Jika Niat Tidak Benar Berbingkai Mulut Manis



Memuja berlebihan, sama jeleknya menista berlebihan. Ada yang memang salah karena kegagalan dalam pemahaman, tapi yang terparah jika gagal paham itu lahir dari niat yang tidak benar. Sesuatu yang dikonstruk dengan sengaja. Dan pada saatnya, jika niat yang tidak benar itu berbingkai mulut manis, di situlah kata munafik absah untuk disematkan. (Surya Darma)



-----

PEDOMAN KARYA
Kamis, 12 April 2018


Kolom: 


Jika Niat Tidak Benar Berbingkai Mulut Manis


Oleh: Surya Darma

Kemarin saya japrian dengan seorang yang saya nilai selama ini haus pengetahuan. Ia sebenarnya orang sibuk, sibuk dengan urusan publik. Tapi di antara sahabatku, dia yang saya nilai getol bertanya pada saya, khususnya hal-yang menurutnya-kontroversial.
Kemarin ia memulai dengan menulis pesan bahwa dirinya kecewa berat dengan sosok Muawiyah. Itu terucapkan setelah ia-ngakunya-membaca buku.
Muawiyah licik. Dan Ali jadi korban kelicikan itu. Saya tidak paham benar apa yang dia maksud dengan kata licik. Untuk itu, saya merujuk saja referensi standar. Menurut KBBI, licik itu banyak akal, culas, atau pandai memutar balikkan fakta.
Dalam bahasa agama, semua makna ini menyerupai kata munafik. Tapi saya tidak mengejar apa yang ia maksud dengan kata licik itu. Namun bila memang yang dimaksud kata licik itu adalah kemunafikan dalam sifat dan hidup, maka ini bertentangan dengan penjelasan ulama.
Kata ulama, sahabat boleh saja terjerumus dalam kesalahan, tapi mereka tidak akan menjadi orang munafik. Ini kata ulama Ahlu Sunnah. Mukhtar As Syinqithi, dalam “Khilafah Siyasiyyah”nya, dengan merujuk ke “Majmu Fatawa” Ibn Taimiyah, mengatakan bahwa Muawiyah bukan seorang munafik, seperti halnya sahabat lainnya.
Ibn Taimiyah beralasan, Umar, yang memilih Muawiyah sebagai gubernur di Syam, dikenal sangat selektif memilih pembantunya untuk mengelola negara. Ia tidak akan pernah menunjuk seseorang yang dinilainya munafik, meski orang itu pandai, atau dikisahkan saleh, atau berasal dari keluarga dekatnya.
Ia melarang orang murtad pada jaman Abubakar bawa senjata dan naik kuda. Ia juga berwasiat kepada Saad bin Abi Waqqash, Gubernur Irak, agar tidak memilih orang munafik sebagai pembantunya di pemerintahan. Sambil melarang, Umar menyebut beberapa nama kepada Saad.
Kalau demikian perihal Umar, maka bagaimana bisa ada seseorang yang menjadi gubernur hampir 40 tahun, imam shalat umat selama itu pula, tiba-tiba dinisbatkan gelar munafik kepadanya. Tapi saya juga bilang, ulama ahlus sunnah sepakat mengatakan bahwa Muawiyah salah dengan ijtihadnya.
Silahkan baca referensi karya ulama terdahulu, semisal karya Ad Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn Taimiyah, atau juga yang kontemporer, seperti Al Maududi dg buku “Khilafah wal Mulk”-nya.
Tapi harus juga diakui, dari kalangan ahli sunnah, kadang mengajukan pembelaan berlebihan terhadap Muawiyah. Saking berlebihannya, bukannya keutamaan Ali yang diekspos, tapi malah mengejar hal-hal yang menjadi titik lemah kepemimpinan Ali yang diurut dengan cermat. Ali lemah, umat jadi kacau, pengikut Ali mbalelo, pengikut Muawiyah justru solid, sampai memuja kehebatan Muawiyah dengan ide rekonsiliasinya dengan Hasan, pada tahun 41 H.
Mukhtar As Syinqithi menyebut penulis seperti ini dengan istilah “tasyayyu’ sunni”, orientasi berpikir syiah dengan keyakinan sunni. Bahasa populernya nashibi, atau tergolong nawashib.
Sebaliknya pihak anti Muawiyah tidak tinggal diam. Sambil memuja kemuliaan dan keistimewaan Ali, sosok Muawiyah, dan juga hampir semua sahabat, diserang dengan sebutan pengkhianat yang merebut hak Ali, konspirator tahta warisan, penyembunyi wasiat sejati, dan yang senada.
Mereka ini yang dikenal dalam lembaran sejarah dengan istilah Rafidhah. Keduanya berhadap-hadapan dengan sengit. Saking sengitnya, lahirlah keanehan.
Di masa Abbasiyyah, ketika Rafidhah larut dalam kesedihan mengenang hari Karbala, di negeri Syam, sebagaimana warganya, malah bergembira-ria dengan memakai baju mereka yang terbaik. Mereka turun ke jalan bersenda gurau sambil membagi penganan enak.
Ekstrimitas dibalas ekstrimitas. Bid’ah berbalas bid’ah. Dan di situlah awal bersembunyinya peliknya menangkap kebenaran sejarah.
Jadi sejarah bukan saja persoalan dhaif shahihnya riwayat, tapi juga-dan ini yang sebenarnya menjadi inti kepelikan-bagaimana kita memahami secara tepat riwayat-riwayat yang ada, katakanlah untuk yang shahih saja, hingga tidak terseret dalam pusaran tafsir yang sesat atau tendensius.
Kemaksuman sudah terputus seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dan sejak itu, sifat basyariyyah, dengan konsekwensi kesadaran bahwa siapapun bisa melakukan kesalahan, menjadi hiasan sejarah tindakan manusia.
Jadi, memuja berlebihan, sama jeleknya menista berlebihan. Ada yang memang salah karena kegagalan dalam pemahaman, tapi yang terparah jika gagal paham itu lahir dari niat yang tidak benar. Sesuatu yang dikonstruk dengan sengaja. Dan pada saatnya, jika niat yang tidak benar itu berbingkai mulut manis, di situlah kata munafik absah untuk disematkan. (Kamis, 12 April 2018)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama