Pornografi Informasi dan Komunikasi

Kita sudah mengalami kelebihan informasi akibat derasnya arus informasi, serta banyak dan beragamnya informasi. Kita telah terkubur hidup di bawah informasi. Tidak ada yang tidak terhubung atau tidak terkorelasi. Rasionalitas sebagian dari kita sudah hilang. Inilah pornografi informasi dan komunikasi.





-----------

PEDOMAN KARYA

Rabu, 10 November 2021

 

 

Pornografi Informasi dan Komunikasi

 

 

Oleh : Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Bayangkanlah dunia ini tanpa televisi. Pasti kita-dan terutama anak-anak di bawah umur-tidak akan menyaksikan tayangan-tayangan sinetron cengeng, gosip murahan seputar dunia artis, film yang “berbau: porno, iklan yang tidak masuk akal, acara-acara mistik, serta berita-berita kekerasan, peperangan, dan politik.

Bayangkanlah dunia ini tanpa radio siaran, koran, internet, serta media massa lainnya. Mungkin terasa sepi, tetapi pasti jauh lebih aman, lebih tenang, dan lebih damai dibandingkan jika media massa memengaruhi dan “menguasai” hidup kita.

Kita memang butuh hiburan, informasi, dan butuh berkomunikasi satu sama lain, tetapi bukan hiburan yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya kita, bukan informasi yang menyesatkan, serta bukan komunikasi yang tidak positif.

Hiburan yang ditayangkan televisi, yang diperdengarkan oleh radio siaran, yang dimuat oleh media cetak, serta yang disajikan oleh media online, pada umumnya adalah hiburan semu dan hanya melahirkan kegembiraan sesaat.

Informasi yang disajikan oleh berbagai media massa, sebagian besar sebenarnya kita tidak butuhkan. Ibarat makanan, kita dipaksa “menelan” sebanyak-banyaknya informasi yang disajikan oleh media massa, padahal hanya sedikit yang kita butuhkan.

Ironisnya, banyak di antara kita yang seolah-olah tanpa daya dan seakan-akan membutuhkan berbagai informasi tersebut, sehingga kita begitu saja “menelannya mentah-mentah.”

Yang kita butuhkan adalah informasi, hiburan, dan pendidikan yang benar dan sehat, terutama dari tayangan, siaran, dan sajian-sajian media massa.

Ada empat fungsi yang harus dijalankan oleh media massa atau pers, yaitu memberikan informasi, menghibur, mendidik, dan melakukan kontrol sosial. Namun, dalam menjalankan fungsi tersebut, pers harus menghormati hak asasi setiap orang (dalam hal ini hak untuk mendapat informasi yang benar dan sehat).

Pers juga harus menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Oleh karena itu, pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Sayangnya, sebagian besar dari kita tidak melakukan kontrol dan atau tidak mampu mengontrol media massa. Malah sebaliknya, justru kitalah yang dikendalikan dan dikuasai oleh media massa.

Media massa begitu bebas “menimpuki” kita beragam informasi dan hiburan. Media massa memotret segala aspek kehidupan kita. Segala-galanya diberitakan, difilmkan, disinetronkan, di-reality show-kan, disiarkan secara langsung, disiarulangkan, dan sebagainya.

Melalui polling, talk show, dan berbagai macam rubrik atau program acara, media massa memaksa kita menceritakan rahasia kita, bahkan sampai tak ada lagi yang disembunyikan.

Melalui perantaraan media massa, kita bisa berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan sesama manusia dalam satu negara atau antarnegara dari berbagai pelosok dunia.

Kita juga menjadi sangat mudah berkomunikasi dengan teman, sahabat, saudara, dan dengan orang yang kita tidak kenal sekalipun, melalui perantaraan telepon konvensional dan telepon seluler (ponsel), serta melalui email dan jejaring sosial di dunia maya.

 

Terkubur Hidup

 

Kita sudah mengalami kelebihan informasi akibat derasnya arus informasi, serta banyak dan beragamnya informasi. Kita telah terkubur hidup di bawah informasi. Tidak ada yang tidak terhubung atau tidak terkorelasi. Rasionalitas sebagian dari kita sudah hilang. Inilah pornografi informasi dan komunikasi.

Pornografi oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; serta bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.

Pornografi identik dengan cabul yang berarti keji, kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).

Dengan demikian pornografi informasi dan komunikasi dapat diartikan sebagai penyajian informasi dan pemberlakuan komunikasi dengan cara yang (maaf) melangggar kesusilaan dan kesopanan dengan maksud membangkitkan “nafsu” membaca, mendengar, melihat, mendengar dan melihat, serta keinginan kuat untuk berkomunikasi satu sama lain.

Publik atau massa sebenarnya memiliki kekuasaan dan daya tangkal terhadap beragam informasi yang disajikan atau diluncurkan oleh media massa. Dalam ilmu komunikasi, kekuasaan dan daya tangkal yang dimiliki massa itulah yang membuat massa atau publik disebut sebagai “khalayak kepala batu”. Tetapi kekuasaan sebagian besar massa itu sesungguhnya berasal dari kebodohan mereka.

Massa membiarkan kebodohan mereka itu untuk iklan dan sistem informasi guna meyakinkan mereka dan untuk membuat pilihan-pilihan bagi mereka. (Jean Baudrillard, 1983 / 1990).

Akibatnya, massa-termasuk kita di dalamnya-menjadi tidak berdaya, hanya bisa diam, bahkan-sekali lagi-terkubur hidup, karena mereka dibanjiri informasi dan dalam banyak kasus, tak menemukan cara membalikkan arus informasi itu dari media.

Sebagian besar dari kita hanya bisa diam dan terbuai ketika “dirayu” oleh media massa, bahkan tidak sedikit yang merespons “rayuan” itu dengan “nafsu yang menggebu-gebu”. Kita pun kehilangan kesadaran dan rasionalitas.

 

Khalayak Kepala Batu

 

Apakah kita akan membiarkan hal tersebut terus-menerus terjadi? Apakah kita akan membiarkan anak-anak dan generasi muda kita semakin tidak berdaya “ditimpuki” informasi? Apakah kita akan membiarkan diri kita dan anak-anak saling berkomunikasi dan bertukar informasi tentang hal-hal yang “berbau” mesum dan lain-lain yang tidak bermanfaat dan tidak sesuai norma agama?

Terlalu naif kalau hal tersebut dibiarkan. Untuk menghindarkan diri kita dan anak-anak dari kematian atau terkubur hidup di bawah informasi, untuk menghindarkan diri dari cap sebagai massa bodoh, serta untuk menghindarkan diri dari “rayuan” informasi dari media massa, kita harus menjadi “khalayak kepala batu.”

Kita harus menyadari bahwa kita sebagai khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam menerima atau menyongsong serbuan informasi serta dalam proses komunikasi. Kita sebagai khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan atau informasi.

Setiap pesan atau informasi yang datang atau menerpa kita, harus disaring, diseleksi, kemudian diterima atau ditolak melalui filter konseptual. Ini merupakan proses psikologi yang sangat mendasar.

Sebagai manusia, kita adalah makhluk yang rasional, aktif, dinamis, dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar. Kita tidak boleh kehilangan rasionalitas dan daya tangkal. Terhadap pornografi informasi dan komunikasi, kita harus menjadi “khalayak kepala batu.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama