Tuan Borahing Suka Mengintip

 

Lantas mengapa ia dipanggil dengan sebutan Tuan Borahing? Oh, sebutan tuan di depan namanya sudah ada sejak aku mengenal Tuan Borahing. Ayahnya juga dipanggil dengan sebutan tuan. Aku kira sebutan tuan ini tidak lepas dari tradisi masa kolonial.

 

 

 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 18 September 2020

 

 

CERPEN

 

 

Tuan Borahing Suka Mengintip

 

 

 

Karya: Anwar Nasyaruddin

 

 

AKU mempunyai tetangga bernama Tuan Borahing. Ia seorang pedagang hasil bumi, dan sudah dikenal di seantero kabupaten. Para petani dan para pedagang, rata rata menjual hasil bumi mereka kepada Tuan Borahing ini, karena dianggap lebih menguntungkan.

 

Lantaran profesi pedagang hasil bumi sudah dijalani puluhan tahun, maka tidak heran kalau ia sudah mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.

 

Bukti-bukti bisa dilihat yang menunjukkan bahwa Tuan Borahing sudah punya harta banyak hasil kerja kerasnya selama ini. Seperti setiap tahun, dalam bulan Ramadhan ia suka membagi-bagi uang kepada masyarakat miskin. Juga di Hari Raya Idul Adha, ia berkurban tidak dibawa sepuluh ekor sekali acara pemotongan.

 

Bukti lain, Tuan Borahing sudah dua kali mengadakan hajatan perkawinan anaknya, satu perempuan dan satu laki laki. Di acara pesta perkawinan ini, ia mengundang artis ibukota yang sudah terkenal di seluruh negeri. Bukan hanya satu artis terkenal yang diundang, melainkan tiga sampai empat orang.

 

Nah, di hari pesta perkawinan anak Tuan Borahing, baik yang pertama maupun kedua selalu ramai sekali, jalanan dan sekitarnya jadi lautan manusia. Bukan saja masyarakat pencinta nyanyian senang, pedagang asongan dan makanan ikut menikmati keuntungan.

 

Bagaimana Tuan Borahing bisa sukses dalam membangun bisnis hasil bumi? Itu tidak lepas dari strategi yang diciptakan.

 

Ia mempunyai intuisi bisnis yang memang tajam lantaran diasah selama bertahun tahun. Misalnya di setiap kecamatan ia membangun gudang-gudang tempat penyimpanan hasil bumi yang telah dibeli langsung dari para petani dan pedagang setempat.

 

Mereka, para pedagang atau petani tidak perlu lagi repot datang ke ibukota kabupaten untuk menjual hasil buminya. Tuan Borahing mematok harga yang sama di tingkat kecamatan maupun di kota kabupaten.

 

Lantas mengapa ia dipanggil dengan sebutan Tuan Borahing? Oh, sebutan tuan di depan namanya sudah ada sejak aku mengenal Tuan Borahing. Ayahnya juga dipanggil dengan sebutan tuan. Aku kira sebutan tuan ini tidak lepas dari tradisi masa kolonial.

 

Ketika masa penjajahan Belanda, orang-orang Indonesia asli dimasukkan dalam golongan kelas dua, sementara orang-orang Eropa, Arab, India, Pakistan, dan mereka yang bertubuh tinggi besar dan berwajah Indo masuk dalam golongan kelas satu. Mereka inilah yang masuk golongan kelas satu biasa dipanggil dengan sebutan tuan.

 

Aku dengar leluhur Tuan Borahing berasal dari wilayah Ahmedabad, ibukota Negara Bagian Gujarat, yang terletak di India barat dekat perbatasan dengan Pakistan. Kota Ahmedabad dahulu adalah kota perniagahan dan ramai dikunjungi para pedagang dari belahan Asia maupun Eropa.

 

Leluhur Tuan Borahing datang ke Indonesia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, sebagai pedagang sekaligus menyiarkan agama Islam. Agama Islam yang mereka bawa pada masa itu, belum seperti syariat Islam yang sekarang, masih dipengaruhi sinkretisme  Islam yang bercampur budaya Hindu.

 

Tuan Borahing yang selalu dipanggil dengan sebutan tuan di depan namanya, dalam keseharian pergaulannya dengan masyarakat, masih terlihat ada sikap-sikap ekslusif, ada jarak yang terlihat.

 

Aku tidak tahu apakah jaga jarak ini diciptakan oleh mereka yang merasa sebagai kelompok sosial dengan strata kelas satu, atau masyarakat sosial yang menilai para tuan ini patut dihormati lebih, sebagaimana leluhur mereka melakukannya di masa penjajahan Belanda.

 

Salah satu bukti sikap ekslusif yang masih diperlihatkan Tuan Borahing dan keluarganya ini adalah anak-anaknya ketika masih remaja tidak pernah bergaul dengan kami, para tetangganya. Kami memang saling mengenal dengan mereka, namun kalau ketemu di tempat lain paling hanya saling senyum dan tidak ada dialog di antara kami.

 

Sejak aku baru mengenal orang, nama Tuan Borahing sudah aku dengar dengan sebutan itu. Aku dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan rumah orangtuaku yang bertetangga Tuan Borahing.

 

Ketika kedua orangtuaku wafat dan mewarisi rumahnya, aku tetap bertetangga dengan Tuan Borahing. Kalau aku, setelah menikah tetap tinggal di lingkungan tersebut, sedangkan anak Tuan Borahing setelah menikah justru meninggalkan rumah orangtuanya dan dididik untuk langsung mandiri dengan dibekali modal yang cukup.

 

Ketika Tuan Borahing belum seperti sekarang, bisnis hasil buminya masih kecil-kecilan. Ia dibantu istrinya setiap hari menjemur pembelian hasil buminya, seperti kopi, cengkeh, jambu mete, dan coklat.

 

Bahkan sebelum-sebelumnya, Tuan Borahing juga membeli kopra. Namun setelah kopra jatuh harga lantaran minyak kelapa diganti minyak kelapa sawit, ia mengalihkan pembelian kepada hasil bumi lainnya yang laku di pasaran.

 

Sebagai tetangga, aku melihat setiap hari Tuan Borahing sibuk menjemur. Ia dibantu istrinya. Sementara ia belum mempekerjakan orang lain, mungkin karena investasinya masih terbatas.

 

Nah, pada saat booming hasil bumi, pekarangan rumahnya yang luas dipenuhi jemuran hasil bumi. Setiap saat ia sibuk mengawasi jemurannya dari dekat, atau ia datang mengaduk-aduk jemurannya agar cepat kering. Yang membuat Tuan Borahing kelabakan ketika tiba-tiba hujan datang. Ia harus pontan-panting menyelamatkan jemuran hasil buminya dari air hujan.

 

Aku yang kebetulan melihat situasi demikian, ada kalanya datang cepat membantunya. “Mau dibantu Tuan?” kataku kepada Tuan Borahing. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis, tanda ingin dibantu.

 

Jemuran hasil bumi itu bergegas dimasukkan di gudangnya yang berada di kolong rumahnya. Di sela sela kesibukan yang luar biasa itu, Tuan Borahing yang terbiasa pakai sarung, acapkali sarungnya melorot turun dan terlihat celana kain kolornya.

 

Aku yang melihatnya hanya senyum-senyum dalam hati. Istrinya yang kebetulan melihat langsung memberitahu dan barulah Tuan Borahing menyadari dan cepat memperbaiki posisi sarungnya.

 

Belakangan, Tuan Borahing jarang terlihat di sekitar jemuran hasil buminya. Rupanya ia mengawasi dari balik jendela di atas rumah panggungnya. Sejumlah remaja di lingkungan rumah kami memanfaatkan situasi sepi ini sebagai kelengahan untuk berbuat kenakalan, dengan mencuri jemuran hasil bumi Tuan Borahing, kemudian dijual di tempat lain dengan harga miring, agar bisa membeli makanan ringan. Mereka menggunakan taktik mengalihkan perhatian.

 

Sebagian dari mereka menciptakan sandiwara pertengkaran di antara mereka, sementara sebagian kecil bersembunyi di sela – sela dinding rumah tetangga Tuan Borahing.

 

Ketika terjadi keributan di tempat tertentu yang bisa dilihat Tuan Borahing, dan perhatiannya terpusat ke sana, remaja lainnya segera menguras jemuran hasil bumi Tuan Borahing ke dalam karung kemudian mengamankan ke tempat tertentu. Mereka para remaja ini berusaha tidak meninggalkan jejak, sehingga terkesan tidak terjadi apa-apa.

 

Tindakan kenakalan remaja ini dilakukan berulang-ulang. Belakangan Tuan Borahing mulai curiga, mengapa jumlah timbangan hasil bumi yang dibeli selalu berkurang. Para remaja tidak menyadari kalau Tuan Borahing mulai lebih ketat mengawasi jemuran hasil buminya dengan setiap saat mengintip dari balik jendela rumahnya.

 

Suatu ketika beberapa remaja kembali mengendap-endap untuk mencuri jemuran hasil di bumi Tuan Borahing. Ketika mereka baru memasukan ke dalam karung, tiba-tiba terdengar suara teriakan Tuan Borahing dari balik jendela dengan menggunakan speaker tangan “Jangan kau ambil jemuran cengkeh itu. Cengkeh itu dijemur untuk dikeringkan, bukan untuk dicuri!”

 

Teriakan ucapan itu dilakukan berulang-ulang dan terdengar sampai ke beberapa rumah tetangga kanan kiri rumah Tuan Borahing, sehingga melahirkan kegemparan.

 

Mendengar suara itu, para remaja yang tidak menyangka akan dilihat perbuatan mereka, kaget luar biasa dan langsung lari pontang-panting ke tempat jauh. Kejadian itu oleh Tuan Borahing dianggap sebagai kenakalan remaja, sehingga tidak dipermasalahkan.

 

Besoknya, aku ketemu teman-teman remaja, dan menanyakan siapa yang melakukan tindakan kenakalan tersebut.

 

“Bagaimana kita tidak jahil kepada Tuan Borahing, orangnya sangat pelit. Kami pernah datang meminta sumbangan untuk kegiatan di lingkungan sini, tidak diberikan sepersenpun,” kata Ramli, salah seorang remaja.

 

“Mungkin kebetulan Tuan Borahing saat itu tidak punya uang. Dia belum menerima hasil penjualan hasil buminya,” kataku mencoba membela Tuan Borahing.

 

“Memang Tuan Borahing pelit. Bukan hanya sekali kami datang meminta sumbangan, sudah berkali-kali setiap ada kegiatan di sini, tidak pernah diberikan sekalipun. Bahkan kami pernah datang meminta daun jambu batu untuk obat teman yang sakit perut, juga tidak diberikan, karena di pekarangan rumahnya ada tumbuh pohon jambu batu. Memang dia tuan pelit,” sambung Abubakar yang ikut terlibat dalam kenakalan tersebut.

 

Akhirnya aku paham, alasan para remaja ini melakukan kenakalan, karena sakit hati. Rupanya mereka ingin melampiaskan kekecewaan mereka dengan berbuat demikian.

 

Itu dahulu ketika Tuan Borahing masih pedagang kecil. Sekarang ia sudah jadi saudagar besar dengan aset yang tersebar di mana-mana, dan tidak mungkin  para remaja berniat lagi berbuat kenakalan, karena Tuan Borahing sudah berubah dan model jemuran hasil buminya juga berubah, sudah dikelola dengan pola modern.

 

Pagi-pagi benar tadi, waktu aku pulang dari shalat subuh di masjid, aku melihat di depan rumah Tuan Borahing yang besar, mewah, dan luas halamannya, berkibar bendera putih. Aku berpikir, siapa tahu Tuan Borahing yang meninggal, karena sudah lama ia selalu sesak napas lantaran menderita penyakit jantung menahun. ***

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama