Hikmah Isra’ Mi’raj

Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (int)
 





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 10 Maret 2021

 

KALAM

 

 

Hikmah Isra’ Mi’raj

 

 

Oleh: Dr Abdul Rakhim Nanda

(Wakil Rektor I Unismuh Makassar / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Dalam Al-Quránul karim yang tidak ada keraguan di dalamnya, disampaikan oleh Allah SWT suatu peristiwa penting yang disebut isra’mi’raj, untuk memperlihatkan kepada Rasul-Nya tanda-tanda (keangungan)Nya.

Allah berfirman, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 17 / Al-Isra’: 1)

Beberapa hal mendasar yang penting dipahami terkait peristiwa isra’-nya Nabiullah sallaahu alaihi wasalam, dari ayat tersebut, yakni:

Ayat ini dimulai dengan kata Subhâna, MahaSuci (Allah). Orang yang beriman sungguh-sungguh kepada Allah memahami bahwa kata subhana ini menunjukkan kesempurnaan dan keagungan Allah SWT sehingga apa yang ingin diperbuat-Nya, maka tidak ada satu pun halangan bagi-Nya, termasuk apa yang akan dilakukan-Nya dalam rangkaian peristiwa isra’-mi’raj ini.

Sesudah kata subhana, ada kata asra; yang berarti memperjalankan. Maka kalimat “Subhânalladzî asrâ” bermakna Mahasuci Allah yang –atas segala kesucian kesempurnaan-Nya, berkehendak- memperjalankan.

Sesudah itu, ada kata ‘ábdihî  yang berarti hamba-Nya, yang disandangkan kepada Muhammad rasulullah s.a.w.

Kata hamba-Nya menunjukkan hubungan yang amat dekat, dan dengan perhatian khusus, sekaligus menunjukkan bahwa apapun yang akan dilakukan oleh Allah selaku Khalik yang disembahnya (ma’bud) akan ditaáti oleh abdihî (hamba-Nya) itu.

Selanjutnya, ada kata laylan, yang berarti di waktu malam, yakni waktu yang dipilih oleh Allah dalam melangsungkan peristiwa ini.

Kemudian ada kalimat min al masjidil harâmi ila al masjidil aqsha, yang berarti dari masjid al-haram hingga ke masjid al-aqsha. Ini menunjukkan area lokasi atau tempat berlangsungnya peristiwa ini.

Lalu ada kalimat alladzî bâraknâ haulahû, yang berarti‘yang Kami (Allah) berkahi sekelilingnya’. Ini dapat dipahami bahwa lokasi terjadinya peristiwa isra’ itu adalah tempat yang diberkahi-Nya, sekaligus dapat dipahami bahwa karena keberkahan Allah di seputar area tempat itulah maka Dia memilihnya menjadi tempat berlangsungnya peristiwa isra’ itu.

Selanjutnya, ada kalimat li nuriyahû min âyâtinâ, yang berarti ‘agar Kami (Allah) perlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (Allah)’. Di sini Allah SWT menegaskan tujuan diselenggarakannya isra’ ini, yakni menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya.

Ini dapat pula dipahami bahwa Allah SWT berkehendak menunjukkan kebesaran-Nya melalui peristiwa besar (agung) yang tidak dapat dilakukan oleh selain Dia yang Maha Suci.

Kemudian ditutup dengan kalimat innahuhuwassami’ul bashir, yang berarti ‘sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar dan Maha Melihat’.

Ini dapat dipahami bahwa Allah SWT Maha memiliki segala bentuk dan kemampuan melihat dan mendengar, sehingga apabila Dia ingin menunjukkan kepada hamba-Nya Muhammad tanda-tanda keagungan-Nya melalui rahmat-Nya dalam bentuk pendengaran dan penglihatan, maka hal itu sangat mudah bagiNya, yang mana makhluk lain tidak dapat melakukannya karena tidak diberi rahmat oleh-Nya.

Dari uraian singkat sebelumnya, dapatlah dirajut pemahaman hati melalui logika-iman, yakni:

Bahwa peristiwa isra’ itu terjadi atas kehendak Allah yang Maha Suci, bukan keinginan Muhammad Rasulullah s.a.w, sehingga bagi orang yang beriman, “seharusnya” tidak susah baginya memahami bahwa perisitiwa isra’ ini benar-benar terjadi karena kehendak Allah yang tidak mungkin ada makhluk yang dapat menghalanginya.

Bahwa Muhammad s.a.w. mampu melaksanakannya karena diperjalankan oleh Allah, bukan jalan dengan kekuatannya sendiri.

Bahwa dalam perjalanan malam (isra’) di area tempat yang diberkahi ini, Allah SWT –atas kehendak dan rahmat-Nya- menunjukkan sebagian dari tanda-tanda keagungan-Nya kepada hamba-Nya, serta memberikan kepadanya kemampuan pendengaran dan penglihatan untuk mendengar dan melihat tanda-tanda keagungan-Nya itu.

Dengan demikian, seluruh rangkaian peristiwa perjalanan malam (isra’) itu terwujud dengan mengikuti skenario (ketetapan) Allah SWT. Inilah inti keimanan kepada Allah terkait peristiwa israini.

Berikutnya, rangkaian dari perjalanan malam (isra’) dari masjid al haram ke masjid al aqsha itu, yakni perjalanan vertical (mi’raj) menuju langit yang tertinggi (sidratil muntaha).

Firman Allah SWT dalam Al-Qurán, surah An-Najm/53: 12-18, menunjukkan bahwa Muhammad Rasulullah s.a.w benar-benar pernah bertemu malaikat Jibril di sana.

(12) Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? (13) Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (14) (yaitu) di Sidratil Muntaha.

(15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal. 16 (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17)  Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.

(18)  Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar (QS AnNajm/53: 12-18).

Sebagian besar mufassirin dalam memahami ayat ini berpendapat bahwa pertemuan antara Rasulullah s.a.w dengan Jibril a.s. di sidratil muntaha itu terjadi pada peristiwa mi’raj Rasulullahs.a.w.

Berikut ini, di ruang baca yang singkat ini, dikutipkan tulisan al-Imam Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’,di dalam tafsir al Karim ar Rahman fi tafsir Kalam al Mannan, yang memaparkan ringkasan hadits terkait peristiwa Isra’-mi’raj tersebut.

Beliaumenuliskan: “Nabi menerangkan secara rinci kejadian-kejadian yang telah beliau lihat, dan bahwasanya beliau diperjalankan di malam hari menuju Baitul Maqdis, kemudian dinaikkan dari sana menuju ke seluruh lapisan langit hingga sampai pada permukaan atas langit yang tertinggi.

Beliau telah menyaksikan surga dan neraka, (bertemu dengan) sejumlah nabi -di langit- sesuai dengan kedudukan mereka, lantas ditetapkan atas beliau kewajiban shalat lima puluh waktu (dalam sehari semalam).

Atas arahan dari Nabi Musa Al Kalim, beliau berbolak-balik kepada Rabb-nya (untuk meminta keringanan) hingga menjadi lima kali waktu secara perbuatan, dan menjadi 50 dalam pahala dan balasannya. Beliau dan umatnya telah meraih sumber-sumber kebanggaan di malam itu, yang tidak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah SWT.

Seusai Nabi diperjalankan oleh Allah SWT dengan isra’-mi’raj itu, beliau menyampaikan pengalaman spiritualnya kepada sepupunya Ummu Hani’. Berikut dikutipkan suatu Riwayat yang dituliskan oleh Syayyid Quthb dalam tafsir Fi ZhilalilQurán:

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. waktu itu tidur di rumah Ummu Hani’ sesudah shalat isya maka beliau di-isra’kan, kemudian dipulangkan kembali pada malam itu juga.

Lalu beliau menceritakan kejadian tersebut kepada Ummu Hani’. Beliau mengatakan, “Telah dihadirkan kepadaku para Nabi, maka aku melakukan shalat sebagai imam mereka.”

Kemudian beliau bergegas hendak keluar ke masjid, maka Ummu Hani’ menarik bajunya. Beliau bertanya, “Kenapa?” Ummu Hani’ menjawab, “Aku khawatir kalau kaummu mendustakanmu jika kamu memberitahukan kejadian ini kepada mereka.”

Beliau berkata, “Tidak, sekali pun mereka akan mendustakan aku.”

Nabi s.a.w. pun keluar, lalu Abu Jahal datang menemuinya, maka Rasulullah menceritakan kepada Abu Jahal tentang peristiwa isra’.

Abu Jahal berkata, “Wahai sekalian bani Ka’áb bin Lu’ay kemarilah.” Mereka pun datang lalu Nabi s.a.w. bercerita kepada mereka. Mereka ada yang bertepuk-tangan dan ada yang meletakkan tangan di atas kepala karena merasa takjub dan ingkar. Bahkan ada orang yang sudah beriman kepada beliau pun murtad (keluar) kembali.

Ada beberapa tokoh yang bergegas menemui Abu Bakar untuk menceritakan hal itu. Abu Bakar berkata, “Apa benar Nabi berkata begitu?” Mereka menjawab, “betul.” Maka, Abu Bakar berkata, “Aku bersaksi, jika benar-benar Muhammad mengatakan hal itu, maka pastilah dia benar.”

Mereka bertanya, “Apakah engkau mempercayainya bahwa ia datang ke Negeri Syam dalam satu malam kemudian kembali lagi ke Mekah sebelum pagi tiba?”

Abu Bakar menjawab, “Ya, bahkan saya percaya kepadanya dalam hal yang lebih jauh dari itu. Saya mempercayainya dalam hal berita yang ia terima dari langit.”

Itulah iman Abu Bakar, karena itulah maka ia dijuluki dengan ash Shiddiq ‘yang sangat membenarkan.’

Dari kutipan riwayat yang dituliskan oleh Sayyid Quthb menunjukkan dua karakter manusia dalam penerimaan peristiwa isra’ mi’raj ini. Ada karakter Abu Jahal dan para pengikutnya yang tidak mau mempercayai peristiwa tersebut, bahkan dijadikannya sebagai ejekan bagi Rasulullah.

Hal ini terjadi karena logika imannya hanya mampu membandingkan antara peristiwa isra’ mi’raj itu dengan dirinya sebagai makhluk.

Adapun Abu Bakar r.a. menerima peristiwa tersebut secara mantap tanpa sedikit pun keraguan. Hal ini terjadi karena logika-imannya melampaui kemampuan logika-iman Abu Jahal.

Logika-iman Abu Bakar menjangkau ‘hakikat ilmu’ sehingga ia membandingkan peristiwa isra’ mi’raj itu dengan sifat Sang Khalik yang Maha Suci, Maha Berkehendak tanpa batas, tanpa ada makhluk yang mempu menyamai-Nya. Itulah iman yang sejati.

Wallahua’lamu bisshawab

 

Daftar rujukan:

Al-Qurán dan Terjemahnya

As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir. Tafsir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam al Mannan. Jilid 4. Jakarta: Darul Haq, 2018.

Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran, di bawah naungan Al Qurán. Jilid 7. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qurán. Vol. 7. Jakarta: Lentera Hati, 2002


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama