Lima Belas Komunitas Adat di Indonesia Berkunjung ke Kajang Bulukumba



KOMUNITAS ADAT. Bupati Bulukumba AM Sukri Sappewali (keempat dari kanan) foto bersama beberapa panitia dan peserta Workshop Penguatan Lembaga Adat, yang dibuka secara resmi oleh Bupati AM Sukri Sappewali, di Hotel Agri, Selasa 3 Desember 2019. (ist)

 



-------
Rabu, 04 Desember 2019


Lima Belas Komunitas Adat di Indonesia Berkunjung ke Kajang Bulukumba


BULUKUMBA, (PEDOMAN KARYA). Sebanyak 15 komunitas atau lembaga adat dari berbagai daerah di Indonesia berkunjung ke kawasan adar Ammatoa, Kajang, Bulukumba, 03-04 Desember 2019.

Kedatangan mereka difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Workshop Penguatan Lembaga Adat, yang digelar di Hotel Agri Bulukumba, Selasa, 03 Desember 2019, yang dilanjutkan dengan kunjungan ke kawasan adat Ammatoa, Kajang, Bulukumba.

Mereka berkunjung untuk melihat langsung proses dan implementasi Perda Nomor 9 Tahun 2015, tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Ketua Panitia, Ratna Yunnarsih, mengatakan, dipilihnya Kabupaten Bulukumba, karena dinilai lebih progresif dalam penyusunan regulasi Perda terkait lembaga adat, khususnya Adat Ammatoa Kajang.

Selama dua hari peserta workshop mengikuti sejumlah materi di hari pertama, dan hari kedua mengunjungi kawasan Adat Ammatoa Kajang dan akan berdiskusi langsung dengan pemimpin adat Ammatoa serta pemangku adat lainnya.

“Melalui kegiatan ini kita akan mengenalkan praktek-praktek, baik terkait upaya perlindungan masyarakat adat, maupun upaya-upaya pemberdayaan masyarakat adat yang telah berlangsung di Kabupaten Bulukumba,” ungkap Ratna, pada acara pembukan Workshop Penguatan Lembaga Adat, yang dibuka secara resmi oleh Bupati AM Sukri Sappewali, di Hotel Agri, Selasa 3 Desember 2019.

Melalui workshop dan kunjungan ke kawasan adat Ammatoa Kajang, diharapkan dapat diadopsi oleh daerah-daerah lain, khususnya yang diundang menjadi peserta workshop, yang saat ini juga dalam proses penyusunan regulasi kelembagaan adat, termasuk implementasinya di daerah masing-masing.

Selalu Kalah

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan TME dan Tradisi, Christriyani Ariani, menyebutkan masyarakat adat sudah hadir sebelum masa kemerdekaan atau negara Indonesia terbentuk, namun dalam perkembangannya terjadi dinamika sehingga masyarakat adat atau komunitas adat kurang terdengar.


Karena itulah, idealnya, komunitas adat sebagai sumber potensi dan pembentuk keragaman budaya tidak musnah dalam dinamika negara-bangsa Indonesia.

“Mereka memiliki hak untuk berdinamika sesuai dengan potensi dan identitas budayanya, sekaligus turut pula berkewajiban merepresentasikan kebhinekaan sosial-budaya Indonesia,” kata Christiyani.

Norma yang berlaku selama ini dipegang teguh dan dijalankan dalam aktivitas keseharian komunitas adat, katanya, selalu kalah dengan perangkat hukum positif milik negara.

Persoalan mendasar inilah yang menjadi sumber kompleksitas permasalahan yang mendera masyarakat adat di dalam proses pembangunan Indonesia, seperti hak asasi, hak-hak kewarganegaraan, persoalan pendidikan, masalah kesehatan, kedaulatan teritorial dan lain sebagainya.

Namun dengan adanya dinamika demokrasi dan otonomi turut memberi ruang bagi komunitas adat untuk menyuarakan eksistensi, menyatakan pengakuan kepada masyarakat luas, menuntut pemenuhan hak-hak sebagai warga negara secara setara.

“Dalam beberapa kasus, komunitas adat bahkan mampu memperoleh legitimasi norma positif atas identitas budayanya. Komunitas Adat Ammatoa Kajang merupakan salah satu contoh, dari beberapa komunitas dengan kasus serupa di Indonesia,” beber Christriyani.

Pasang ri Kajang

Bupati Bulukumba, AM Sukri Sappewali, menyampaikan terima kasih kepada Kemendikbud atas dipilihnya Kabupaten Bulukumba sebagai lokasi studi banding masyarakat adat dari 15 komunitas adat se-Indonesia.

Perda Perlindungan Hak Adat Ammatoa Kajang, katanya, menjadi payung hukum dalam melaksanakan berbagai program kegiatan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat adat Ammatoa Kajang.

“Secara khusus juga Presiden telah mengeluarkan Keppres untuk hutan adat Kajang, sebagai pengakuan dalam pengelolaan hutan yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat adat,” ungkap Sukri.

Hal yang membuat hutan di sana tetap terpelihara, katanya, oleh karena adanya Pasanga Ri Kajang yang dipegang teguh oleh masyarakat adat secara turun temurun.

“Ini berbanding terbalik dengan hukum positif terkait pengelolaan hutan, sudah tertulis melalui peraturan perundang-undangan, namun tetap juga banyak yang melanggar, padahal Pasanga  Ri Kajang itu tidak tertulis hanya disampaikan secara lisan,” imbuh Sukri.

Dalam Proses Pembahasan

Salah seorang tokoh adat suku Sasak dari Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Ahmad Taubi, mengaku bersyukur bisa mengikuti kegiatan tersebut oleh karena saat ini pihaknya bersama pemerintah daerah dan DPRD dalam proses pembahasan peraturan daerah tentang perlindungan adat.

“Hasil dari kunjungan belajar ini akan kami sampaikan point-point yang cocok untuk diterapkan di Lombok Utara,” kata Ahmad Taubi.

Beberapa narasumber pada workshop yang berlangsung sehari tersebut, yaitu Christriyani Ariani (Kemendikbud), Andi Misbawati Wawo (Kepala DLHK), Erasmus Cahyadi (AMAN) dan Andi Buyung Saputra (Pemangku Adat-Labbiria Ri Kajang)

Adapun daerah yang mengikuti workshop, yaitu Raja Ampat (Papua Barat), Kepulauan Aru (Maluku), Halmahera Tengah (Maluku Utara), Majene (Sulawesi Barat), Sumba Timur (NTT), Sikka (NTT), Lombok Timur (NTB).

Selanjutnya, Lombok Utara (NTB), Hulu Sungai Tengah (Kalsel), Barito Utara (Kalteng), Murung Raya (Kalteng), Lampung Timur (Lampung), Kampar (Riau), Indra Giri Hulu (Riau), dan Tobasa (Sumut). (aat) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama