Payabo

Kata “payabo” adalah kesepakatan saya (penulis, red) dengan Elyas Joseph (alm). Digunakan sebagai kata ganti untuk kata Pemulung dalam berbagai jenis penulisan, saat bersama tergabung dalam kerja-kerja News Room di Surat kabar Mingguan “Gema” Kota Makassar tahun 80-an.

Penggunaan kata “payabo” berlanjut hingga saat bersama mengelola keredaksian Majalah “Akselerasi” dan Majalah “Warta Sulsel” di Makassar tahun 90-an.

Kata Payabo adalah akronim dari kata Pabboya Botolo’ (Bahasa Makassar). (Foto: Mahaji Noesa)

 

---------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 25 Juli 2021

 

 

Payabo

 

 

Oleh: Mahaji Noesa

(Wartawan Senior)

 

Kata “payabo” adalah kesepakatan saya (penulis, red) dengan Elyas Joseph (alm). Digunakan sebagai kata ganti untuk kata Pemulung dalam berbagai jenis penulisan, saat bersama tergabung dalam kerja-kerja News Room di Surat kabar Mingguan “Gema” Kota Makassar tahun 80-an.

Penggunaan kata “payabo” berlanjut hingga saat bersama mengelola keredaksian Majalah “Akselerasi” dan Majalah “Warta Sulsel” di Makassar tahun 90-an.

Kata Payabo adalah akronim dari kata Pabboya Botolo’ (Bahasa Makassar).

Masa silam, ada masanya terdapat jenis pekerjaan bernama Pabboya Reppe’ Botolo’ (Bahasa Makassar, berarti pencari pecahan kaca atau beling) yang kemudian dijual kepada mereka yang membutuhkan.

Masa itu banyak orang senang menggunakan beling ditancapkan dalam jumlah cukup banyak di pucuk-pucuk pagar-pagar beton kawasan perumahan atau kantoran, dengan maksud sebagai ranjau penghalang bagi orang-orang jahat agar tidak dapat melintas pagar.

Disusul kemudian ada kegiatan orang yang khusus keluar masuk kawasan pemukiman warga mencari atau membeli botol-botol bekas. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pabboya Botolo’ (Bahasa Makassar, berarti Pencari Botol).

Jika sebelumnya kegiatan usaha Pabboya Botolo’ umumnya dilakukan oleh orang dewasa, saat berikutnya ramai dikerjakan kalangan anak-anak dan mereka yang berusia remaja.

Mereka secara sendiri-sendiri atau berkelompok menenteng karung keluar masuk pemukiman. Mereka bukan lagi sekadar mencari botol bekas tetapi juga memungut besi-besi bekas maupun kertas serta karton buangan.

Sejak terjadi perubahan sasaran Pabboya Botolo’ tahun 80-an di Kota Makassar menjadi semacam pemulung, tak lagi membeli botol tetapi memungut apa saja barang bekas buangan yang dapat diuangkan.

Sejak itu pula sering tersiar peristiwa warga kehilangan peralatan dapur terbuat dari aluminium yang masih bisa dipakai, jemuran pakaian, atau sendal dan sepatu yang diletakkan di teras rumah hilang setelah Pabboya Botolo’ lewat.

Tak heran kemudian jika sejumlah lokasi di Makassar, warganya sengaja menghalau Pabboya Botolo’ masuk wilayah pemukiman mereka. Setiap gerak Pabboya Botolo’ pun diawasi warga.

Dengan alasan terlalu panjang menuliskan kata Pabboya Botolo’ secara berulang, terutama dalam penulisan laporan atau berita, maka kami sepakat menyingkatnya menuliskan kata Pabboya Botolo dengan akronim Payabo.

“Ji, kata payabo ini sudah populer menjadi pengganti kata pemulung dalam percakapan sehari-hari warga,” ujar Elyas Joseph serius dalam suatu rapat redaksi Majalah Warta Sulsel di Jl Ratulangi Makassar, teras Rujab Ketua DPRD Sulsel, ketika dijabat oleh Brigjen TNI HB Mappangara (akrab disapa Bempa, red).

Mirisnya apa yang selalu kami sorot tentang Payabo sejak tahun 80-an karena banyak dilakoni kalangan anak-anak usia sekolah dan putus sekolah, ternyata hingga kini pemandangan anak-anak jadi Payabo setiap hari tetap terlihat di banyak sudut Kota Makassar.

Ini bagian gambaran nasib anak Indonesia yang sebenarnya tak butuh lagi beragam teori, tapi memerlukan tindak nyata dan cepat pembinaannya sebagai generasi penerus bangsa.

Selamat Hari Anak Nasional, 22 Juli 2021!

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama