Layanan Perpustakaan Bagi Generasi Z

 


PERPUSTAKAAN GENERASI Z. Layanan perpustakaan harus mampu menjawab tuntutan dan kebutuhan zamannya. Layanan perpustakaan untuk Generasi Milenial atau dikenal dengan Gen Y, tentu sangat berbeda dengan kebutuhan layanan perpustakaan bagi Generasi Z. (Foto: Rusdin Tompo)

 

-------

PEDOMAN KARYA

Senin, 28 September 2020

 

 

OPINI

 

 

Layanan Perpustakaan Bagi Generasi Z

 

 

Oleh: Heri Rusmana

(Pustakawan Madya pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan)

 

----

Layanan perpustakaan harus mampu menjawab tuntutan dan kebutuhan zamannya. Layanan perpustakaan untuk Generasi Milenial atau dikenal dengan Gen Y, tentu sangat berbeda dengan kebutuhan layanan perpustakaan bagi Generasi Z.

Generasi Milenial, yakni mereka yang lahir di rentang tahun 1981-1994, tak segegap gempita mengakrabi teknologi, sebagaimana Generasi Z yang lahir di atas tahun 1995.

Bila om dan tantenya dari Gen Y harus bermigrasi menyesuaikan pola hidup sosialnya dengan berbagai perangkat digital, maka bagi anak-anak Gen Z, habitatnya justru sudah dikelilingi teknologi begitu mereka lahir.

Situasi ini tentu punya relevansi dengan layanan perpustakaan. Bagi Gen Y, layanan perpustakaan secara manual itu hal lumrah. Datang berkunjung, membaca, dan meminjam buku di perpustakaan dengan layanan konvensional merupakan suatu kewajaran. Membaca buku teks lewat cetakan adalah kesehariannya.

Sedangkan bagi Generasi Z, perpustakaan bisa jadi sudah merupakan sesuatu yang berjarak dengan mereka. Perpustakaan adalah kata asing yang tak lagi ditemui secara fisik, dan buku-buku cetak hampir tak lagi disentuh.

Itu karena basis aktivitasnya serba digital. Mereka akrab dengan internet dan teknologi digital yang serba sophisticated, sedangkan generasi sebelumnya masih berkutat dengan kehidupan analog.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekira 68,1 persen (207,8 juta) merupakan penduduk usia produktif (15-64 tahun).

Dari data yang dikutip Yudi Kurniawan, dalam Kompasiana (1/12/2016) itu, jika dikerucutkan lagi, maka ditemukan bahwa usia paling produktif seseorang biasanya berada pada umur 25-40 tahun. Artinya, mereka yang lahir pada rentang 1995-2010. Mereka inilah kelompok generasi emas yang akan menjadi tulang punggung kita, ketika Indonesia mengalami bonus demografi di tahun 2035.

Karena itu, untuk menyikapi kehadiran Generasi Z maka sudah semestinya jika sejak sekarang layanan perpustakaan disesuaikan dengan kondisi mereka di masa mendatang, sehingga kita perlu memahami karakteristik Generasi Z, agar bisa membantu merumuskan dan membuat strategi layanan pepustakaan masa depan yang visioner dan futuristik

Secara garis besar, ada beberapa karakteristik yang bisa dijadikan acuan bagi perpustakaan agar bisa melayani kebutuhan Generasi Z. Karakteristik ini sudah terlihat sebagai cara hidup dan gaya hidup mereka.

Pertama, menggunakan platformsocial media. Generasi Z jauh lebih akrab dan tak bisa lepas dari sosial media. 

Aktivitas mereka yang sehari-hari begitu beragam selalu terkait dan terhubung dengan media sosial. Mulai dari menulis status, berswafoto, berbagi link informasi, memposting foto di grup WhatsApp (WA), membuat instastory di Instagram, live di Facebook, berkicau di Twitter, membuat konten hiburan untuk TikTok hingga video-video kreatif di kanal YouTube-nya

Mereka sangat aktif ber-sharing informasi, walau perilaku ini sering dikritik karena tanpa disaring dengan penuh kehati-hatian agar tidak sekadar viral dan kemudian menimbulkan hoax. Apalagi selama masa pandemi Covid-19, pemanfaatan teknologi begitu kencang karena pembelajaran tak lagi dilakukan secara tatap muka, tapi melalui daring atau internet.

Aktivitas di medsos ini bukan lagi sekadar iseng, atau cuma untuk mengisi waktu senggang, tapi sudah menjadi mata pencarian. Tak mengherankan jika cita-cita anak-anak kita ingin menjadi selebgram atau youtuber, karena profesi ini menjanjikan popularitas dan kekayaan.

Karena itu, sudah saatnya layanan perpustakaan dapat memanfaatkan berbagai platform media sosial tersebut. Perpustakaan bisa menyampaikan perihal informasi buku baru, kegiatan dan event, diskusi terkait gerakan litarasi, seminar-seminar yang berhubungan dengan perbukuan dan profesi pustakawanatau acara bedah buku yang memang lazim dilakukan oleh perpustakaan. 

Namun perlu dicatat bahwa informasi yang disampaikan harus dikemas secara menarik, baik teks, gambar maupun dalam format video. Jadi, meskipun singkat namun pesannya efektif dan komunikatif.

Kedua, penggunaan influencer. Jasa seorang influencer menjadi keniscayaan digunakan dalam era digital. Mereka, para influencer punya follower yang jelas dan terukur, yang biasanya merupakan public figure.

Kehadiran akun-akun para influencer ini cukup efektif dalam menarik minat generasi Z mengikuti ajakannya. Influencer bisa dijadikan strategi komunikasi yang baik dari pihak perpustakaan ke (calon) pengguna perpustakaan atau pemustaka.

Tujuannya adalah untuk mempengaruhi masyarakat atau pengguna perpustakaan untuk berkunjung ke perpustakaan atau dalam rangka membangun citra positif terhadap kebijakan, produk atau kinerja perpustakaan.

Ketiga, penggunaan smartphone. Menurut laman visioncritical.com sebagaimana dikutip Tribunnews.com (30 Juli 2019), Generasi Z menghabiskan 15,4 jam per minggu waktunya melihat layar telepon pintarnya.

Jadi, boleh disimpulkan bahwa smartphone menjadi bagian penting dalam hidup Generasi Z. Dalam konteks ini, maka layanan perpustakaan perlu menyesuaikan dengan realitas sosial mereka yang sangat akrab dengan perangkat teknologi yang hanya cukup disentuh di ujung jari itu.

Kesemua gagasan dalam tulisan sederhana ini, harus dibarengi dengan kesungguhan pustakawan dan perpustakaan dalam melakukan terobosan-terobosan baru melalui inovasi layanan berbasis digital.

Penulis dalam setiap kesempatan selalu menekankan pentingnya transformasi digital layanan perpustakaan. Salah satu terobosan yang harus dilakukan, yakni menyediakan informasi bahan pustaka melalui situsweb.

Dengan begitu, pengguna perpustakaan dapat mengetahui koleksi apa saja yang dimiliki perpustakaan, dan manakala bahan pustaka itu tersedia maka dapat diakses kapan saja, di mana saja, semudah dia memesan makanan dan minuman.

Bila perlu, bahan pustaka yang akan dipinjam diantarkan ke alamat anggota perpustakaan secara delivery order melalui jasa pengantaran, layaknya dia menunggu kaos dan sneakersnya sambil berselancar di jagat maya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama