Dahlan Abubakar Hidup Merdeka, Tak Kenal Hierarki


HIDUP MERDEKA. Muhammad Dahlan Abubakar (dosen Unhas, penulis, dan mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat, Makassar) merupakan representasi orang tua yang tak punya tendensi. Menenteng kamera, memotret segala hal yang dianggap menarik dan menulis apa saja yang mau ditulis. Hidupnya terlalu merdeka, sehingga tak punya jarak dengan siapapun dan tak mengenal hierarki.




--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 24 Januari 2017


SOSOK: 

Dahlan Abubakar Hidup Merdeka, Tak Kenal Hierarki


Oleh: Fajlurrahman Jurdi
(Penulis/Dosen Unhas Makassar)

Percaya atau tidak, umurnya sudah senja, tapi kelihatan sangat muda. Cekatan, jiwanya setingkat anak-anak muda puber, penuh energi. Dan yang pasti, naluri kemanusiaannya melampaui aktivis kemanusiaan kebanyakan.
Saya tidak begitu mengenalnya dulu di waktu kuliah. Hanya mendengar namanya disebut oleh kawan-kawan di Identitas, sebuah media kampus (di Universitas Hasanuddin, Makassar, red) tempat bersemainya benih-benih wartawan masa depan.
Mereka memanggilnya Kak Dahlan (nama lengkapnya Haji Muhammad Dahlan Abubakar, dosen dan Humas Unhas, red), sebuah nama yang akrab di telinga kebanyakan orang saat itu.
Saya, sekali lagi, tipe makhluk yang kadang rumit mengenal orang. Maka jangan heran kalau baru pertama ketemu atau beberapa kali ketemu, masih sulit beradaptasi. Sifat yang kaku ini kadang menyiksa, karena saya tidak bisa memaksa tersenyum atau bercanda seperti kebanyakan orang. Tapi jika saya menemukan feel dan merasa dekat dengan seseorang, biasanya bercanda juga kadang berlebihan.
Mungkin itu kelemahan, sehingga ketika masa kuliah, begitu banyak orang bisa dekat dengan lelaki uban ini, tetapi saya tak pernah saling kenal.
Setelah kembali mengajar di kampus, intensitas pertemuan kami mulai sering. Sebagai orang tua, Om Dahlan memiliki sensitivitas kaum muda, sehingga caranya bergaul tak mengenal kelas. Mungkin itu ciri khas kami dari desa, karena duduk di kursi dan rebah di bawah, sama saja. Petani seperti saya tidak mengenal kelas, hanya tahu cara menghormati dengan sikap dan ucapan.
Om Dahlan (mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat, Makassar) merupakan representasi orang tua yang tak punya tendensi. Menenteng kamera, memotret segala hal yang dianggap menarik dan menulis apa saja yang mau ditulis. Hidupnya terlalu merdeka, sehingga tak punya jarak dengan siapapun dan tak mengenal hierarki.
Kami punya hobi yang sama, menulis. Ya, menulis, hobi yang tak menghasilkan apapun kecuali kebanggaan pada diri sendiri. Bukankah itu sebenarnya bagian dari narsisisme ilmiah? Hahaha...entah benar atau salah istilah itu, silakan “digugat.”
Bagaimana tidak, menulis adalah cara mentransformasi pengetahuan, namun pada saat yang sama, seorang penulis kadang merasa puas dengan dirinya saat buku atau artikelnya terbit. Salahkah kira-kira rasa puas itu? Terserahlah, kata teman saya. Tak perlu banyak mendengar suara-suara sumbang, jika mau maju, berjalanlah menurut target yang akan dicapai, sambil terus rendah hati dan optimis pada target. Sesederhana itu, menurutnya.
Sebagai penulis, Om Dahlan memiliki kemampuan berkhayal tingkat dewa. Bayangkan, penulis fiksi dituntut untuk mengkhayal harapan, tragedi, kesedihan, kegembiraan dan tentu saja harus pandai merumuskan cerita “palsu”, agar apa yang ditulis menarik dan enak dibaca. Saya tidak pandai sama sekali mengkhayal, karena memang saya belajar menulis nonfiksi.
Meskipun sudah lebih tiga belas tahun saya di Unhas sejak kuliah hingga sekarang, baru satu kali saya masuk ke ruangannya. Beberapa bulang yang lalu, saat berpapasan diruang tunggu rektor, lalu kami bercerita dan beliau menyuruh saya singgah di ruangannya. Om Dahlan menyerahkan buku yang baru ditulisnya. Saya belum sempat menggolai bukunya, justru saya berhasil memotretnya secara tersembunyi ketika acara Senat Universitas di Hotel Ibis dua malam lalu.
Foto ini tanpa izin, saya mempostingnya (di Facebook, red) juga tanpa izin, karenanya jika beliau marah, saya paling-paling menghapus postingan. Selesai. Ha..ha..ha..
“Jrul, saya bolak-balik Bima dua kali menyerahkan bantuan,”, katanya.
“Masa Om?” kata saya.
“Iya, banyak orang berbaik hati, padahal saya cuma canda-candaan saja, eh, semua teman jejaring saya seluruh Indonesia ngumpul duit, dan hasil menakjubkan, ratusan juta,” ungkapnya.
Saya sebenarnya merasa malu, karena untuk hal-hal seperti ini, kami yang muda kalah bergerak. Justru lelaki senja ini yang masif gerakannya, bertemu banyak orang, menggerakkan anak-anak muda, dan yang aneh, bisa menulis di saat kesibukan yang tanpa jeda itu.
Padahal, saya butuh ketenangan dan tidak boleh diganggu dengan pekerjaan lain apabila mau menyelesaikan sebuah tulisan. Karena itu, kadang saya suka menghilang, atau HP tiba-tiba mati seharian. Saat-saat seperti itu, sebenarnya saya sedang bersemedi. Om Dahlan punya keunikan, bisa menulis kapan saja dan dalam keadaan apa saja.
Saya dan Om Dahlan datang dari dua zaman yang berbeda, namun dari daerah yang sama. Bima. Sebuah nama yang tidak terlalu asing, karena ada kuku bima, nama jamu yang mentereng. Apakah jamu kuku bima lahir dari Bima, kayaknya tidak ada hubungannya, tapi kalau mau dicocok-cocokkan, bisa juga, sehingga lahir aliran cocokisme.


Barua, Sabtu malam, 21 Januari 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama