Cerita Masa Lalu dari Tanah Merah Pomalaa


SERAHKAN LUKISAN. Penulis (tengah) menyerahkan lukisan diri kepada Kamsi ST yang kini menjabat Vice President CSR PT Antam UBPN Sultra, Kolaka, Rabu, 24 Oktober 2018. Penulis dan Kamsi adalah teman satu sekolah SMA Negeri Pomalaa, pada awal tahun 90-an. (Dokumentasi Pribadi)







------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 24 Oktober 2018


Cerita Masa Lalu dari Tanah Merah Pomalaa


Oleh: Ridwan Demmatadju

Saya menyerahkan sebuah tanda mata kepada adik kelas yang saat ini menjadi Vice President CSR PT Antam UBPN Sultra. Tentu sebuah kehormatan, karena mendapat sambutan hangat darinya.

Dalam suasana yang tak berjarak karena jabatannya, kami berdua mengulang ingatan masa lalu waktu bersekolah di Tanah Merah Pomalaa. Masa lalu kami berdua begitu sulit untuk membayangkan impian orang-orang yang berada dan berkecukupan ekonomi.

Wajar saja kedua orangtua saya hanya seorang pensiunan PT Antam Pomalaa, dengan 10 orang bersaudara yang harus dibiayai sekolah hingga yang kuliah di Makassar. Bisa dibayangkan jika biaya hidup harus dibatasi untuk keperluan yang tidak penting, apalagi untuk berhura-hura seperti kebanyakan anak seumuran saya kala itu.

Saya dengan Kamsi ST, alumni Fakultas Teknik Mesin Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini, dengan jabatan sebagai penanggung jawab terhadap masalah pengembangan sosial dan kemasyarakatan dimana perusahaan berada, sejatinya ia pulang kampung di Pomalaa, tempat kami berdua menghabiskan masa kecil.

Pertemuan kami berdua di pagi itu sudah kami rencanakan beberapa kali, namun Rabu pagi, 24 Oktober 2018, dapat terwujud karena kesibukannya yang begitu padat. Ditemani dua orang stafnya, kami asyik bernostalgia sembari mengungkap beberapa persoalan terkait pengembangan sumber daya manusia dan tanggung jawab sosial perusahaan penghasil nikel ini.

Sebagai orang yang bertanggung jawab soal itu, tentunya dia berharap ada sinergi dari semua pemangku kepentingan (stakeholder) di Kabupaten Kolaka, untuk memajukan daerah ini pada semua sektor pembangunan. Pihaknya selalu mendukung semua kegiatan dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kolaka untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di semua sektor, meski ada beberapa sektor yang jadi perhatian penuh dari perusahaan, seperti di sektor kesehatan dan pendidikan,termasuk melakukan pembinaan kepada pelaku usaha ekonomi kreatif dan usaha kecil dan menengah.

Dari perbincangan di ruang kerjanya itu, saya menangkap pesan dan keinginan yang kuat untuk memberikan dukungan terhadap beberapa konsep dan strategi pengembangan sumber daya manusia, khususnya di Kabupaten Kolaka.

Tampaknya dia memahami persoalan yang terjadi di daerah tempatnya bertugas. Salah satu point penting yang diungkapkan adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat di sekitar operasi perusahaan ini.

Perubahan pola pikir menjadi kata kunci, karena seberapa pun pihak perusahaan memberikan dukungan, jika tidak didukung dengan perubahan pola pikir, maka tidak ada artinya. Pemberian bantuan oleh perusahaan itu hanya sebagai stimulan penggerak. Untuk pengembangan selanjutnya, tentu tergantung dari pelaku untuk mengembangkan kegiatan usahanya. Sekali lagi dia mengungkap bahwa pihak perusahaan hanya memberikan “empowerment.”

Satu hal yang menarik perhatian saya dalam perbincangan kami berdua, adalah keinginan pihak perusahan dalam pengembangan seni dan budaya, sebagai salah satu program CSR PT Antam, tanpa mengesampingkan dukungan untuk pembangunan infrastruktur yang selama ini sudah berjalan dan telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat di daerah operasi PT. Antam UBPN Sultra.

Yang pasti, pertemuan kami di pagi itu, memberikan kesan tersendiri. Paling tidak, kami bernostalgia dengan adik kelas saya di SMA Negeri Pomalaa. Meski tak sempat minum kopi di cafetaria kantornya yang berada di bilangan kompleks itu, karena harus menghadiri beberapa kegiatan penting terkait bidang tugasnya.

Saya harus bergegas beranjak dari ruangannya dan menuju tempat minum kopi ditemani dua stafnya. Hampir satu jam saya duduk sambil menikmati kopi susu, sembari bertemu dua kawan saya waktu bersekolah di SD Antam. Cerita pun bergulir kesana-kemari. Setelah gelas kopi tandas di atas meja, saya pun bergerak pulang kembali ke Kolaka menuju sekolah untuk menunaikan tugas mengajar pada jam terakhir.

Puncak Latambaga, 24 Oktober 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama