Budaya Lama Masuki Fase Anomali di Era Milenial

GURU BESAR. Eliza Meiyani dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-11 Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Sabtu, 31 Oktober 2020. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





-------- 

Senin, 02 November 2020

 

 

Budaya Lama Masuki Fase Anomali di Era Milenial

 

-         Eliza Meiyani Dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-11 Unismuh Makassar

 

MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Di era milenial, sedikit atau banyak, akan terbentuk pola budaya baru yang mendesak pola budaya lama, atau paling tidak, pola budaya lama memasuki fase anomali menuju fase krisis budaya (culture crisis).

“Munculnya fase anomali itu bersamaan dengan munculnya fakta baru atau fenomena baru di kalangan milenial yang pada umumnya masih mewarisi nilai sosial budaya masa lampau yang masih berlaku dalam keluarga,” kata Prof Eliza Meiyani.

Hal itu ia sampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar ke-11 Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Balai Sidang Muktamar 47 Kampus Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Sabtu, 31 Oktober 2020.

Dalam pidato pengukuhannya, Eliza mengusung judul “Reposisi Abbatireng sebagai Produk Budaya Manusia Bugis-Bone di Era Milenial.”

Menurut Eliza, nilai-nilai sosial budaya masa lampau (yaitu abbatireng atau kekerabatan), masih dianut secara ketat oleh keluarga di satu sisi, tapi di sisi lain bersamaan berlaku nilai sosial budaya milenial yang cenderung berproses ke arah berlawanan dengan nilai-nilai sosial budaya masa lampau sebagai hasil proses akulturasi budaya.

“Ketika terjadi tahap anomali dalam kebudayaan yang cenderung anarkis terhadap budaya lama, maka pada saat itulah diperlukan reposisi budaya abbatireng sebagai nilai sosial budaya superior masyarakat Bugis-Bone,” kata perempuan asal Wajo, yang meraih gelar doktor (S3) Antropologi Budaya di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar tahun 2009.

Eliza mengatakan, nilai sosial budaya abbatireng telah mengalami proses uji validasi budaya secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga memiliki ketahanan budaya yang tangguh sesuai jati diri masyarakatnya.

 

Konsep Kekerabatan

 

Abbatireng bagi Suku Bugis-Bone, kata dia, merupakan suatu konsep kekerabatan yang di dalamnya juga mengandung nilai-nilai dan norma-norma keluarga yang juga merupakan kristalisasi cipta, rasa, dan karsa manusia Bugis-Bone.

Dalam abbatireng, lanjut Eliza, terkristalisasi suatu pola hubungan kekeluargaan (kekerabatan) yang tidak dapat dipisahkan dari esensi pencitraan dan kehidupan manusia.

“Pola hubungan dimaksud, bahwa dalam masyarakat Bugis-Bone, abbatireng atau kekerabatan mengandung nilai-nilai luhur keluarga yang terwujud dalam beberapa istilah, seperti indo-ambo, amure, anaure, sapposiseng, sompulolo, wija, yang di dalamnya mengandung makna kekerabatan atau keluarga yang mempunyai korelasi atau implikasi dalam aktivitas kehidupan manusia,” tutur Eliza.

Munculnya era milenium yang mengglobal, ujarnya, menyebabkan terjadinya pergeseran  sistem kebudayaan (abbatireng), minimal dalam level abstrak, yaitu masuknya nilai-nilai budaya baru yang terstruktur dalam alam pikiran generasi ilenial saat ini.

“Sesuai asumsi Claude Levi-Strauss, bahwa yang paling esensi dalam paham kaum strukturalis dalam antropologi, bahwa melalui pikiran manusia, melalui alam sadarnya, akan menghasilkan pandangan lain tentang dunia luar,” tutur Eliza.

Pergeseran itu, katanya, tampak dalam masyarakat milenial sebagai suatu indikator empirik, paling tidak, melalui alam pikiran kaum milenial telah terbentuk struktur berpikir budaya baru yang diikuti dengan munculnya peralatan teknologi, seperti nano chip, robotic, dan handphone, sebagai produk peralatan kebudayaan baru yang mendukung transformasi nilai-nilai budaya baru yang cepat dan mengglobal.

 

Penguatan Kekerabatan

 

“Untuk menahan laju percepatan kehancuran jati diri manusia itu, dibutuhkan penguatan kekerabatan atau abbatireng sebagai modal sosial dan kontrol sosial, atau upaya reposisi abbatireng bagi masyarakat Bugis-Bone,” kata Eliza.

Penguatan abbatireng sebagai modal sosial dan kontrol sosial, katanya, dimaksudkan agar pembauran dan pengaburan kekerabatan sebagai produk budaya baru (multikultural), hanya dapat dibendung melalui pelembagaan kembali sistem kekerabatan abbatireng di kalangan warga milenial.

Pelembagaan kembali (double legitimasi) abbatireng, ujarnya, dapat menjadi “the guardian of culture” atau penjaga budaya guna menangkal bahaya laten hilangnya sistem kekerabatan abbatireng di era milenial.

“Penguatan abbatireng sebagai modal sosial dan kontrol sosial dilakukan melalui proses resoalisasi atau reposisi menjadi sangat urgen. Karena itu, agar perilaku generasi era milenial tidak liar dan tanpa arah, maka diperlukan desain ulang atau memberlakukan kembali nilai-nilai sosial yang dianut keluarga, seperti penghormatan terhadap ayah dan ibu, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda, sopan santun, toleransi, saling menghargai,” tutur Eliza.

 

Dihadiri Kapolda, Bupati, dan Rektor

 

Pengukuhan Eliza Meiyani sebagai Guru Besar Antropologi Sosial dilakukan dalam Rapat Senat Luar Biasa yang dipimpin langsung Rektor Unismuh Makassar, Prof Ambo Asse, didampingi Ketua Dewan Guru Besar Prof Irwan Akib.

Turut hadir dalam rapat tersebut antara lain Kapolda Sulsel Irjen Pol Merdisyam, Bupari Bone Andi Fahsar Mahdin Padjalangi, Rektor UIN Alauddin Prof Hamdan Juhannis, dan beberapa pimpinan perguruan tinggi lainnya, serta Kepala LLDikti Wilayah IX Prof Jasruddin Malago. (asnawin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama