Andi Wanua Tangke: Jokowi, Habib Rizieq, Emangnya Gue Pikirin

Buku setebal 160 halaman ini berisi 48 esai yang terbit dalam rentang waktu satu tahun yakni mulai Juni 2020 hingga Juni 2021. Ke-48 esai itu pun disusun berdasarkan waktu terbitnya, bukan berdasarkan tema.
 





------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 22 Mei 2022

 

Resensi Buku “Esai-esai Cermin”:

 

 

Andi Wanua Tangke: Jokowi, Habib Rizieq, Emangnya Gue Pikirin

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Sebenarnya tidak ada penulis khusus esai, karena seorang penulis esai juga membuat tulisan dengan gaya atau bentuk yang lain, misalnya dalam bentuk artikel ilmiah populer, cerpen, puisi, dan atau novel.

Meskipun demikian, tetap saja ada penulis yang gaya penulisannya sangat kental dengan esai, sebut saja misalnya Goenawan Mohamad dan Emha Ainun Nadjib (yang juga dikenal dengan nama Cak Nun).

Dua mantan Presiden Republik Indonesia, Soekarno (Bung Karno) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga penulis produktif pada masanya, tepatnya jauh sebelum menjadi presiden. Dan keduanya pun kerap menulis dengan gaya esai.

Di Sulawesi Selatan, juga banyak penulis esai, antara lain Rahman Arge dan Asdar Muis RMS. Rahman Arge selain sebagai penulis, juga seorang wartawan, dramawan, dan politisi, sedangkan Asdar Muis RMS seorang penulis, wartawan, dan monolog.

Penulis esai yang masih aktif di Sulawesi Selatan saat ini antara lain Andi Wanua Tangke. Pria kelahiran Soppeng, 04 April 1964, juga seorang wartawan, penulis produktif (juga dikenal sebagai cerpenis), dan pengusaha penerbit buku.

Pada April 2022, ia menerbitkan buku berjudul “Esai-esai: CERMIN”. Buku ini berisi kumpulan esainya yang dimuat secara rutin sekali sepekan di harian METRO Sulawesi, yang terbit di Palu, Sulawesi Tengah. 

Buku setebal 160 halaman ini berisi 48 esai yang terbit dalam rentang waktu satu tahun yakni mulai Juni 2020 hingga Juni 2021. Ke-48 esai itu pun disusun berdasarkan waktu terbitnya, bukan berdasarkan tema.

Membaca urut-urutan kumpulan esai tersebut, sepertinya Andi Wanua Tangke menulis berdasarkan fakta-fakta peristiwa atau wacana yang berkembang pada saat itu, sehingga memudahkan pembaca mengingat kembali peristiwa yang pernah terjadi atau wacana yang pernah berkembang.

Tentu saja Andi Wanua Tangke tidak mengulas peristiwa, karena esai memang hanyalah sebuah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.

Maka salah satu kelebihan buku ini terletak pada “pendeknya” tulisan-tulisan per esai, sehingga tidak butuh waktu lama untuk membaca satu esai.

Kelebihan lain dari buku kumpulan esai ini yaitu Andi Wanua Tangke menghindarkan dirinya dari penggunaan istilah-istilah atau kata-kata asing, sehingga kita tidak perlu mengkerutkan kening saat membaca esainya.

Unsur metafora dan satire dalam esai-esai Andi Wanua Tangke juga tidak menonjol. Tulisannya nyaris polos, sehingga anak sekolah dan ibu-ibu rumah tangga pun dapat dengan mudah mencernanya.

Kepolosan itu antara lain terlihat pada pujiannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah marah kepada para menterinya dan kemarahan itu ditunjukkan di hadapan orang banyak.

Andi Wanua juga dengan polos mengkritik atau mengecam Presiden Jokowi karena kebijakan merespon pandemic Covid-19 yang berubah-ubah, “pemaksaan” Undang-Uncang Cipta Kerja yang melahirkan kontroversial di tengah masyarakat, serta pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kepulangan Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia setelah kurang lebih tiga setengah tahun menetap di Arab Saudi, yang disambut jutaan orang di bandara Soekarno-Hatta, juga dipotret dengan judul “Benci dan Rindu untuk Rizieq”, “Bukan Khomeini”, dan “Apa Arti Sebuah Nama.”

“Bila demikian, apanya Rizieq yang membuat sebagian orang harus panik? Dia kembali ke negerinya membawa revolusi. Bukan revolusi gaya Khomeini. Tapi revolusi akhlak. Mirip revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.”

“Bukankah menyambutnya dengan kepanikan justru memperluas pengaruh lelaki bersorban itu? Entah!”

Demikian salah satu ending esai Andi Wanua Tangke. Pada esai lain, ia menulis:

“RIZIEQ adalah sebuah fenomena. Kehadirannya dibenci dan dirindukan. Pemerintah yang cerdas pasti memandang warga negaranya satu ini dengan kaca mata bijak. Tidak larut dengan kebencian itu. Tidak terlena dengan kerinduan itu. Jokowi adalah ayah di negeri ini. Rizieq adalah salah satu anakmu. Rakyatmu. Manfaatkanlah kekuatannya. Binalah kelemahannya. Tentu di jalan yang benar dan adil, demi mencapai sebuah nilai kemanfaatan untuk kemajuan bangsa. Rizieq manusia biasa: boleh salah, boleh benar–seperti kita semua–rakyat Indonesia.”

Banyak lagi peristiwa yang dipotret oleh Andi Wanua Tangke dalam buku ini. Tentang politisi, tentang polisi, tentang korupsi, tentang KPK, tentang ustadz, dan beberapa lainnya, tapi yang agak menarik perhatian adalah tulisan berjudul “Emangnya Gue Pikirin.”

Dalam tulisan ini, Andi Wanua mengkritik kelakuan kaum politikus yang memposisikan rakyat sebagai penonton sinetron, sedangkan para politikus itu sebagai pemain.

“Demi sebuah pemaksaan aturan atau undang-undang misalnya, mereka bersiasat atas nama wakil rakyat. Di sebuah gedung milik rakyat. Di malam yang gelap. Dengan rasa tak gentar, mereka menjatuhkan palu sidang menandai diberlakukannya undang-undang. Meski suara penolakan mendengung di seantero negeri. Korban-korban berjatuhan. Ratusan pengunjuk rasa ditangkap polisi. Padahal mereka mempertanyakan aturan yang akan diberlakukan untuk kehidupan pekerjaan mereka. Mereka menilai undang-undang tersebut akan mengebiri hak-haknya.”

Andi Wanua meneruskan kritikan sekaligus kemarahannya dengan menulis, “Persekutuan–wakil rakyat dengan pemerintah–mereka jalin, tak melibatkan mereka yang wajib dilibatkan. Bahkan menyakitinya. Sejarah mencatatnya pada lembaran buram. Tapi apakah mereka memikirkannya? Emangnya gue pikirin. Begitulah jawaban mereka. Mungkin. ***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama