Ibu Hamil dan Ibu Menyusui Boleh Tidak Berpuasa


KAJIAN TARJIH. Ketua Prodi Al Ahwal As Syaksiyah, Fakultas Agama Islam, Unismuh Makassar, Dr H Ilham Mukhtar Lc MA, mengisi Kajian Tarjih Muhammadiyah, di Masjid Subulussalam Kampus Unismuh Makassar, Jl Sultan Alauddin 259, Makassar, Selasa, 30 Mei 2017. (Foto: Nasrullah Rahim/Humas Unismuh Makassar)




--------
Jumat, 02 Juni 2017


Ibu Hamil dan Ibu Menyusui Boleh Tidak Berpuasa


MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Ada beberapa golongan yang mendapat keringanan (rukhsah) untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi dibebankan kepada mereka untuk mengganti puasa yang mereka tinggalkan pada hari lain di luar bulan Ramadhan, yaitu orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan dan perempuan yang sedang haid.
Ibu yang sedang hamil atau ibu yang sedang menyusui, serta orangtua uzur yang tidak mampu berpuasa, boleh tidak berpuasa, tetapi harus membayar fidyah (memberi makan kepada orang miskin, setiap hari, sebanyak hari yang ditinggalkan) dan tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut.
Hal itu diungkapkan Dr H Ilham Mukhtar Lc MA (Ketua Prodi Al Ahwal As Syaksiyah, Fakultas Agama Islam, Unismuh Makassar), pada acara Kajian Tarjih Muhammadiyah, di Masjid Subulussalam Kampus Unismuh Makassar, Jl Sultan Alauddin 259, Makassar, Selasa, 30 Mei 2017.
Kajian tarjih Muhammadiyah dihadiri ratusan dosen, mahasiswa, dan karyawan Unismuh, termasuk Rektor Unismuh Dr H Abdul Rahman Rahim, Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Unismuh Dr HM Syaiful Saleh, Wakil Rektor II Dr Andi Sukri Syamsuri, Wakil Rektor III Dr Muhammad Tahir, Wakil Rektor IV H Saleh Molla, serta sejumlah pimpinan fakultas dan ketua lembaga lingkup Unismuh Makassar.
Pada kesempatan tersebut, Ilham Mukhtar juga mengemukakan tentang cara menentukan awal Ramadhan, antara lain dengan menggunakan metode rukyat (melihat/ aktivitas mengamati visibilitas hilal) dan metode hisab (perhitungan matematis/astronomi).
Dalam pandangan Muhammadiyah, katanya, metode rukyat dan metode hisab tidak perlu dipertentangkan. Dua-duanya boleh, karena rukyah tetap perlu hitung-hitungan matematis, dan sebaliknya, metode hisab juga didahului dengan rukyat.
“Dengan metode hisab, Muhammadiyah beranggapan, nol koma berapa derajat pun, itu sudah masuk awal bulan. Sebaliknya, dengan metode rukyat, hilal harus minimal dua derajat. Pertanyaannya, mengapa harus dua derajat? Siapa yang menentukan dua derajat ini?. Masalah ini nantilah kita bahas pada kesempatan lain,” kata Ilham. (zak)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama