Kelebihan Penghuni Lapas dan Rutan, Apa Solusinya?


DISKUSI PUBLIK. YLBHI-LBH Makassar bekerja sama The Asia Foundation dan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice 2), menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan Tindak Pidana Terntentu untuk Mengurangi Overcrowding di Rutan dan Lapas”, di Hotel Santika Makassar, Selasa, 16 Oktober 2018. (Foto: Muhammad Said Welikin / PEDOMAN KARYA)



------
Selasa, 16 Oktober 2018



Kelebihan Penghuni Lapas dan Rutan, Apa Solusinya?


MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Permasalahan kelebihan jumlah penghuni (overcrowding) dari kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sejak lama menjadi persoalan yang berdampak pada tidak efektifnya fungsi Lapas.

Kepadatan lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dimana penghuni berdasarkan daya tampung yang tidak lagi memadai, sangat berpotensi menimbulkan sejumlah perlakuan tidak manusiawi, dan meningkatkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehubungan permasalahan tersebut, YLBHI-LBH Makassar bekerja sama The Asia Foundation dan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice 2), menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan Tindak Pidana Terntentu untuk Mengurangi Overcrowding di Rutan dan Lapas”, di Hotel Santika Makassar, Selasa, 16 Oktober 2018.

Sesuai ToR (Term of Reference) yang diterima media ini, para narasumber yang tampil yaitu Direktur Center for Detention Studies, Kepala Sataun Reskrim Polrestabes Makassar, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar, serta Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Makassar.

Peserta diskusi sebanyak 40 orang, terdiri atas unsur aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, organisasi bantuan hokum, dan para pemangku kepentingan terkait lainnya.

Pendekatan Restorative Justice

Di sela-sela acara diskusi, Direktur YLBHI LBH Makassar Haswandy Andy Mas kepada Pedoman Karya mengatakan, overcrowding disebabkan oleh banyak hal, seperti banyaknya perundang-undangan yang memuat sanksi pidana (dan akan bertambah jika RKUHP disahkan), serta belum optimalnya penegak hukum menerapkan tahanan rumah atau tahanan kota.

“Selain itu belum optipmalnya penerapan pidana alternatif, masih adanya overstaying, keengganan untuk membebaskan demi hukum bagi tersangka atau terdakwa yang sudah lewat masa tahanannya atau lain-lain,” beber Wawan, sapaan akrab Haswandy Andy Mas.

Jika tidak ada formulasi yang tepat untuk mengatasi situasi overcrowding, katanya, Indonesia akan diperhadapkan pada lingkaran setan. Narapidana yang semestinya diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik dengan program pembinaan di lembaga pemasyarakatan akan sulit untuk dicapai.

“Tahun 2012, Mahkamah Agung bersama Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham, membuat nota kesepakatan bersama terkait pelaksanaan Perma No 2 tahun 2012 tentang penyesuain batasan tindak pidana dan jumlah denda dalam KUHP, serta penerapan restorative justice. Kesepakatan tersebut didasarkan pada pertimbangan rasa keadilan masyarakat untuk menerapkan sanksi atas tindak pidana ringan,” tutur Wawan.

Menurut dia, masyarakat perlu mengetahui restorative justice adalah sistem peradilan pidana yang berfokus pada rehabilitasi pelanggar melalui rekonsiliasi korban dan masyarakat luas, sehingga sangat penting dalam perkara Tipiring (tindak pidana ringan) dilakukan melalui perdamain antara pelaku dan korban dengan atau tanpa ganti kerugian.

“Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dari kesepahaman, yakni untuk mengurangi penumpukan jumlah penghuni Lapas dan Rutan yang selama ini selalu kelebihan kapasitas," urai Wawan.

Pendekatan restorative justice, katanya, diharapkan dapat menimimalisir jumlah pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara, karena telah diselesaikan melalui upaya di luar pengadilan.

“Selain itu, restorative justice bukan hal baru yang dipraktekkan oleh masyarakat kita. Masyarakat kita sudah lama menerapkan musyawarah dalam menyelesaikan sebuah persoalan secara turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadilan bagi korban atau pun pelaku. Karena itulah, penerapan hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan permasalaham dalam sistem peradilan hukum peradilan pidana,” tandas Wawan.

Upaya Sistematik

Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Makassar, Alfrida, mengatakan, harus ada upaya sistematik dan kemauan semua pihak agar restorative justice dapar berjalan maksimal pelaksanaannya.

“Karena persoalan keterbatasan sumberdaya anggaran, sumberdaya manusia dan yang tidak kalah penting adalah ketersediaan atau tampung Lapas maupun Rutan sangat terbatas,” ungkap Alfrida.

Dia mengatakan, harus ada aturan yang jelas serta pelibatan masyarakat secara aktif dalam membantu aparat penegak hukum, sehingga tidak semua persoalan hukum harus berujung di pengadilan.

Bukan Hanya Posisi Hukum

Sementara itu, salah satu hakim peradilan anak pada Pengadilan Negeri Makassar, Widiarso, mengungkapkan, selama ini sebanyak 80% putusan, jaksa menyatakan banding.

“Selain itu para hakim mengalami kesulitan karena yang dibutuhkan bukan hanya posisi hukum, akan tetapi bagaimana lingkungan atau perilaku hidup sehari-hari anak,” pungkas Widiarso. (Muhammad Said Welikin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama