Rampok, yuk!


Banyak cara melakukan perampokan. Sebut saja, cara para cowboy zaman wildwest di Amerika. Berkomplot, berkuda, dekil, jarang mandi. Dengan predikat jago tembak dan kekejaman yang duillah, mereka menyerbu kota yang gersang dan berdebu. 





------

PEDOMAN KARYA
Rabu, 15 Januari 2020


Rampok, yuk!


Oleh: M Idrus Taba
(Dosen Unhas Makassar)


Banyak cara melakukan perampokan. Sebut saja, cara para cowboy zaman wildwest di Amerika. Berkomplot, berkuda, dekil, jarang mandi. Dengan predikat jago tembak dan kekejaman yang duillah, mereka menyerbu kota yang gersang dan berdebu.

Sasarannya langsung pada bank, karena dulu, hanya bank yang menyimpan duit. Belum ada asuransi, apalagi BUMN atau BUMD di sebuah kota.

Kawanan ini akan menembak siapa saja yang menghalang. Juga termasuk Sheriff mereka habisi dengan tega. Masyarakat tidak berdaya menghentikannya, apalagi mengembalikan hasil rampokan: emas, uang, dan sebagainya.

Hasil rampokan, oleh para bandit, dibagi habis. Motifnya, cuma satu: merampok saja untuk dapat emas agar kaya. Tidak ada maksud untuk membiayai jadi seorang walikota, misalnya.

Hingga muncul jagoan yang sama dekilnya dengan rampok. Membasmi dengan bayaran, atau, kadang dengan motif yang kurang jelas.

Si tokoh protagonis sukses: semua kawanan rampok (berapapun jumlahnya) mati, walau peluru si jagoan cuma tujuh butir. Lalu, dia akan meneruskan pengelanaannya ke kota lain mencari perampok baru. Itu tipikal film cowboy dengan tokoh: Jhon Wayne, Franco Nero, Lee Van Cleef, Clint Eastwood.

Tapi sekarang, merampok telah menjadi sebuah sistem yang “sistemik”. Melibatkan orang, komunitas, institusi negara, bisnis, perangkat hukum, kekuatan politik, kepentingan pasar, jaringan internasional, dan psikologi massa. Tujuannya, selain motif mengeruk kekayaan, juga kekuasaan melalui pembiayaan perhelatan politik.

Aktor perampok, bukan orang dekil. Mereka orang terhormat secara sosial, cerdas, kaya, punya jabatan. Jumlahnya banyak. Tahu dan menguasai hukum. Juga, tata cara sistem ekonomi, keuangan, perbankan dan sumber-sumber pembiayaan serta keuangan negara.

Mereka “menyerbu” ke sistem keuangan dengan senjata piranti lunak: membanting aturan, dan piranti keras: mekanisme sistem keuangan. Melalui sebuah manajemen perampokan yang tersusun rapi dan matang, perampokan “ulang-alik” ini berlangsung sukses terus menerus.

Entah sampai kapan berhenti. Jiwasraya atau Asabri yang teranyar, mungkin ibarat kumpulan lubang yang kebetulan ulatnya nongol.

Mungkin kita sedang menunggu Jhon Wayne atau Clint Eastwood datang menolong. Koboi dekil, wajah dingin tanpa ekspresi di atas pelana kudanya yang keletihan termangu disapu debu stepa.

Kita berharap, dengan dar der dor, semua penjahat mati bergelimpangan. Sang jagoan datang sambil mengawal gerobak berisi emas dan uang. Utuh. Dia tidak butuh itu. Rakyat bersuka ria memuja para pahlawan. Kota kembali aman.

Tapi, kita tahu, betapa tak mudah menemukan Jhon Wayne dan Clint Eastwood saat ini. Selain mereka sudah almarhum atau uzur, juga mungkin butuh uang untuk berobat ke Puskesmas: sekadar mengatasi asam urat, kolesterol, diabetes dan gangguan prostat. Mungkin memang, kita hanya sedang menunggu Godot.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama