Larangan Mengikuti Langkah-langkah Setan dalam Berprasangka

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan, maka sesunggunya syaithan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nûr/24: 21)





------------- 

PEDOMAN KARYA

Ahad, 29 November 2020

 

Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (57):

 

 

Larangan Mengikuti Langkah-langkah Setan dalam Berprasangka

 

 

Oleh: Abdul Rakhim Nanda

(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)

 

 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan, maka sesunggunya syaithan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nûr/24: 21)

 

Sebelum mengambil ibrah dari firman Allah SWT ini, ada baiknya terlebih dulu dikemukakan salah satu riwayat yang mengenai latar belakang historis turunnya ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya terkait dengan peristiwa tersebut.

Sebuah hadits yang bersumber dari Asy Syaikhâni (Bukhari dan Muslim) dan lainnya yang bersumber dari ‘Aisyah berkata: Dulu Rasulullah bila hendak mengadakan perjalanan, maka terlebih dulu beliau mengundi di antara isteri-isterinya, siapa di antara mereka yang keluar undiannya dialah yang ikut bepergian bersama beliau.

Demikian pula jika beliau hendak menuju medan perang, beliau pun mengundi isterinya siapa di antaranya yang berhak ikut menyertainya ke medan perang. Pada saat itu, tiba-tiba undian saya yang keluar, maka saya pun ikut berangkat berperang bersama beliau. Kejadian itu setelah diturunkannya ayat hijab. Saya diangkut ke atas tandu, dan tandu itu diletakkan di atas unta, lalu kami semua berangkat.

Setelah selesai peperangan dan di waktu pulang hampir mendekati kota Madinah, Rasulullah s.a.w memberi izin untuk berhenti sebentar pada suatu malam. Lalu saya turun dari tandu, saya berjalan hingga melampaui pasukan untuk buang hajat. Setelah selesai buang hajat, saya kembali ke tempat kendaraan, saya raba dada saya, ternyata kalung saya putus dan jatuh, sementara saya tidak mengetahui dimana jatuhnya, sehingga saya kembali mencarinya.

Karena saya mencari kalung tersebut dalam waktu yang lama, sehingga orang-orang yang membawa tandu mengangkat kembali tandu itu ke atas unta yang tadinya saya tumpangi dengan perkiraan mereka bahwa saya sudah berada di dalamnya.

Aisyah menuturkan, dahulu wanita-wanita memiliki badan ringan dan langsing, sehingga tidak begitu terasa perbedaan antara tandu yang kosong dengan tandu yang berisi.

Saya menemukan kalung milik saya setelah pasukan Rasulullah s.a.w berangkat semua. Tak seorang pun dari rombongan kami yang tinggal kecuali saya sendiri. Saya duduk kembali di tempat berhenti semula, dengan harapan mereka akan menjemput dan mencari saya. Ketika duduk di tempat istirahat tadi, saya mengantuk dan terus tertidur.

Secara kebetulan Sofyan bin Al Mu’aththal yang memang ditugaskan untuk mengawasi pasukan, mendapati saya pada subuh hari dalam keadaan tidur, dan segera dia melihat ada hitam bayangan manusia yang tidur. Dia mengenal saya, karena sebelum diturunkannya ayat hijab dia pernah melihat saya. Setelah dia menyadari bahwa yang tertidur adalah saya maka dia mengucapkan kata-kata “innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun,” yang menyebabkan saya terbangun dan segera saya menutup wajah saya dengan jilbab.

Demi Allah!Tak ada sepatah kalimat pun yang kelar dari mulutnya kecuali kata-kata “innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun” itu. Ketika itu untanya disuruh berlutut agar saya dapat menaikinya, dan ia pun lantas menuntun unta itu hingga sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh pada siang hari.

Maka binasalah orang yang binasa mengenai perkara saya itu, yaitu mereka yang menuduh saya dengan fitnah jahat yang dibuat oleh Abdullah bin Ubay bin Salul tersebut, sehingga saya sendiri tak akan mengetahuinya.

Setelah saya merasa agak sembuh, saya memaksakan diri dengan dituntun Ummu Misthah pergi buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset dan latah dengan ucapan “celakalah anakku si Misthah”. Maka saya berkata: “amak buruk ucapannya itu, mencaci maki orang yang pernah ikut perang Badar.

Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang ia katakan? Saya menjawab: “apa yang ia katakan?” Lalu Ummu Misthah menceritrakan kepada saya tentang fitnah yang tersebar luas tersebut, maka semakin bertambahlah penyakit yang saya derita.

Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. datang menjenguk saya (ketika itu beliau tidak seperti biasanya memperlakukan saya), saya minta izin kepada beliau: “Adakah engkau memberikan izin kepada saya pergi ke rumah kedua orangtua saya, karena saya hendak meyakinkan kabar yang tersebar luas itu. Maka beliau memberi izin kepada saya. Sesampai saya di rumah orangtua saya, saya bertanya kepada ibuku: “Wahai ibuku, apakah orang-orang bicarakan mengenai diri saya?” Ibu saya menjawab: “Wahai anakku, demi Allah tabahkanlah hatimu. Amat sedikit wanita yang cantik dan dicintai suaminya serta dimadu orang-orang tidak menghasutnya.

Saya berkata: “Subhanallah, apakah sampai sedemikian orang-orang membicarakan tentang diri saya. Semalam suntuk saya menangis hingga pagi hari terbit dan air mata selalu mengalir tak henti-hentinya.”

Rasulullah s.a.w memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan tentang perceraian isterinya, karena wahyu tidak turun.Usamah mengemukakan pendapatnya, bahwa dia mengetahui terhormatnya isteri beliau, katanya: “Ya Rasulullah, mereka adalah keluarga engkau dan kami tidak mengetahui selain baik.

Ali berkata: “Allah tidak menyempitkan engkau, perempuan selain dia masih banyak. Jika engkau bertanya kepada Barirah, tentu ia membenarkan engkau.

Lalu beliau memanggil Barirah dan bertanya: “Wahai Barirah, apakah kamu pernah melihat sesuatu yang meragukan dari Aisyah?”

Barirah berkata: “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, tidak pernah aku melihat terhadap dia sesuatu pun yang aku sembunyikan, tidak lebih dia adalah seorang wanita yang usianya masih amat muda, masih suka tidur di samping tepung yang sedang diadoni, dan membiarkan tepung itu dimakan ternaknya karena ia tertidur.

Maka berdirilah Rasulullah s.a.w di atas mimbar meminta alasan dan tanda bukti dari Abdillah Ubay, lalu bersabda: “Wahai kaum muslimin, siapakah yang dapat menunjukkan orang yang menyakiti keluargaku. Demi Allah, tidak pernah kulihat istriku selain baik.

Aisyah berkata, seharian saya masih terus-menerus menangis tiada henti-hentinya air mata bercucuran. Demikian juga pada malam harinya pun saya masih terus menangis tiada henti-hentinya air mata bercucuran dan tidak sekejap pun dapat tertidur, dan kedua orang tuaku mengira bahwa tangisanku itu dapat membelah jantungku.

Ketika kedua orang tuaku menunggui saya dan saya pun masih menangis, datanglah seorang wanita dari Anshar meminta izin kepada saya untuk masuk. Saya mempersilahkannya. Tiba-tiba dia duduk menangis di samping saya.

Kemudian Rasulullah s.a.w masuk, lalu memberikan salam, kemudian beliau pun duduk. Ketika itu wahyu tidak turun kepada beliau satu bulan lamanya terkait perkara ini. Rasulullah s.a.w mengucapkan syahadat dan bersabda: ‘Amma ba’du, wahai ‘Aisyah sesungguhnya telah sampai kepadaku hal-hal mengenai dirimu,demikian dan demikian. Jika kamu bersih, maka Allah akan membersihkanmu, dan jika kamu melakukan dosa maka mohon ampunlah kepada Allah. Kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba apabila mengaku berbuat dosa kemudian bertaubat, maka Allah menerima taubatnya.

Ketika sampai kepada perkataan itu, berkata saya kepada ayahku; “Coba tolong jawabkan untukku kepada Rasulullah s.a.w wahai ayahku”. Ayahnya berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakana.

Lalu aku meminta ibuku, namun iapun berkata: “Demi Allah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan”. Maka saya berkata: “Saya adalah seorang wanita yang berusia sangat muda. Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau telah mendengar apa-apa dan terkena pengaruh di hati engkau bahkan engkau mempercayainya. Jika aku berkata, “bahwa aku bersih dan Allah mengetahui bahwa saya bersih, engkaupun tidak akan mempercayainya.

Dalam riwayat lain Aisyah berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mendapatkan perumpamaan yang sejalan dengan peristiwa ini, selain apa yang diucapkan oleh ayah Nabi Yusuf: “fashabrun jamîlun wallâhul musta’ânu ‘alâ mâ tashifûn,”maka kesabaran yang indah itulah kesabaranku, dan Allah sajalah dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceriterakan. (QS Yusuf/12:18). Setelah itu, kemudian saya berpindah dan berbaring di tempat tidurku.

Demi Allah, belum sampai Rasulullah s.a.w meninggalkan tempat duduknya dan tiada seorang pun dari ahli bait yang keluar, sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya, dan nampak sekali beliau kepayahan seperti biasanya apabila menerima wahyu.

Setelah berlangsung penerimaan wahyu, kalimat pertama yang diucapkan oleh beliau adalah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu.

Maka berkatalah ibuku kepadaku: “Berdirilah dan menghadap kepadanya.” Akupun berkata: “Demi Allah, aku tidak akan bangun menghadap kepadanya, dan tidak pula memuji selain kepada Allah, Dialah yang menurunkan kebersihanku.”

Dalam kondisi yang amat mengharukan ini Allah SWT menurunkan ayat 11 sampai 20 surah An Nuur (24), sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (11).

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri , dan berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata” (12).

Mengapa mereka (yang menuduh) itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta (13).

Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong  itu (14).

Di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang kamu tidak ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal  dia di sisi Allah adalah besar. (15).

Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-sekali tidak pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha suci engkau (ya Allah), ini adalah dusta yang besar.” (16)

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-selamanya, jika kamu orang-orang yang beriman (17), dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (18).

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita bohong tentang) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui (19).

Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang(niscaya kamu akan ditimpa adzab yang keras)” (20). (QS An Nur/24: 11-20)

Demikian latar belakang historis turunnya ayat 21 dari surah An-Nur ini yang dinukil dari Kitab Asbabun Nuzul karya K.H. Qamaruddin Shaleh, dkk.

Beberapa ibrah yang dapat dipetik dari kajian terhadap ayat ini yakni: Betapa besar pengaruh penyebaran berita yang mengandung fitnah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap Sayyidatuna ‘Aisyah r.a, hingga Rasulullah pun sempat bersikap tidak hangat kepada istrinya, serta sang ayah (Abu Bakr Ash Shiddiq) dan ibu dari ‘Aisyah juga tak mampu membela anaknya dari tuduhan itu hingga turun firman Allah SWT yang membela dan membersihkan ‘Aisyah r.a.

Dapat dibayangkan bagaiman fitnah terhadap keluarga Rasulullah hingga akhir zaman –dan tentunya juga, fitnah bagi umatnya-- sekiranya tidak turun ayat ini.

Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.” Ini jaminan Allah bagi orang baik-baik yang mendapat fitnah.

Firman Allah SWT: “Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” Ini juga adalah ancaman yang nyata –sesuai dengan tingkat keterlibatannya-- bagi orang yang berperan dalam membuat fitnah dan menyebarkannya.

Firman Allah SWT: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri , dan berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

Ini adalah makna hakiki dari persaudaraan mukmin (QS Alhujurât/49: 10) yang seharusnya merasakan bahwa orang difitnah itu adalah ‘dirinya sendiri’ sehingga tidak rela “memakan daging bangkai” saudaranya sendiri (QS Al Hujurat/49: 12).

Firman Allah SWT: “Mengapa mereka (yang menuduh) itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.”

Janganlah seseorang itu melontarkan tuduhan kalau tidak ada empat orang saksi (yang memenuhi syarat syar’i) karena Allah SWT akan melihat orang itu sebagai ‘pendusta!’”

Firman Allah SWT: Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong  itu.

Ini bermakna bahwa pembuat berita bohong (pendusta) akan senantiasamengundang bala’, sekiranya bukan karena rahmat Allah.

Firman Allah SWT: “Di waktu kamu menerima berita bohong dari mulut ke mulut dan kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang kamu tidak ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal  dia di sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-sekali tidak pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha suci engkau (ya Allah), ini adalah dusta yang besar.” Petunjuk Allah SWT inilah seharusnya menjadi sikap orang-orang yang mengaku beriman itu.

Firman Allah SWT: “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-selamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Inilah tuntunan Allah menuju jalan kesalamatan bersama-sama, menitinya berarti selamat bersama dan menjauhinya berarti diberi bala (‘azdab) bersama-sama. Maka takutlah pada akibat fitnah yang dapat menjadi musibah dari Allahbagi orang-orang beriman seluruhnya, dan–tidak lagi-- diberikan hanya kepada orang dzalim saja. (QS Al Anfal/8: 25)

Firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita bohong tentang) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” 

Bagi orang orang yang suka menebar fitnah, selain menjadi pengundang bala bencana di kehidupan dunia, juga –kata Allah SWT-- akan diadazb di akhirat. Apakah ini tidak cukup untuk menjadi paringatan?

Firman Allah SWT:“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang (niscaya kamu akan ditimpa adzab yang keras).”

Ini adalah peringatan agar janganlah seorang hamba membuat fitnah dan menyebarkannya, karena itu bisa berakibat tertutupnya pintu karunia dan rahmat Allah dan jangan sampai Dia mengubahnya menjadi siksa (‘adzab) yang keras bagi kehidupan ini.

Inilah beberapa ibrah yang dapat menjadi hikmah bagi hamba-hamba Allah SWT yang mengaku beriman kepada-Nya. Bagi siapa yang menyakini akan berjumpa dengan Allah dan meyakini bahwa ada yaumuddîn (hari pembalasan) yang seadil-adilnya, maka ibrah ini seyogyanya menjadi panduan dalam menata kehidupannya untuk tidak ‘menganggap ringan’ persoalan membuat fitnah terhadap sesama hamba dan menyebarkannya, karena dengan itu, Allah SWT akan menyandangkan gelar “pendusta” bagi pelakunya.

Dan yang paling penting disadari bahwa hal itu dapat menjadi ‘fitnah besar’ yang dapat mendatangkan musibah “bagi umat.” Sebaliknya, seyogyanyalah orang-orang beriman itu saling memelihara dan senantiasa mencari ridha Allah SWT dan menghindar dari siksa-Nya di dunia dan adzab-Nya di akhirat kelak. Wallahu musta’an…!

***

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama