Berlomba dalam Kesenyapan Menjadi Jempolan





PEDOMAN KARYA

Selasa, 06 April 2021



Berlomba dalam Kesenyapan Menjadi Jempolan



Kewibawaan tidak mesti dipoles dengan bungkusan baju dinas juga deretan titelan dan hartaan, namun ia hadir bercahaya alami bercermin dari jiwa sanubari. 

Kewibawaan alami tak bisa didesain dengan rekayasa pencitraan, dan justru akan sirna bersama uang kertas sogokan berterbangan yang terbagikan. 

Kewibawaan bernilai kharismatik tiada bisa divaksinasi dengan tembang antibiotik hormon_gen dari laboratorium apapun, namun ia hadir dari anugerah langitan yang berjiwa membumi. 

Kewibawaan bukan direkayasa dengan kamuflase fotograferan untuk dipamparin pada media bluzzeran atau tiang tiang, dan juga pepohonan berjejeran menjadi iklanan, dengan biaya kocekan aplopotan oposan. 

Kewibawaan hadir dari kepribadian yang bernilai jiwa tiada mungkin dapar dibeli, dan memang ditakdirkan dunia berakhiratan. Ia hadir berdimensi tulus menjadi amalan, sekalipun dalam kesenyepan gulita malam tetap berseri keikhlasannya. 




Mungkin itu yang melekat pada Ibu Tri Rismaharini, Menteri Sosial RI, dan Kepala Desa Ganra, Soppeng, Sulawesi Selatan serta beberapa nama yang saya sebut dalam tulisan ini. Walaupun, tulisan hadir polos tanpa polesan apapun, dan memang hadir dalam kesenyapan. 


Berlomba dalam Kesenyapan


Berlomba-lombalah dalam menebarkan kebaikan untuk saling membantu, atas dasar kecintaan kepada sesama hamba Tuhan__ Tiada perlu obralisasi dengan orasi retoric, tetapi aksi kesenyapan mungkin lebih bermakna dan nyata dirasakan oleh pihak yang dibantu. 




Saling membantu boleh bermakna fardu kifayah atau fardu ain, dan sangat dianjurkan. Menjadi haqikat dari implementasi dari ber_fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). 

Bagi umat Islam, meyakini bahwa berlomba-lomba dalam kebaikan akan membawa seorang muslim kepada ridho Allah SWT.  Keyakinan tersebut, dipahami karena setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepada Tuhan-nya, termasuk saling membantu atau tolong menolong. 

Membantu atau saling menolong dalam kebaikan, tentu dengan niat tulus karena atas getaran panggilan nurani sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan. Hal itu dilakukan, sebaiknya tanpa pameran orasi bersifat sensasi, dan itu lebih bermakna juga mulia di hadapan Tuhan. 

Walaupun, dibolehkan ditampakkan ke permukaan sebagai potretan untuk mempengaruhi atau memancing yang lain agar mau turut berbuat, seperti apa yang dipotretkan tersebut. 

Namun, akan lebih elokan dan indah yang bermakna imanan, manakala disenyapkan yang berasaskan pada prinsip luhur menjadi nilai ibadah, dan cukuplah Tuhan mengetahui segala apa dilakukan kita. Sebagaimana dalam QS al-Baqarah ayat 264, Allah berfirman, yang artinya, 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang kafir." 

Bagi siapa saja membantu untuk ber-fastabiqul Kkhaerat, tentu meyakini kandungan ayat di atas ini. Dan memilih untuk melakukan dengan pilihan terbaik, sekalipun dalam kesenyapan menjadi pilihannya. 

Walaupun, dilakukan minimal bantu berdoa dalam kesenyapan sekalipun, mungkin akan lebih bermakna daripada oralisasi menyentak dalam mencungkil denyutan jantung, juga terdamparan. 

Semoga ! Kebaikan membawa keberkahan bagaikan purnama dalam gulita malam ini.

Keverbaniannya tiada dipaksa dan terpaksa dalam menerangi kebaikan menawan apa adanya, dan ia dianugerahi japatan apapu, maka tetap menjadi Jempolan. Misalnya, dalam tautan facebook (18/3/2021) saya pernah menulis spontan tentang Kepala Desa Ganra, Soppeng, Sulawesi Selatan, yakni sebagai berikut. 


Desa Patut Jempolan


Ada, _sungguh elok dan menarik simpatiku kemarin, ketika melayat dan mengantar keluarga yang wafat di Ganra Soppeng. Pemandangan sangat fenomenal di luar kebiasaan, di mana sang Kepala Desa dengan baju dinasnya turun spontan ke Liang Lahat meletakan jenasah hingga penyelesaikan proses pengkuburan secara tuntas. 

Ini bersifat tulus tanpa terlihat karakter politis dan cari sensasi kepada masyarakatnya, tapi patut diberi jempolan. Di tengah kelangkaan pemimpin berjiwa keteladanan demikian, baik mulai dari akar rumput maupun hingga terpucukan sekalipun. 

Sikap keteladanan memang mesti patut dihargai dengan bintang jempolan, di tengah sikap arogan dan dagelan berlebihan dipertontonkan di negeri ini. 

Termasuk, sikap pameran arogan kesombongan asesoris material jelmaan sikap Qarun dan Fir'aun menyesakkan dada, baik bertaraf kampungan maupun sok metropolitan saat ini. 

Celakanya, kemudian berbias hendak hanya ingin berharap dipuji juga gila hormatan, walau tak berkapasitas sekalipun. 

Sekali lagi sikap keteladan Kepala Desa Ganra ini, sungguh menggelitik simpatik nuraniku dan fenomenal. Semoga menjadi fenomena keteladanan sesungguhnya, ditengah keburaman dan keabu-abuan tampilan para pamong masyarakat di semua elemen dan sisi kehidupan. 

Fotograf Kepala Desa Ganra dengan seragam baju dinas putihnya, turun membantu tanpa tamengan___ 

⭐⭐__Patut ditiru jadi jempolan __👍 


***

Kehadiran tulisan yang logis berdimensi tulus untuk menosyiarkan pesan bukan jua untuk mengharap jempolan. Namun, hanya ingin menyalurkan kesaksian pada pengabdian bernilai kesan dan bermakna bagi kehidupan sesama yang pantas diindahkan. 

Sungguh, ia hadir dengan tulus dari lubuk nurani tanpa pesan sponsor juga sepengetahuan menjadi obyeknya. 

Esensinya juga sama dengan saling mendoakan tanpa sepengetahuannya, baik teman maupun orang lain, _bahkan musuh sekalipun agar bersiuman. 

Dorongan berbuat demikian menjadi bernilai ibadah tertinggi di 87⁷hadapan Tuhan, manakala dilakukan dengan tulus tanpa mengharap imbalan maupun pujian, baik pada obyek yang menjadi pijakan tulisan maupun pada publik yang menilai kehadirannya. 

....

Jujur, goresan di atas ini, ia hadir tanpa ada rencana sebelumnya. Namun, bersifat spontanitas setelah menyaksikan kejadian alami, dan bahkan saya sendiri baru pertama kali menyaksikan hal demikian. Bahkan dengan Kepala Desa Ganra tersebut, belum saling mengenal dan berjabat tangan sekalipun hingga saat ini. Kemungkinan beliau (Kepdes) belum kenal kami dan begitu sebaliknya. 

Jadi, tulisan singkat dan potret itu muncul spontan juga apa adanya, karena dorongan nurani berlogika mata pena yang mengalir alami tanpa pesan oleh siapapun. 

Siapa pun berjiwa merdeka dan berlogika nurani akan bergetar kagum menggelitik batin, ketika menyaksikan jiwa tulus di luar radius kebiasaan yang bersifat langka. Tidak biasa dilakukan oleh pimpinan atau tokoh yang kebanyakan menjadi pamong, baik berdurasi dusun hingga kebangsaan sekalipun. Termasuk, pamong di sini bermakna luas:  boleh guru / dosen atau juga aparatur bersetaraan tanpa kecuali, baik berdurasi di dusun maupun merpolitan tiada dinafikan. 

Kejadian ini berdurasi spontan sehingga membuat logika nuraniku menggelitik, teringat jejak dilakukan Galarang pertama (A Walid Daya) dan kedua (H. Husen Yunus) di desa kelahiranku, yakni Doridungga di Kabupaten Bima, NTB. ⁷

Kejadian berjejak ini, semoga contoh pemimpin menjadi pamong berdedikasi tulus. Hal kejadian begini mesti diviralkan untuk menjadi pelajaran berharga yang semoga bernilai ibadah berfrekwensi sejati dihadapan Tuhan, dan patut dicontoh juga jadi jempolan. 

Daripada memvirankan pujian didesain sponsor, demi mendapatkan pesangon tanpa kesan keakhiratan sama sekali, namun justru mencelakan diri, baik di dunia maupun akhirat menanti. Termasuk, memamerin diri dengan harta material, baik secara diam-diam ataupun vulgar atas hasil dari pesongan sponsor, dan hal ini tiada dapat dipungkiri sudah menjadi narasi rahasia umum di masyarakat. 

Sesungguhnya, lebih baik kita saling mendoakan dan juga menghargai kelebihan orang lain, _mungkin kita sendiri belum mampu berjiwa seperti didedikasi kepdes yang menjadi topik goresan kesan ini. 

Dengan memohon ampun kepada Tuhan, saya jujur semoga ini tidak sama sekali, ada niat yang senyap terselubung, namun mengalir apa adanya. 

Semoga, akan datang akan hadir pamong yang mengedepankan jiwa panutan bercermin pada pesan Tuhan. 

Esensinya ketulusan ini, mungkin sama yang durasi jiwa ketulusan persahabatan dengan sahabatku Ardi Nusu Gelu. Walau mungkin tidak dapat melampauinya getaran durasi persahabatan kami. Ia hadir berdimensi sejati atas pemberian Tuhan, di luar perkiraan dan dugaan juga hitung-hitungan, termasuk penampilan tetap apa adanya tanpa pameran materialisme, sekalipun beliau ternyata juga keturunan kerajaan Bone. Namun, ia tidak mau gelarannya digunakan karena mungkin pengaruh akademis, seperti dikesankan pada sahabat saya Mukhaer Pakkanna, sebagaimana telah disinggung pada artikel IMM Bernarasi: http://www.pedomankarya.co.id/2021/03/imm-bernarasi-darah-biru-dalam-merah.html?m=1. 

Penampilan apa adanya, berwibawa memang berjiwa merdeka tanpa beban patut jadi jempolan, dan tidak perlu dicurigai berdasarkan rasa iri penuh kebencian. Namun, kita tetap saling mendoakan dan menghargai akan kelebihan masing-masing. 

Walaupun, 

Tiada seorang pun yang bisa mengubah kebakhilan atau kebaikan orang lain kepada diri kita, terkecuali Tuhan yang mampu. 


Tentu, 

__ dengan kesucian doa yang tulus ikhlas hanya kepada Tuhan-mu. Sebagamana doa Rasulullah SAW yang artinya: 

"Wahai zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu" 

Kemudian,  

QS. Al-Anfal 24 yang artinya: 

*... dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.* 

Maka, 

__ berdoalah dengan tulus tanpa sepengetahuan mereka dimaksudkan pada diksi pembuka di atas. Namun, cukup Allah mengetahuinya___ 

Lebih baik berprinsip: 

Kebencian juga kebakhilanmu 

tetap aku mendoakanmu 

__dengan doa cinta tulusku pada Tuhan__ 


Doaku dalam Kebencianmu

Dan Ibadah Kesenyapan semoga makin berwibawa jempolan di hadapan Tuhan. 

Wallahualam Bissawab.

----

(Penulis, Maman A. Majid Binfas, adalah Pengajar SPS UHAMKA, Jakarta)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama