Mendadak Jadi Ustadz Tingkat Nasional


Penulis, Andi Mahrus (paling kanan) foto bersama beberapa seniman. Tahun 1998 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, penulis didadak memimpin doa pada pembukaan sebuah acara pementasan seni kearifan lokal. (Foto diambil dari akun Facebook Andi Mahrus)





--------

PEDOMAN KARYA
Rabu, 13 Mei 2020


Mendadak Jadi Ustadz Tingkat Nasional


Oleh: Andi Mahrus

Tahun 1998. Jakarta seperti membeku. Saya bersama rombongan kesenian Bulukumba tiba di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) saat masih pagi. Pemda Bulukumba diundang oleh General Manager Taman Mini untuk tampil mementaskan seni kearifan lokal di anjungan Sulawesi Selatan.

Penerimaan pun dilakukan secara resmi. Acara itu  benar-benar formal karena diawali dengan kata pengantar oleh Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Bulukumba, Andi Sulham Hasan, mewakili Bupati Bulukumba, dan disusul sambutan General Manager TMII yang diwakili Direktur Anjungan Sulawesi Selatan.

Mereka yang hadir pun cukup banyak. Selain  beberapa seniman dan anggota Kerukunan Keluarga Masyarakat Sulawesi Selatan (KKSS), juga hadir pejabat dari Pemprov DKI Jakarta.

Seni lokal yang sudah siap ditampilkan saat itu adalah “Tari Kreasi Panrita Lopi” garapan Dharsyaf Pabottingi dari Teater Kampong, dan “Attahuru Bente” serta “Attunu Panroli” dari Tana Towa Kajang.

Memasuki pengantar penutupan acara oleh master of ceremony (MC), Pak Sekwilda (masih sebutan sekwilda saat itu, sebelum otonomi daerah) Andi Sulham tiba-tiba melakukan interupsi. Kepada MC, dia meminta agar saya diundang terlebih dahulu membacakan do’a penutup. Maka spontan MC pun mengundang saya tampil ke depan.

Saya merasa keder juga. Tampil membaca doa dalam situasi didadak seperti itu sangat mempengaruhi psikologi saya. Dan memang benar, detak jantung saya memukul kencang, nafas tersengal, hati dan otak menjadi kalut.

Ini Jakarta. Ibukota negara. Do’a yang  dipanjatkan harusnya bertaraf nasional. Bahkan boleh jadi taraf internasional, sebab di sekitar Anjungan Taman Mini tidak sedikit berkeliaran turis-turis dari mancanegara.

Saya sempat berpikir, dari mana mendapatkan susunan do’a yang selevel itu, padahal sebelumnya saya tidak persiapkan? Ah, mestinya Pak Sekwilda jangan begitu, mendadak anak buah disuruh tampil di luar habitatnya, adalah pembunuhan karakter, gumam saya, sambil melangkah terbata-bata menuju mimbar.

Seraya berjalan, otak saya bagaikan kaki ayam mencakar-cakar semua arsip kalimat do’a yang pernah saya simpan di kelopak pikiran. Saya pun membaca dalam hati sebuah do’a sebelum tampil berbicara di depan orang banyak, yaitu:
“Rabbisyrahlii sadrii
Wa yassirlii amrii
Wahlul uqdatan min
lisaanii
Yafkahu qaulii."

Maka dengan bismillah, saya memulai membaca do’a. Semua hening. Bahasa Arab yang biasa tersangkut-sangkut di ujung lidah jika saya lafalkan, ternyata begitu lancar mengalir bagai bendungan air yang baru saja diresmikan.

Jakarta yang sibuk, berhasil saya remuk. Semua yang hadir bersyukur. Saya pun berterima kasih kepada Andi Sulham Hasan. Rupanya dengan do’a dadakan itu, saya mendapat gelar “ustas tingkat nasional.”

Bulukumba, 14 Mei 2020
-------
(Penulis, Andi Mahrus, adalah seorang seniman, mantan pejabat lingkup Pemkab Bulukumba, dan juga penceramah)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama