Menolong Orang Yang Ditabrak Lari

Ia mengatakan peleknya harus diganti dan harganya sekitar Rp25.000 (waktu itu). Saya kemudian memberinya sebesar yang dia minta, padahal uang di dompet hanya Rp30.000, dan itu rencananya untuk diberikan kepada istri di rumah. (int)






------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 20 Maret 2021

 

 

Menolong Orang Yang Ditabrak Lari

 

 

Suatu malam sekitar dua puluh tahun lalu, saat saya sedang melaju dengan sepeda motor dalam kecepatan sedang menuju pulang ke rumah, tiba-tiba ada sepeda motor melaju kencang dari arah belakang.

Saat melewati kendaraan saya, ia kehilangan kontrol dan menabrak seorang pengendara sepeda.

Pengendara sepeda motor yang ternyata seorang pemuda dan di belakangnya duduk seorang perempuan muda (dari penampilannya, saya menduga mereka berdua adalah mahasiswa), hanya berhenti sejenak lalu langsung tancap gas meninggalkan orang yang ditabraknya.

Saya dan seorang pengendara sepeda motor lainnya kemudian berhenti dan menolong orang yang ditabrak tersebut. Ia hanya luka ringan, tapi pelek ban sepedanya bengkok sehingga tidak bisa langsung dipakai.

Spontan saya mengeluarkan dompet dan memberinya uang Rp10.000.

“Tena nangganna anne pak! (tidak cukup ini Pak!),” kata pria setengah baya yang saya taksir usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Ia mengatakan peleknya harus diganti dan harganya sekitar Rp25.000 (waktu itu). Saya kemudian memberinya sebesar yang dia minta, padahal uang di dompet hanya Rp30.000, dan itu rencananya untuk diberikan kepada istri di rumah.

Dalam perjalanan pulang, saya bergumam: “Berarti uang itu bukan rezeki kami.”

Tiba di rumah, saya disambut istri dan dua anak kami ketika itu. Mereka selalu menyambut gembira setiap saya pulang dan itu sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi kami.

Baru saja duduk di kursi ruang tamu, tiba-tiba hape saya berdering dan ternyata dari seorang teman yang waktu itu duduk sebagai Anggota DPRD provinsi.

“Saya dengar tetta (sapaan akrabnya kepada saya karena ia sering mendengar anak memanggil dengan sebutan tetta) mau ke Jakarta. Kapan berangkatnya?” tanyanya dari balik telepon.

“Tiket saya besok malam,” jawab saya yang waktu itu akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan IT yang diadakan Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek).

“Besok saya tunggu di kantor,” katanya.

Keesokan harinya, saya ke kantornya dan ia menyodorkan amplop yang setelah saya buka, ternyata berisi uang dan jumlahnya lebih dari harga tiket pesawat Makassar-Jakarta.

“Itu untuk uang saku,” katanya. (asnawin)

------

-         Tulisan pendek ini saya tulis pada, 20 Maret 2017, dan saya edit ulang pada 20 Maret 2021.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama