Mantan Wartawan “PR” Raih Gelar Doktor Bahasa


Mantan wartawan harian Pedoman Rakyat (PR), Mas’ud Muhammadiyah, yang kini menjabat Dekan Fakultas Sastra Universitas Bosowa Makassar, berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Bahasa Indonesia, setelah mengikuti Ujian Promosi Doktor, di Kampus Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Selasa, 3 November 2015.





--------------
Kamis, 05 November 2015


Mantan Wartawan “PR” Raih Gelar Doktor Bahasa


- Teks Berita dan Iklan Pilkada Hanya untuk Pencitraan


MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Mantan wartawan harian Pedoman Rakyat (PR), Mas’ud Muhammadiyah, yang kini menjabat Dekan Fakultas Sastra Universitas Bosowa Makassar, berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Bahasa Indonesia, setelah mengikuti Ujian Promosi Doktor, di Kampus Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Selasa, 3 November 2015.
Mengangkat judul “Analisa Semiotika Bahasa Ragam Jurnalistik dalam Surat Kabar di Indonesia”, Mas’ud berhasil memertahankan disertasinya di hadapan tim penguji yang terdiri atas Prof Abdullah Dola, Prof Anshari, Prof Akmal Hamsa, Prof Achmad Tolla, dan Prof Jasruddin.
Pria kelahiran Barru, 10 Oktober 1963, mengatakan, penerapan semiotika dalam teks berita (tujuh surat kabar yang diteliti) tentang berita kampanye Pilkada Cagub-Cawagub Sulsel 2013-2018, hanya menonjolkan pertarungan aktor politik, terutama pencitraan untuk membangun perhatian publik.
“Makna bahasa dalam teks berita yang ditampilkan hanya memodifikasi teks saja, kurang menyajikan realitas sebenarnya dan hanya bermuatan politik berbasis kekuasaan aktor politik,” tandas Mas’ud.
Penerapan semiotika dalam iklan kampanye Pilkada sebagai  media untuk mentransformasikan nilai dan pesan kepada masyarakat, lanjutnya, juga tidak memiliki hubungan yang signifikan, sebab hanya sebatas simbolisasi pencitraan.
“Simbolisasi berada pada pemaknaan denotatif dan konotatif sebagai strategi persuasi iklan, dan bukan sebagai propaganda pesan politik. Komunikasi yang dilakukan para kandidat, pada dasarnya berada pada tataran komunikasi simbolik (semiotika),” ungkap Mas’ud.
Dengan dasar itulah, dia menyarankan agar media massa cetak (surat kabar) sebagai alat komunikasi politik, sebaiknya dimanfaatkan secara bijak, antara lain dengan memberikan kesempatan yang sama kepada aktor politik dalam mengampanyekan aksi, visi, misi, dan program kebijakannya.
Wartawan (wartawan tulis dan wartawan foto) sebagai penyuguh berita, katanya, seyogyanya berpegang teguh pada asas independensi dan objektivitas, dengan cara mengajak media massa cetak untuk kembali pada poros (fungsi) sebagai salah satu pilar demokrasi, bukan menjadi alat antidemokrasi.
Penggemar musik dan penghobi renang ini juga menyarankan agar bahasa ragam jurnalistik dituangkan dalam kurikulum perguruan tinggi dan diajarkan secara sistematis.
“Karena kami melihat bahwa minat mahasiswa terhadap jurnalistik sangat tinggi, terbukti dengan seringnya mahasiswa mengadakan pelatihan jurnalistik, baik mahasiswa fakultas sastra maupun mahasiswa program studi lain,” kata Mas’ud. (win)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama