Mengantar Anak ke Kendari, Terkenang Sipenmaru di Makassar


KENANGAN. Tahun 1992, saya sendirian ke Makassar untuk mengikuti Tes Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kali ini saya mengantar anak tertua saya dari Kolaka ke Kendari, masih satu daratan tanpa harus menyeberang laut, untuk mengikuti SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). 

 


---------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 08 Mei 2018


Mengantar Anak ke Kendari, Terkenang Sipenmaru di Makassar


Tahun 1992, saya sendirian ke Makassar untuk mengikuti Tes Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kali ini saya mengantar anak tertua saya dari Kolaka ke Kendari, masih satu daratan tanpa harus menyeberang laut, untuk mengikuti SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Saya berangkat tadi pagi (Senin, 07 Mei 2018) dengan apa adanya saja. Menumpang kendaraan umum, kami hanya bertiga dengan sopir rute Kolaka-Kendari. Pukul 12.00 Wita, saya tiba di rumah adik saya yang sudah lama bermukim di Ibukoota Provinsi Sulawesi Tenggara. Adik saya juga guru yang tinggal di seputaran Mandonga.
Dalam perjalanan dari Kolaka sampai di Kota Kendari, saya hanya membayangkan perjalanan yang pernah saya lalui di saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Makassar. Waktu itu saya ke Makassar dengan bekal seadanya.
Hampir tujuh tahun saya di Makassar untuk menyelesaikan pendidikan strata satu, dan sampai sekarang saya masih bergelar sarjana (belum magister, he..he.he..).
Cuaca Kota Kendari nampak terik di sepanjang perjalanan menuju pintu gerbang kota yang baru lagi saya kunjungi untuk urusan generasi selanjutnya, Jalan-jalan di kota ini tampak mulai tak bersahabat, tidak sebagaimana 10 tahun lalu sewaktu saya masih bekerja di sebuah perusahaan pers terbesar di Sulawesi Tenggara. Ketika itu, jalanan masih nyaman dilintasi, tidak padat merayap, dan tidak berdebu seperti sekarang ini.
Begitulah Kota Lolu ini bertumbuh sama seperti kota besar di Indonesia. Satu dua tower mencakar langit kota, dan sepanjang mata memandang rumah bersusun bertingkat padat tumbuh. Kota yang 10 tahun lalu kutinggalkan ini menjadi kota yang penuh romantisme yang getir.
Saya tidak perlu cerita kegetirannya dari jalan buntu sampai harus berhadapan dengan Komandan Korem saat itu yang naik pitam gara-gara berita penembakan di Taman Nasional Rawa Opa. Ah..sudahlah, cukup saya yang merasakan.
Menjelang senja di balik bukit Alolama dan lalu lalang angkutan kota di jalan di depan rumah adik saya itu. Satu batang rokok kuhisap sebelum aku beranjak ke kampus Unhalu, kusingkat begitu saja. Kalau dipanjangkan jadi Universitas Haluoleo. Dengan sepeda motor honda metic pinjaman, saya bergegas berdua dengan Ismoel Aksan, nama anak pertama saya yang barusan menyelesaikan pendidikannya di SMAN 1 Kolaka.
Setengah jam lebih waktu tempuh dari Alolama ke Kampus Unhalu di bilangan Andonouhu, dan saya masih sangat hapal tanda di sepanjang jalan menuju kampus. Ada sedikit yang berubah dari pandangan mataku, dulu belum ada Lippo. Pasar Wua-Wua masih tradisional dan jembatan berwarna kuning itu belum ada pada saat itu.
Saat melintas di samping jembatan kuning itu nampaknya belum selesai dibangun dan belum bisa dilewati. Jembatan terdahulu masih jadi alternatif untuk pengendara yang ingin melintasi sungai yang membelah kota.
Di depan pintu gerbang kampus Unhalu, tampak ramai mahasiswa dan warga di sekitaran kampus, juga jejeran kios dan ruko sudah sangat padatnya. Suasana kampus sudah sangat berbeda dibandingkan beberapa tahun silam. Tidak butuh waktu lama untuk mencari lokasi tes SMBPTN yang akan diikuti anak saya besok.
Saya berharap anak saya bisa lulus di Fakultas Hukum Unhalu untuk pilihan pertama. Ilmu Komunikasi di Unhas pilihan kedua, serta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di USN Kolaka.
Dari tiga pilihan jurusan tersebut bukan tanpa alasan buat saya selaku orangtua yang melihat perubahan zaman old ke zaman now. Bahwa untuk lapangan pengabdian di bidang hokum, terbentang luas seluas bentangan alam semesta. Dan begitu banyak masyarakat yang tertindas lantaran tidak menyadari haknya sebagai warga masyarakat.
Kelak jika lulus sebagai sarjana hokum, dia tidak mesti jadi aparat hukum yang ikut membela penguasa atau pemilik modal untuk kepentingan pribadinya. Harapan ini tentunya akan berproses seiring waktu berjalan.
Selain itu, ketika dia sudah menyandang gelar SH atau bertambah MH, maka saya juga berharap dia tidak bemimpi untuk menjadi pegawai negeri sipil seperti bapaknya sekarang yang setiap pertengahan bulan nampak lelah berpikir mencukupkan bahan baku di dapur dan kebutuhan anak sekolah setiap hari.
Jadilah manusia yang berilmu yang tidak sekadar menjadi sarjana dengan ijasah formal. Begitu yang aku inginkan kelak jika impianmu terkabul di Fakultas Hukum.
Saya begitu terkagum dan mau kamu seperti pejuang keadilan yang menerabas aturan hukum yang direkayasa atas nama pembangunan. Padahal itu, penindasan atas kebodohan yang sengaja dibiarkan bahkan sengaja dipelihara sampai batas waktu yang kita tidak pernah tahu. Bahkan sampai hayat dikandung badanpun berakhir. Jadilah kamu seperti itu. Saya tidak perlu menyebutkan namanya disini. Nanti juga kau akan tahu mana yang layak kamu ikuti dedikasi dan pengabdiannya yang tiada akhir di negeri ini.
Kalau aku memilihkan ilmu komunikasi, saya tidak berharap kamu menjadi jurnalis seperti yang pernah saya jalani separuh hidup ini, yang akhirnya beralih profesi jadi guru menulis dan membaca.
Tapi kelak aku mau kamu menjadi manusia yang pandai berkomunikasi dengan siapa saja. Jangan jadikan ilmu komunikasi itu sekedarnya saja, menjadi jurnalis yang tidak bisa membawa pesan kemanusian yang adil dan beradab.
Amalkan sila kedua Pancasila dalam mengejar nilai komunikasi yang beradab, agar kelak kamu tidak melahirkan wacana permusuhan sesama manusia. Hari ini begitu banyak media memproduksi wacana kebencian dan penindasan, sehingga rasa kemanusiaan kita menjadi hambar.
Setiap saat wacana kebencian dan banyak berita yang tidak menjadi ruang penyadaran di segala aspek, merangsek masuk ke wilayah privat tanpa bisa kita bendung.
Tugasmu sangat berat jika kamu kelar di situ. Ilmu komunikasi menjadi sarana pembebasan bagi dirimu sendiri tanpa harus bergantung dengan siapa pun juga, Saya percaya kamu akan menjadi bagian dari segelintir orang yang berpikir merdeka. Tidak terbelenggu seperti saya yang serba salah dengan keputusanku untuk beralih profesi menjadi tenaga pengajar,
Yah.. Saya takut menyebut diri sebagai pendidik meskipun saya juga tidak memahami arti sejatinya jika saya disebut sebagai pendidik. Biarlah waktu yang menilainya, saya harus disebut sebagai apa. Terserah.
Saat saya menulis ini, saya baru saja pulang dari minum kopi dengan Joni Syamsuddin, salah seorang senior di SMA Pomalaa yang jadi perwakilan masyarakat Kolaka-Kolaka Utara di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.
Banyak yang kami jadikan bahan obrolan sembari menikmati kopi hitam yang tersaji di meja. Dia nampak masih mau berlama-lama dengan menawarkan agar tambah lagi kopinya. Saya tidak mengiyakan. Saya beralasan, saya takut bangun kesiangan karena harus mengantar besok anak saya ke kampus untuk mengikuti ujian.
Dan malam pun kian larut, sampai disini udara dingin juga mulai menusuk di telapak kakiku, aku duduk bersila di teras belakang kamar lantai dua kediaman adik saya. Tak bisa lagi kutahan dan perutku yang setengah jam lalu diisi sepiring nasi goreng rasanya selesai dicerna dan saya bergegas masuk ke kamar untuk merebahkan badanku agar bisa tertidur pulas.
Karena besok akan saya lanjutkan lagi ceritaku soal kota ini yang membuatkan tersesat saat pulang dari menikmati kopi. Iya, saya tersesat saat pulang karena banyaknya gedung yang tak lagi kukenali gara-gara gelap dan nama jalan tak sempat kuperhatikan. (Ridwan Demmatadju)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama