Chairil Anwar dan Hari Puisi (1)


Di Jakarta, Chairil Anwar hanya dapat mengikuti pendidikan di MULO sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak). Dia giat belajar Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing itu.



------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 April 2020


Chairil Anwar dan Hari Puisi (1):


Hanya Tamat SD tapi Menguasai Tiga Bahasa Asing


Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan / Pengajar)


Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Pepatah lama ini kemudian disambung dengan kalimat, “manusia mati meninggalkan nama.”

Nama yang kita tinggalkan setelah mati, tentu akan disesuaikan dengan siapa kita semasa hidup. Nama kita akan baik dan dikenang sebagai orang baik, apabila semasa hidup, kita memang orang baik.

Ada juga orang yang semasa hidupnya melahirkan karya-karya sastra terkenal dan fenomenal, sehingga setelah ia mati, namanya dikenang sebagai sastrawan. Dan itulah yang melekat pada diri seorang Chairil Anwar.

Chairil Anwar yang lahir di Medan, 26 Juli 1922, adalah seorang pujangga dan oleh HB Jassin, ia dinobatkan sebagai pelopor Angkatan ’45, bersama Asrul Sani dan Rivai Apin.

Chairil Anwar semasa hidupnya yang relatif sangat singkat, diperkirakan menulis 96 karya, termasuk 70 puisi.

Jumlah karyanya memang sangat sedikit dibandingkan para penyair lain, karena ia juga mati muda, yakni pada umur 27 tahun, tetapi sebagian karya-karyanya sangat fenomenal dan akhirnya menjadi legendaris.

Lahir dan Besar di Medan

Chairil Anwar lahir dan dibesarkan di Medan. Ia anak tunggal dari Toeloes bin Haji Manan, dan Saleha, keduanya berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Sekadar informasi, Payakumbuh dulu merupakan ibukota dari Kabupaten Lima Puluh Kota, tapi sekarang Payakumbuh sudah berdiri sendiri dengan nama Kota Payakumbuh.

Sang ayah, Toeloes bin Haji Manan, bekerja sebagai ambtenar pada zaman Belanda dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Rengat kemudian berubah menjadi Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

Toeloes bin Haji Manan konon juga masih memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Ibunya bernama Saleha yang dipanggil sebagai Mak Leha. Ketika dikawini oleh Toeloes, Mak Leha berstatus janda beranak satu. Namun perkawinan Toeloes dengan Saleha akhirnya terputus. Mereka bercerai dan Saleha kemudian hijrah ke Jakarta dan membawa serta Chairil Anwar.

Setelah Mak Leha pergi ke Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia) bersama Chairil, Toeloes kawin lagi dengan Ramadhana atau Mak Dona juga janda beranak satu.

Dari Ramadhana ini, ayah Chairil Anwar memperoleh empat orang putri, yakni Nini Toeraiza, Toehilwa, Toehilwi, dan Toechairiyah.

Menurut penuturan Nini Toeraiza, ayahnya itu amat keras dalam mendidik anak. Ketika Chairil ke Jakarta, ayahnya menegaskan akan membiayai sekolahnya. Namun, jika Chairil tidak bersekolah, kirimannya akan dihentikan.

Buya Hamka pernah bertemu dengan Toeloes, dan Hamka mengatakan bahwa Chairil, anak lelaki satu-satunya itu, telah menjadi orang besar sebagai penyair di Jakarta. Ketika mendengar hal itu, ayah Chairil menitikkan air mata karena bangga dan terharu.

Pada 5 Januari 1949, Toeloes bin Haji Manan meninggal ditembak tentara Belanda ketika Aksi Polisionil Belanda terjadi di Rengat.

Pendidikan Chairil Anwar

Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan. HIS adalah sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.

Setelah tamat dari HIS, Chairil Anwar meneruskan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP.

Ia tidak menamatkan pendidikannya di MULO Medan itu. Dia hanya sampai kelas satu. Selanjutnya, ia pindah ke Jakarta dan masuk kembali ke MULO di Jakarta. Walaupun ia masih bersekolah di MULO, buku-buku untuk tingkat HBS (Hogere Burger School) sudah dibacanya.

Menguasai Bahasa Asing

Di Jakarta, Chairil Anwar hanya dapat mengikuti pendidikan di MULO sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak). Dia giat belajar Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing itu.

Di Batavia, ia pun mulai berkenalan dengan dunia sastra. Ia juga rajin membaca karya-karya sastra, termasuk karya-karya pengarang internasional ternama, seperti Rainer Maria Rilke, WH. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J Slaurhoff, dan Edgar du Perron.

Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. (bersambung)


--------
Sumber referensi:

Chairil Anwar (1922—1949), dikutip pada Selasa, 28 April 2020, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar
Kabupaten Lima Puluh Kota, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lima_Puluh_Kota, dikutip pada 28 April 2020
Kota Payakumbuh, https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Payakumbuh, dikutip pada 28 April 2020
Mappapa, Pasti Liberti, “Baca Puisi, Chairil Dipukul Istri”, https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20160815/Ketika-sang-Gajah-Memukul-si-Binatang-Jalang/, diposting pada 15 Agustus 2016, dikutip pada 29 April 2020
Pringadi, “Sejarah Hari Puisi Indonesia”, diposting pada 21 Maret 2019, dikutip pada 28 April 2020, https://catatanpringadi.com/sejarah-hari-puisi-indonesia/
Rengat, Indragiri Hulu, https://id.wikipedia.org/wiki/Rengat,_Indragiri_Hulu, dikutip pada 28 April 2020
Sekilas Tentang Sejarah Kabupaten Limapuluh Kota, https://sumbar.antaranews.com/berita/201954/sekilas-tentang-sejarah-kabupaten-limapuluh-kota, diposting pada Kamis, 13 April 2017 20:13 WIB, dikutip pada 28 April 2020

--------
Baca juga:

Mengenal dan Mengenang RA Kartini (2-habis)
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama