Stunting Masih Jadi Ancaman Bagi Anak Indonesia


SEMINAR STUNTING. Kepala BKKBN Pusat, Hasto Wardoyo (paling kiri) berbincang dengan Wakil Dekan I FKM UMI, M Ikhtiar (tengah), dan Anggota DPR RI Ashabul Kahfi, pada acara Seminar Nasional Kesehatan bertema “Stunting Ancaman Bonus Demografi”, di Auditorium Al-Jibra, Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Ahad, 12 Januari 2020. (ist)



------

Kamis, 16 Januari 2020


Stunting Masih Jadi Ancaman Bagi Anak Indonesia



MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen, sedangkan pada tahun 2018, prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen. Artinya, tiga dari 10 anak Indonesia usia di bawah lima tahun menderita stunting.

“Stunting saat ini masih menjadi salah satu ancaman bagi anak Indonesia,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Hasto Wardoyo, saat tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional Kesehatan bertema “Stunting Ancaman Bonus Demografi”, di Auditorium Al-Jibra, Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Ahad, 12 Januari 2020.

Hasto mengatakan stunting (kondisi gagal pertumbuhan tubuh dan otak pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama, sehingga anak lebih pendek atau perawakannya lebih pendek dibanding anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir) membawa dampak negatif tidak hanya pada hidup anak, tapi juga menjadi ancaman bonus demografi.

“BKKBN bekerja di hulu dengan mengoptimalkan pengasuhan di 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) untuk mencegah terjadinya stunting pada anak,” kata Hasto yang mantan Bupati Kulonprogo.

Dalam Pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan, katanya, BKKBN mendapat peran untuk melaksanakan tugas pemberdayaan keluarga melalui Pengasuhan 1000 HPK, yaitu pengasuhan yang dilakukan saat kehamilan sampai dengan anak berusia 2 tahun setelah kelahiran

Orangtua, katanya, harus mempersiapkan kesehatannya agar stunting tidak terjadi pada anaknya kelak.

“Stunting dapat dicegah dimulai dari masa remaja dimana seorang remaja dapat mempersiapkan dan merencanakan masa depan dan kehidupan berkeluarganya dengan pemenuhan gizi yang tepat semasa remaja,” kata Hasto.

Dia menambahkan, tidak terpenuhinya salah satu komponen zat gizi pada masa remaja, khusus remaja putri sebagai calon ibu, dapat mengakibatkan stunting pada bayi yang dilahirkan nanti, sedangkan tidak optimalnya pemberian stimulasi pada periode 1000 HPK, berdampak pada terhambatnya kemampuan otak anak untuk menangkap dan mengolah informasi secara tepat di masa mendatang.

Karena itulah, kata Hasto, sangat penting mengatur jarak kelahiran anak, jarak yang tidak terlalu dekat memungkinkan kita untuk memberikan ASI secara 2 tahun penuh kepada anak.

“Dengan mengatur kelahiran anak, akan mendapatkan asupan gizi dan ASI, serta kasih sayang yang cukup,” kata Hasto.

Faktor 4 Terlalu

Kepala BKKBN Pusat, Hasto Wardoyo, mengatakan, stunting dapat dicegah dengan menghindari faktor 4 Terlalu, terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan, terlalu banyak melahirkan, dan terlalu sering melahirkan.

“Jarak kelahiran antar anak yang baik, paling tidak adalah tiga tahun, selain mencegah stunting, pengaturan jarak ini juga dapat mencegah risiko kematian ibu dan bayi,” kata Hasto.

Selain Hasto Wardoyo, narasumber yaitu Anggota Komisi IX DPR RI yang juga Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Sulsel, Ashabul Kahfi, Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, Bachtiar Baso, Wakil Dekan I Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UMI, M Ikhtiar, serta Eha Sumantri dari Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi). (ima)

----------
Berita terkait Stunting:

Angka Stunting di Sulsel Seharusnya Rendah 

Giat PKB dan PLKB Lahirkan Generasi Bebas Stunting di Sulsel 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama