Ketika Diksi Puisi Mahrus Andis Digugat

AKHIR TAHUN. Dari kiri ke kanan, Anwar Nasyaruddin, Mahrus Andis, istri dari Mahrus Andis, Rusdy Embas, Muhammad Amir Jaya, Asnawin Aminuddin, dan M Dahlan Abubakar, ketemu dan ngobrol-ngobrol di Kafebaca, jl Adhyaksa, Makassar, Jumat, 31 Desember 2021. (ist)


 




-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 11 Januari 2022

 

 

Ketika Diksi Puisi Mahrus Andis Digugat

 

 

Oleh: Anwar Nasyaruddin

 

Saya tiba-tiba tertarik untuk mengomentari sebuah diskusi menarik, Jumat, 09 Juli 2021 di grup WA FOSAIT, Makassar. Topik diskusinya yaitu tentang diksi puisi dalam sebuah kalimat “...aku menolong-Mu.”

Kalimat ini adalah penggalan puisi berjudul “Sesaat Menyelam”, karya sastrawan Mahrus Andis yang dikutip dari buku kumpulan puisi “Testimoni di Kandang Sapi”, terbitan Prabu Dua Satu-Malang, 2021.

Saya merasa terlibat dalam diskusi itu. Mengapa? Ketika kumpulan puisi tersebut akan diterbitkan menjadi sebuah buku, penulisnya meminta saya menuliskan epilog dalam antologi tersebut. Ketika isi buku itu sempat dimasalahkan, meskipun hanya sebait kalimat, namun cukup esensial, maka respons saya minimal merasa wajib memberikan tanggapan.

Sebelum mengikuti alur diskusi dimaksud, alangkah baiknya apabila kita memahami lebih dahulu sebuah kredo penulisan puisi di bawah ini:

 

  “Menemukan pesan

   esensial di balik

   karya sastra, ibarat

   kita memburu

   seekor

   kunang-kunang di

   gelap malam. Ia

   harus dihadang di

   ruang hening,

   disergap dengan

   hati-hati dan

   kemudian dinikmati

   kerlap-kerlip

   cahayanya.”

   (Mahrus Andis).

 

Mari kita memulai dengan mengutip puisi tersebut secara lengkap.

 

SESAAT MENYELAM

 

Sekian matahari

yang gelincir dari tubir

Yang pancar jadi kabar

Yang rabun di ubun-ubun

Lalu hening

di lipatan jiwa yang bening :

 

     Paham sudah, 

           ya Allah

Kebun ini

Samudera mahaluas

     Tempat aku

          Menolong-Mu

 

(TdKS, hal. 114)

 

Awalnya, Dr Suradi Yasil, seorang sastrawan asal Sulawesi Barat, penulis novel “Cinta dan Kusta”, mengomentari puisi tersebut di atas. Doktor kebudayaan lulusan Unhas 2020 itu menulis di WA grup  sbb:

 

“Di bait ke dua puisi 'Sesaat Menyelam', saya tersesat (karena kebodohan aku):

  ' Paham sudah,/ ya

   Allah /Kebun ini

   /Samudera maha

   luas/

   Tempat aku/  

   Menolong-Mu"

 

Menolong Allah? Bagaimana? Adakah teks Al-Qur'an atau hadits menyatakan manusia menolong-Nya? Minta penjelasan dan pertanggungjawaban penyair atas ungkapan tersebut supaya saya tercerahkan.

Atas gugatan itu, Mahrus Andis, selaku penyair, membalas dengan mengambil analogi dari kisah seorang sufi (ahli tasawuf) seperti berikut:

“Melihat judulnya saja, yaitu Sesaat Menyelam, tentu orang yang dekat dengan ilmu tasawuf sudah paham bahwa partikel 'Mu' (M, hurup besar) pada larik puisi tersebut tidak bersifat imanensial. Ia menyentuh sisi terdalam suasana transendensial seorang hamba.

Masih ingatkah kisah seorang sufi yang bernama Imam Al Djunaid? Ketika sedang khusyuk dalam dzikir (menyelam di lautan cinta-'hub' dan rindu- 'isyq'), tiba-tiba seseorang menarik janggutnya. Maka spontan dia mengatakan: 'berhentilah menyentuh janggut Allah'.

Nah, sekiranya kalimat itu ditulis dalam diksi puisi maka bunyinya begini:

    Berhentilah 

    menyentuh

    janggut-KU,"

demikian jawaban penyairnya.

 

Ternyata, jawaban penyair tersebut tidak membuat Dr Suradi Yasil tercerahkan. Bahkan ia berbalik menantang, mengajak penyair melakukan pameran puisi bersama untuk dinilai para pembaca, supaya jelas, apakah puisi itu sesat atau menyesatkan.

Mahrus Andis, yang juga dikenal sebagai mubaligh dan satu-satunya kritikus sastra milik Sulawesi Selatan, merasa tertantang oleh tanggapan Sang Doktor. Dia pun segera  menjelaskan bahwa penilaian sesat dan menyesatkan itu adalah tugas kritikus sastra, bukan tugas pembaca umum.

Namun belum berakhir di sini. Dr Suradi Yasil pun terus melanjutkan gugatannya. Ia bilang:

“Pertama, ya, itu tugas kritikus sastra. Tapi pendapat pembaca umum perlu juga didengar. Karena mereka sasaran bacaan. Secara awam, akan ada yang mengatakan apa iya makhluk bisa dan mampu menolong-Mu, menolong DIA? Dan kalau dari pelajaran itu mereka yakin, bahaya... Jadi kritikus perlu membincangkan sesuai posisi dan kapasitas mereka.”

 

Mahrus Andis kemudian menjelaskan secara konkret:

 

   "Sastra

    itu kerja

    kreatif-akademis.

    Di atas sudah

    saya jelaskan

    bahwa

    puisi tersebut

    bernafaskan

    tasawuf. Jadi kalau

    mau memahami

    puisi saya, maka

    gunakan

    pendekatan

    pragmatik yang

    berkaitan dgn ilmu

    tasawuf."

 

Selanjutnya Mahrus Andis memberikan pemahaman bahwa seorang kritikus sastra tidak boleh bicara sembarang, harus ada dasar. Seperti juga penyair, tidak boleh asal menulis kata-kata tanpa pertimbangan ilmu semiotika: konvensi linguistik, semantik dan pragmatik-filosofik. Apalagi jika puisi itu ingin dipertahankan sebagai karya sastra yang bermutu di hadapan publik.

“Diksi yang saya pilih itu ada landasan referensinya. Ada ayatnya yang sahih,” jelas Sang Penyair, kemudian mengemukakan dalil naqli dari Al-Qur’an, Surat Muhammad, ayat 7 yang berbunyi:

“YAAA AYYUHALLAZIINA AAMANUUU ING TANGSURULLAAHA YANGSURKUM WA YUSABBIT AQDAAMAKUM”

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, nisacaya Dia akan menolongmua dan meneguhkan kedudukanmu.”

 

Menurut Mahrus Andis, di dalam ayat Al-Qur’an tersebut, tidak ada kata “Addiin” (agama). Karena itu, pada salah satu komentarnya (yang belum sempat dijawab oleh Dr Suradi Yasil hingga saat ini) ia menanyakan:

   “Siapa yang menambah kata (Agama, dalam kurung) pada terjemahan ayat tersebut?”

Pertanyaan retoris ini dijawab sendiri oleh Mahrus Andis dengan logika hujjah sebagai berikut:

   “Jika di ayat Allah tersebut tidak tercantum kata 'Addiin' (yang harusnya berbunyi: Ingtansuru-ddiini-llaaha...), maka pembaca puisi pun wajib memahami bahwa maksud kalimat “...aku menolong-Mu” itu ialah “menolong (Agama)-Mu.”

Artinya, si aku-lirik (penyair) akan taat menolong serta menegakkan nilai-nilai ajaran agama Allah di atas bumi-Nya. Nah, konsep diri dalam memahami agama seperti ini tidak layak disebut sesat, apalagi menyesatkan.

Demikian argumentasi filosofis Mahrus Andis, seorang sastrawan dan kritikus, mantan birokrat pemerintahan, yang juga dikenal sebagai muballihg di daerahnya, Bulukumba.

Dari kronologi diskusi inilah kita bisa melihat, sebuah puisi, antara sesama sastrawan saja bisa berbeda pemahaman. Namun, tentunya penulis puisi (penyairnya sendiri) tersebut yang paling sanggup memahaminya. Sementara penikmat bisa berbeda memaknainya sesuai kadar intelektualitas dan ketajaman pisau batin miliknya.

Saya melihat bahwa dalam diskusi yang menarik itu, ada perbedaan pendekatan antara penyair dan penikmat.

Penyair menggunakan pendekatan dari sisi hakikat ketika menulis puisi tersebut, sementara penikmat ketika membacanya menggunakan pendekatan syariat.

Dengan kata lain, ada pendekatan kontekstual dan ada pendekatan tekstual. Karena itu, kedua-duanya benar, sekali lagi, sesuai kadar konsep pemikiran masing-masing. Di sini pula dapat dipahami bahwa menafsir makna semiotik sebuah puisi tidak tergantung pada tinggi-rendahnya status keilmuan seseorang. Di dalamnya, terdapat campur tangan Tuhan yang disebut “Al Hidayah”, kata Mahrus Andis dalam suatu diskusi di meja kopi.

Saya kira inilah kesimpulan diskusi para sastrawan di Grup WA FOSAIT (Forum Sastrawan Indonesia Timur) yang tentu patut dicerna karena sangat bermanfaat dari segi wawasan kreativitas berpuisi. Salam Sastra.

 

-Mks, 12 Juli 2021-

(Penulis Anwar Nasyaruddin adalah pengamat sastra dan penulis cerpen “Parakang”, alumni Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas)Makassar, tinggal di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan)


-----

Baca juga:

Kegembiraan Mahrus Andis Saat Tak Sengaja Bertemu Wartawan dan Penulis

Societeit de Harmonie

Film “Ati Raja” Jauh dari Bayangan Saya

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama