Interseksi Biografi, Sejarah, dan Struktur Sosial


Daniel Dhakidae menyelesaikan bagian akhir buku yang diberinya judul "Menerjang Badai Kekuasaan" ini pada Agustus 2015. Masa ketika PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) telah berkuasa. Padahal jika merujuk pada prakata yang ditulisnya, buku salah satu bab di buku ini telah ditulisnya jauh sebelum PDIP berjaya memenangi Pilpres tahun 2014.





-----------

PEDOMAN KARYA
Rabu, 11 Desember 2019


RESENSI:



Interseksi Biografi, Sejarah, dan Struktur Sosial



Judul Buku : Menerjang Badai Kekuasaan
Penulis : Daniel Dhakidae
Tahun : 2015
Penerbit : Kompas
Halaman : xiv + 450 halaman



Daniel Dhakidae menyelesaikan bagian akhir buku yang diberinya judul "Menerjang Badai Kekuasaan" ini pada Agustus 2015. Masa ketika PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) telah berkuasa. Padahal jika merujuk pada prakata yang ditulisnya, buku salah satu bab di buku ini telah ditulisnya jauh sebelum PDIP berjaya memenangi Pilpres tahun 2014.

Artinya bahwa buku ini lahir dalam situasi di masa lalu yang ditabukan oleh Orde Baru menjadi hal biasa untuk diungkapkan. Sebut saja pada bagian yang membahas KE-TAK-KUASA-AN KAUM BERKUASA, Daniel menggambarkan bagaimana Soekarno menemukan kebangkitannya saat diasingkan di Flores, Ende.

Atau saat menuliskan Muhammad Hatta dalam bingkai “Penhasingan Politik dan Politik Pengasingan”. Jelas sekali tulisan seperti ini, meski membicarakan kebenaran, tetap saja tak lazim di masa Orde Baru.

Begitu juga ketika Daniel menghabiskan 39 halaman untuk menulis empat orang yang dikategorikan sebagai “Power of the Outcasts”, Kekuasaan Kaum Terbuang. Mereka yang ditulisnya adalah Rohimah atau Subaikah, Muksin Tamnge, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael.

Buku ini seperti diakui oleh penulisnya sembari mengutip kalimat klasik “nihil novi sub sole”, di bawah matahari tak ada satu pun yang baru, sudah barang tentu 13 tokoh yang ditulisnya bukan hal baru. Semua kita mengetahui mereka baik dari buku maupun film.

Namun buku ini memiliki kelebihan yang perlu ditelaah. Kelebihan itu terletak pada penggunaan tiga bingkai sebagai ancangan penulisan tokoh yakni biografi, sejarah, dan struktur sosial. Tiga bingkai ini berkelindan mengitari tokoh yang dibicarakan yang dalam pendekatan Sociological imagination-nya Wright Mills disebut sebagai interseksi terutama dalam struktur sosial.

Inilah hal menarik dari buku ini. Membincangkan Soekarno tidak dapat berhenti pada perjalanannya secara linear, kita perlu membingkainya dengan situasi politik, dan juga situasi sosial di mana Soekarno berada.

Mungkin dengan meminjam tiga bingkai itu, kita dapat dengan jeli membaca sepak terjang beragam usulam Mas Menteri Nadiem. Lalu dengan kejelian itu kita mengajukan pendapat yang bernas, tidak sekadar berpendapat atas dasar bacaan judul berita semata.

Makassar, 10 Desember 2019

Ida Azuz

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama