Menulis, Ziarah Bagi Para Pembacanya


HADIAH BUKU. Saifuddin Al Mughniy (kiri) menerima hadiah buku dari Bulukumbrekannya, Aswar Hasan. (Ist)




PEDOMAN KARYA
Senin, 11 Desember 2017

MENULIS, ZIARAH BAGI PEMBACANYA

Oleh: Saifuddin Al Mughniy
(Ucapan terima kasih buat kak Aswar Hasan atas pemberian bukunya)

Dua kalimat tersebut di atas bukan sekadar diksi biasa, tetapi ada kandungan yang kuat menyelaminya hingga kita bisa memberi arti terhadap apa yang kita tulis. Bahkan sebuah pernyataan bijak seringkali menyapa keheningan kita, dengan narasi yang sederhana "menulislah agar hidupmu dibaca oleh sejarah". Makna sejarah bukan hanya bicara tentang masa lalu, tetapi sejarah adalah "pejejakan" waktu yang dilalui, tentu dengan cara menulis (salah satu di antaranya)

Makna "pusara" bagi sebagian orang seringkali dilekatkan dengan ikhwal kematian. Karenanya, secara harfiah manusia dalam hidupnya tentulah tidak kekal dan abadi sebab manusia pada akhirnya menemui kematiannya. Tetapi kandungan "pusara" dalam budaya literasi adalah karya. Sebab penulis tentu akan meninggalkan barisan kalimat dalam buku atau jurnal.

Apakah pusara itu bisa berbentuk autobiografi atau biografi, atau bisa dengan tulisan-tulisan biasa. Tetapi paling tidak, menulis itu adalah satu jalan menuju puncak-puncak kematiannya. Yah, esensi pusara terletak di dalamnya. Sebab menulis tak sekedar kecakapan merangkai kalimat, namun menulis bagai .memilih "jalan sunyi", sunyi yang bermakna "kesenyapan emosi" untuk memulai menulis.

Oleh sebab itu, bagi penulis berarti telah mempersiapkan nisan (tugu) bagi dirinya, yang kemudian sejarah membacanya hingga "aksara" tak terbaca. Pilihan yang sulit untuk bisa diterima sebab hampir setiap orang tak memilih jalan kematian. Yah, bukankah kematian adalah kehidupan sesungguhnya ? demikian kata bijak ini mengintrupsi jiwa dan pikiran kita untuk lebih menjadikan hidup ini lebih berarti.

Penulis, adalah sosok yang memilih jalan yang mungkin tidak sama dengan kebanyakan orang, ada yang menulis tentang kehidupannya sendiri (autobiografi), ada pula yang kehidupannya ditulis orang lain (biografi), bahkan ada juga yang sama sekali tak kuasa menuliskan kehidupannya. Dan paling tidak kitab suci sudah menegasikan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang terangkat derajatnya karena ilmu pengetahuannya.

Maka, menulis sejatinya sama halnya sudah mempersiapkan "nisan" bagi dirinya, agar kelak orang menziarahinya dengan mengingat dan membaca karyanya. Makasih kak Aswar Hasan, hadiah bukunya, semoga dari itu saya bisa belajar darinya. ***

Coffee Holic, Makassar, 10 Desember 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama