Selamat Jalan Guru dan Sahabatku KH Dahlan Yusuf

Dari kiri ke kanan, KH Dahlan Yusuf, Buya Hamka, dan KH Ahmad M Sewang. KH Dahlan Yusuf pernah bercerita kepada Ahmad M Sewang tentang sikap toleransi dua orang tokoh besar yakni Prof Dr Hamka dan KH Saleh Thaha.






--------- 

PEDOMAN KARYA

Ahad, 16 Januari 2022

 

 

Selamat Jalan Guru dan Sahabatku KH Dahlan Yusuf

 

 

Oleh: Ahmad M Sewang

(Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Masjid Muballigh Indonesia Muttahidah / DPP IMMIM)

 

Semalam (Sabtu malam, 15 Januari 2022, red) saya diminta membawakan acara ta'ziyah malam kedua atas wafatnya Drs KH Dahlan Yusuf. Berhubung karena saya masih dalam pemulihan, tidak bisa lama bicara, maka saya minta bahwa hanya bisa memberi testimoni dan selanjutnya yang akan memberi tauziah adalah Dinda Dr Ilham Hamid.

Ternyata tauziah beliau sangat baik dan melegakan, sekalipun diminta secara mendadak. Di sana saya sadar bahwa sudah banyak generasi muda bermunculan sebagai estafet generasi sebelumnya dan di sana pula kegembiraan tak terkira dalam hati sebab telah terjadi regenerasi positif dan prospektif.

Drs KH Dahlan Yusuf adalah sahabat, guru, dan senior saya di IMMIM. Beliau termasuk orang kepercayaan H. Fadli Luran. Tidak heran jika beliau seorang yang sangat toleran dalam berinteraksi, sama dengan orang yang memberi kepercayaan padanya.

Biasanya, sehabis pertemuan di DPP IMMIM pada periode kepemimpinan Drs AGH Muhammad Ahmad, saya sering bersama pulang satu mobil dengan beliau, berhubung kami satu arah.

Kesempatan itulah saya manfaatkan untuk mendengar pengalaman beliau. Ada sebuah kisah nyata yang sangat membekas, sehingga sejak itu tidak bisa saya lupakan. Kisah itu berisi sikap toleransi dua orang tokoh besar: Prof Dr Hamka dan KH Saleh Thaha.

Segera setelah usai G30S/PKI, Prof Dr Hamka pun keluar dari penjara Orde Lama. Hamka kemudian memprogramkan penyebaran dakwah Islam ke daerah-daerah. Di antara daerah yang dikunjungi adalah Provinsi Sulawesi Selatan.

Biasanya jika ada tokoh Islam Nasionalis berkunjung ke Makassar, mereka tidak menginap di hotel melainkan di rumah para tokoh, seperti rumah H Fadli Luran, di Jl Lanto Dg Pasewang. Sebagai contoh pada kunjungan Muhammad Hatta dan Buya Hamka.

Dalam kunjungan Buya Hamka, H Fadli Luran meminta bahwa yang menemani Buya selama di Makassar adalah orang kepercayaannya, yaitu Drs KH Dahlan Yusuf.

Program dakwah Buya Hamka saat itu adalah salat subuh di Masjid Maradekaya, demikian Dahlan Yusuf memulai kisahnya. Subuh itu subuh Jumat dan sebagai Imam Masjid Maradekaya adalah KH Saleh Thaha. Beliau juga menjabat sebagai Kepala Pengadilan Tinggi Islam Indonesia Timur.

Ketika Buya memasuki Masjid Maradekaya, beliau disambut hangat koleganya KH Saleh Thaha dan langsung meminta kiranya Buya berkenan memimpin salat subuh.

Buya pun bertanya kepada Pak Kyai Saleh Thaha, “Apa kita kunut?”

“Terserah sama Buya,” jawab Pak Kyai.

Nampaknya Buya Hamka belum puas atas jawaban Pak Kyai. Buya melanjutkan pertanyaan yang sama kepada jamaah, “Hai jamaah, apakah kita kunut?”

Jamaah serentak menjawab, “Ya Buya.”

Buya bertanya lagi, “Apa kita sujud tilawah?”

Jamaah menjawab, “Sujud tilawah sudah menjadi tradisi kami setiap subuh Jumat.”

Pertanyaan Buya tersebut, sehubungan dengan tradisi Buya sebagai pimpinan Muhammadiyah adalah tidak kunut, sebab beliau menganggapnya sebagai masalah furu'. Berbeda dengan tradisi NU (Nahdlatul Ulama) yang diperpegangi oleh KH Saleh Thaha, bahwa kunut adalah sunnah muakkad, bila ditinggalkan harus diganti dengan sujud sahwi.

Setelah itu, Buya-lah yang jadi Imam. Beliau kunut dan sujud tilawah. Demikian itulah kisah almarhum KH Dahlan Yusuf, yang saya tidak bisa lupakan dan sering juga saya sampaikan di depan jamaah.

Jadi, jika merujuk pada pandangan hukama, من علم حرفا فهو مولاه. Dari kisa ini saya menganggap bahwa almarhum adalah guru saya.

 

Natijah:

1. Kedua tokoh, Buya Hamka dan KH Saleh Thaha, telah memberi keteladanan. Mereka sangat toleran dalam masalah furu. Sekalipun pada masanya perbedaan furu' masih sangat tajam saat itu. KH Saleh Thaha sebagai imam dan kunut, mempersilakan Buya Hamka menjadi imam yang Kyai tahu bahwa Buya tidak memiliki tradisi kunut.

2. Andai kedua tokoh ini masih hidup, saya akan mengusulkan bahwa keduanya sangat pantas mendapatkan Fadli Luran Award, yang diberikan kepada para tokoh yang memiliki semangat toleran. Sampai sekarang, di IMMIM tentang masalah furu' diserahkan kepada umat. Yang dilarang jika tidak ingin salat karena berbeda dengan imam dalam masalah furu', sementara yang dituntut adalah mengikuti imam.

3. Terima kasih kepada guru dan sahabatku almarhum KH Dahlan Yusuf atas kisahnya yang sangat menginsfirasi. Dengan kisah teladan ini, siapa saja mendengarkan kisah ini dan mengamalkanya, saya yakin akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus-menerus mengalir kepada beliau.

 

Wasalam,

Makassar, 16 Januari 2022

 

Keterangan:

KH Dahlan Yusuf (mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel) wafat dalam usia 80 tahun, di Makassar, Kamis sore, 13 Januari 2022, dan dimakamkan di areal Pondok Pesantren Yatama, Pallangga, Gowa, Jumat siang, 14 Januari 2022.

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama