraian singkat dan sederhana ini, dimaksudkan untuk membuka dialog budaya dalam menemukan konsep untuk pembangunan kebudayaan nasional. Masyarakat transisi seperti halnya Indonesia sekarang ini, antara inovasi dan kompetisi sedang inter play dan mungkin tidak akan ketemu atau menemukan ujung yang diharapkan membawa kemajuan yang diharapkan.

Kompetisi lebih banyak terjadi berputar-putar pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan sesaat, sementara inovasi berjalan lambat, karena terpengaruh oleh golakan persaingan.



Komponen sosial yang berada pada gelora kompetitif, adalah dari kalangan pemimpin organisasi, elit sosial, pemuka masyarakat, bahkan mereka dan kalangan bawah yang memanfaatkan kesempatan kompetitif tersebut.

Inovasi dan kompetisi didekati dari segi kebudayaan, oleh karena keduanya merupakan hal yang mendasar dan gejala kemanusiaan yang kadang kala muncul sebagai gejala sosial. Keduanya pula dapat memacu kemajuan dan modernisasi, jika dibarengi dan didukung oleh kondisi sosial. (Almarhum Prof Dr H Abu Hamid adalah mantan Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin Makassar dan mantan Rektor Universitas 45, Makassar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama