Kisah Masuk Islamnya Seorang Perempuan Tua di Amsterdam Belanda

“Saya minta maaf jika mengganggu. Akan tetapi, saya ingin menyampaikan bahwa Allah sangat mencintai dan memperhatikan Nyonya,” kata anak itu dengan tenang dan sambil tetap tersenyum.

Ia kemudian melanjutkan dengan berkata, “Saya ingin menghadiahkan buku ini kepada Nyonya. Di dalamnya, dijelaskan tentang Allah Ta'ala, kewajiban seorang hamba, dan beberapa cara agar dapat memperoleh keridha’an-Nya.” (int)



------ 

PEDOMAN KARYA

Kamis, 08 Juli 2021

 

 

Kisah Masuk Islamnya Seorang Perempuan Tua di Amsterdam Belanda

 

 

Pengantar:

Kisah ini sudah beredar cukup lama di berbagai media massa dan media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan lain-lain. Judul asli dari kisah ini yaitu قصة رائعة جدا ومعبرة ومؤثرة dan diterjemahkan oleh Shiddiq Al-Bonjowiy. Di beberapa media, kisah ini diberi judul, “Kisah Seorang Anak di Amsterdam Belanda.”

Kami ingin turut berbagi atau membagikan kisah ini, karena kami menganggap kisah ini sangat inspiratif dan bermanfaat. Terima kasih. (redaksi)

 

***

 

Amsterdam adalah kota terbesar sekaligus Ibukota Provinsi Holland Utara, dan Ibukota Negara Belanda. Iklim cuaca di Amsterdam, pada musim dingin bisa menjadi sangat dingin, sementara musim panas kadang-kadang cukup hangat.

Embun beku terutama terjadi pada saat angin timur atau timur laut bertiup dari Benua Eropa bagian dalam. Bahkan, karena Amsterdam dikelilingi di tiga sisi oleh perairan yang besar, serta memiliki efek pulau bahang yang signifikan, suhu malam hari jarang jatuh di bawah -5 °C, sementara itu suhu malam hari bisa dengan mudah mencapai −12 °C di Hilversum, 25 kilometer ke tenggara.

Di Amsterdam (tidak disebutkan tahunnya), hidup seorang lelaki paruh baya bersama seorang anaknya yang juga seorang laki-laki berumur 11 tahun. Keduanya beragama Islam, dan sang ayah adalah seorang imam masjid.

Setiap selesai shalat Jum'at setiap pekannya, sang ayah dan anak mempunyai jadwal membagi-bagikan buku–buku Islam, di antaranya buku Ath-Thoriq Ilal Jannah (Jalan Menuju Surga). Mereka membagi-bagikannya di daerah mereka, di pinggiran Kota Amsterdam.

Suatu hari, ketika kota tersebut diguyur hujan yang sangat lebat dengan suhu yang sangat dingin, sang anak mempersiapkan dirinya dengan memakai beberapa lapis pakaian demi mengurangi rasa dingin.

Setelah selesai mempersiapkan diri, ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, aku telah siap.”

“Siap untuk apa?” tanya ayahnya.

“Untuk membagikan buku (seperti biasanya),” jawan sang anak.

“Suhu sangat dingin di luar sana, belum lagi hujan lebat yang mengguyur,” kata ayahnya.

“Akan tetapi, sungguh banyak orang yang berjalan menuju Neraka di luar sana, di bawah guyuran hujan,” kata sang anak.

Sang ayah terhenyak dengan jawaban anaknya. Ia tak menyangka anaknya akan mengeluarkan kata-kata yang menggetarkan hatinya.

“Tapi ayah tidak akan keluar dalam cuaca seperti ini anakku,” kata ayahnya.

Mendengar jawaban ayahnya, sang anak meminta izin untuk keluar sendiri, dan ayahnya mengizinkan setelah berpikir dengan tenang. Sang anak pun mengambil beberapa buku dari ayahnya untuk dibagikan.

“Terima kasih, wahai ayahku,” kata sang anak lalu pamit meninggalkan rumahnya menembus cuaca dingin di luar sana.

 

Buku Terakhir

 

Di bawah guyuran hujan yang cukup deras, ditemani rasa dingin yang menusuk tulang, anak itu membawa buku-buku yang telah dibungkusnya dengan sekantong plastik ukuran sedang, agar tidak basah terkena air hujan, lalu ia membagikan buku kepada setiap orang yang ditemui. Tidak hanya itu, beberapa rumah pun ia hampiri demi tersebarnya buku tersebut.

Dua jam berlalu, tersisalah satu buku di tangannya. Ya, itulah buku terakhir yang dibawanya. Sayangnya, sudah tidak ada orang yang lewat di lorong tersebut. Akhirnya, ia memilih untuk menghampiri sebuah rumah di seberang jalan untuk menyerahkan buku terakhir tersebut.

Sesampainya di depan rumah itu, ia pun memencet bel, tapi tidak ada respons. Ia ulangi beberapa kali, hasilnya tetap sama. Ketika hendak beranjak meninggalkan rumah itu, seperti ada yang menahan langkahnya, dan ia coba sekali lagi ditambah ketukan tangan kecilnya.

Sebenarnya, ia juga tidak mengerti kenapa ia begitu penasaran dengan rumah tersebut. Pintu pun terbuka perlahan, disertai munculnya sesosok perempuan tua yang tampak sangat sedih.

“Ada yang bisa saya bantu, nak?” tanya perempuan tua itu sambil tersenyum kecil.

Anak itu memandang sejenak kepada si perempuan tua juga sambil tersenyum dan tatapan mata yang seolah menerangi dunia.

“Saya minta maaf jika mengganggu. Akan tetapi, saya ingin menyampaikan bahwa Allah sangat mencintai dan memperhatikan Nyonya,” kata anak itu dengan tenang dan sambil tetap tersenyum.

Ia kemudian melanjutkan dengan berkata, “Saya ingin menghadiahkan buku ini kepada Nyonya. Di dalamnya, dijelaskan tentang Allah Ta'ala, kewajiban seorang hamba, dan beberapa cara agar dapat memperoleh keridha’an-Nya.”

Setelah itu, si anak pamit dan pergi disertai tatapan mata yang sejuk dari perempuan tua yang di tangannya sudah ada sebuah buku pemberian si anak.

 

Sudah Ingin Mengakhiri Hidupnya

 

Satu pekan berlalu, seperti biasa sang imam, ayah dari anak kecil itu, memberikan ceramah di masjid. Seusai ceramah, ia mempersilahkan jama’ah untuk berkonsultasi.

Terdengar sayup-sayup, dari shaf perempuan, seorang perempuan tua mengacungkan tangan dan berbicara.

“Tidak ada seorang pun yang mengenal saya disini, dan belum ada yang mengunjungiku sebelumnya. Satu pekan yang lalu, saya bukanlah seorang muslim, bahkan tidak pernah terbetik dalam pikiranku hal tersebut sedikit pun. Suamiku telah wafat, dan dia meninggalkanku sebatang kara di bumi ini,” kata perempuan tua itu.

Dan ia pun memulai ceritanya saat didatangi seorang anak laki-laki pada saat terjadi hujan dalam cuaca yang cukup dingin.

“Ketika itu cuaca sangat dingin disertai hujan lebat. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Kesedihanku sangat mendalam, dan tidak ada seorang pun yang peduli padaku. Maka tidak ada alasan bagiku untuk hidup. Aku pun naik ke atas kursi, dan mengalungkan leherku dengan seutas tali yang sudah kutambatkan sebelumnya. Ketika hendak melompat, terdengar olehku suara bel. Aku terdiam sejenak dan berpikir, paling sebentar lagi, juga pergi,” tutur perempuan tua itu.

Namun suara bel dan ketukan pintu semakin kuat, lanjut perempuan tua itu, dan dalam hati ia berkata, siapakah gerangan gerangan yang sudi mengunjungi dirinya. Dia yakin tidak akan ada yang mengetuk pintu rumahnya. Meskipun demikian, ia juga tetap penasaran dan melepaskan tali yang sudah dipasang di lehernya.

“Kulepaskan tali yang sudah siap membantuku mengakhiri nyawaku, dan bergegas ke pintu. Ketika pintu kubuka, aku melihat sesosok anak kecil dengan pandangan dan senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak mampu menggambarkan sosoknya kepada kalian. Perkataan lembutnya telah mengetuk hatiku yang mati hingga bangkit kembali. Ia berkata, Nyonya, saya datang untuk menyampaikan bahwa Allah Ta'ala sangat menyayangi dan memperhatikan Nyonya, lalu dia memberikan buku ini (buku Jalan Menuju Surga) kepadaku,” tutur perempuan tua itu.

Perempuan tua itu menyebut anak kecil yang telah memberinya sebuah buku dengan sebutan malaikat kecil.

“Malaikat kecil itu datang kepadaku secara tiba-tiba, dan menghilang di balik guyuran hujan hari itu juga secara tiba-tiba. Setelah menutup pintu, aku langsung membaca buku dari malaikat kecilku itu sampai selesai. Seketika, kusingkirkan tali dan kursi yang telah menungguku, karena aku tidak akan membutuhkannya lagi,” kata perempuan tua mengisahkan pengalamannya.

Ia kemudian memandang kepada semua orang yang ada di dalam masjid sambil tersenyum, lalu melanjutkan kisah dirinya.

“Sekarang, lihatlah aku. Diriku sangat bahagia, karena aku telah mengenal Tuhan-ku yang sesungguhnya. Aku pun sengaja mendatangi kalian berdasarkan alamat yang tertera di buku tersebut untuk berterima kasih kepada kalian yang telah mengirimkan malaikat kecilku pada waktu yang tepat, hingga aku terbebas dari kekalnya api Neraka,” kata perempuan tua itu.

Semua orang yang ada di dalam masjid pun terharu dan meneteskan air mata bahagia, bahkan tak lama kemudian terdengar isak tangis bahagia dan seseorang memekikkan takbir, “Allahu akbar.”

Sang imam kemudian beranjak menuju tempat dimana anaknya, malaikat kecil itu, duduk. Sang imam memeluknya dengan erat dan tangisnya pun pecah tak terbendung di hadapan para jama’ah. Allahu akbar.

 

Editor: Asnawin Aminuddin

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama