Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” Ajarkan Kekuatan Berpikir Positif

BEDAH BUKU. Penulis buku, Rahman Rumaday (duduk, kedua dari kanan), para pembedah buku, dan sejumlah undangan bersama pada acara Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021. (ist)





------ 

Ahad, 26 Desember 2021

 

 

Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” Ajarkan Kekuatan Berpikir Positif

 



-------
Tiga pembahas buku, dari kiri ke kanan, Indramini, Muhammad Amir Jaya, dan Lily Rachim, (ist)

------







MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, mengajarkan kekuatan berpikir positif. Apa yang kita pikirkan, akan terjadi. Jika kita menginginkan hidup kita bagus, maka keinginan itu akan terwujud.

“Buku ini punya suatu rahasia yang jadi keistimewaannya. Buku ini layaknya novel, dengan gaya bahasa populer. Tinggal karakter tokoh utamanya diolah biar lebih kuat. Ini kisah nyata, unik dan penuh misteri,” kata penulis buku dan sastrawan, Muhammad Amir Jaya, saat tampil sebagai salah satu pembahas dalam acara Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021.

Amir Jaya yang sudah menulis banyak buku mengatakan, fungsi buku sangat beragam, salah satunya bisa dijadikan sebagai medium untuk berdakwah sebagaimana buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, yang ditulis Rahman Rumaday, founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel).

Buku tentang kisah pernikahan Bang Maman -begitu dia akrab disapa- dengan istrinya, Heliati Eka Putri atau biasa dipanggil Esti ini, bahkan dinilai sarat dengan pembelajaran.

“Dalam buku ini tidak pernah lepas dari diksi Tuhan. Setiap pembuka bab selalu mengajak pembacanya untuk mengingat Tuhan, untuk berzikir. Buku ini adalah dakwah bagi kita semua,” kata Amir Jaya.



------
Dari kiri ke kanan, Indramini, Rahman Rumaday, Lili Rachim, dan Rusdin Tompo.

----


Amir Jaya disandingkan dengan Indramini, S.Pd, M.Pd, dosen Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, dan Lily Rachim, pegiat keadilan gender, sebagai pembicara. Moderator diskusi buku yang dilaksanakan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Batuatas Makassar (HIPMASKAR) adalah Novian.

“Seorang penulis itu punya dimensi yang tidak dimiliki orang lain, yakni kebeningan hati, sehingga setiap kali kita menulis, perlu dimulai dengan niat dan ikhtiar yang tulus,” kata Amir Jaya.

Lily Rachim, melihat buku ini dari sudut pandang egalitarianisme. Contoh tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam buku ini, tampak pada tokoh Esti yang digambarkan sebagai tokoh yang mandiri, bukan saja terkait ekonomi tapi juga d pengambilan keputusan.

Sebagai pegiat isu gender, dia melihat bahwa keputusan untuk menikah itu dilakukan setara. Bila prosesnya tidak setara, justru posisi laki-laki dan perempuan sama-sama dirugikan.

Di dalam masyarakat patriarki, tidak banyak perempuan yang punya posisi sosial seperti Esti. Pernikahan itu sejatinya kasih sayang, dan esensi mahar itu, berdasarkan teori-teori, sesungguhnya adalah kasih sayang.

“Buku ini layak sebagai hadiah kepada teman-teman yang belum menikah, bahkan kepada orang yang berlainan agama agar paham tentang konsep taaruf,” terang aktivis yang bergabung di Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM).

Dalam buku ini juga pembaca memperoleh pemahaman terkait ta’aruf (pendekatan, red). Ta’aruf itu justru membuktikan bahwa kedua orang yang akan menikah, punya independensi bukan intervensi.

Soal mahar, dia menyebut mahar itu kontekstual. Esti meminta mahar pedang dan kain kafan, merupakan sesuatu yang out of the box, yang tidak terjebak pada materialisme.

Indramini, yang mengkaji dari sisi bahasa, melihat mahar yang tidak biasa itu membuktikan ketangguhan Maman sebagai seorang lelaki.

Menurutnya, yang menarik dalam buku ini, karena ada proposal pra pernikahan. Selain itu, buku ini juga dianggap mudah dipahami oleh siapa saja karena bahasanya sederhana.

“Pesan-pesan spiritual dan moralnya mudah dipahami oleh pembaca,” papar Indramini yang tengah menyusun disertasi tentang pernikahan adat Makassar dari segi bahasa ini.

Rahman Rumaday sempat memperlihatkan pedang yang dijadikan mahar kepada peserta diskusi, yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, akademisi, penulis, sastrawan dan kalangan media.

“Pedang itu sempat ditahan polisi di bandara saat akan dibawa ke Bogor, lokasi pernikahan kami,” ungkap Rahman Rumaday.

Selaku editor, Rusdin Tompo, mengaku aspek perspektif gender memang dijaga dalam proses pengeditan buku ini. Pegeditannya juga mempertimbangkan konteks sosial kisah ini dan suasana kebatinan penulisnya. (rt)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama