Pemimpin Mempersatukan, Bukan Memecah-belah

 

Indonesia butuh pemimpin yang mempersatukan anak bangsa. Agar negeri tercinta ini tidak bernasib seperti gelas terjentik yang menggelinding manja di meja sejarah, lalu jatuh dan tercerai-berai seperti Uni Sovyet.
- AM Iqbal Prewangi -





-------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 19 Mei 2022


OPINI:

 

 

Pemimpin Mempersatukan, Bukan Memecah-belah

 

 

Oleh: AM Iqbal Parewangi

(Ketua Majelis Istiqamah ICMI Muda, Ketua BKSP DPD RI 2014-2019)

 

“Yaa Allah, anugerahi kami pemimpin yang mempersatukan. Bukan yang memecah-belah anak negeri. Aamiin yaa Rabb.”

Penggalan pertama dari tiga penggalan do’a sederhana itu saya panjatkan khusus pada sujud terakhir witir malam itu, 29 April 2022, di Masjid al-Markaz al-Islami.

Saya yakin tidak cuma 100.001 anak bangsa yang memunajatkan do’a serupa. Yang tak rela sesama anak bangsa dipecah-belah, dan karena itu lalu memohon Allah anugerahi negeri tercinta ini pemimpin yang mempersatukan.

Sebait do’a wajar. Namun penting, dan kini cukup genting. Maka saya coba iqra' kembali sejumlah catatan, juga lipatan statistik, mengapa dibutuhkan pemimpin yang mempersatukan, bukan yang malah memecah-belah?

***

PERTAMA, kodrat pemimpin adalah mempersatukan. Jika ada pemimpin yang memecah-belah, sesungguhnya itu bukan pemimpin. Itu cuma “itu”, just call “it”.

KEDUA, mempersatukan tak semudah memecah-belah. Mempersatukan jauh lebih susah dibanding memecah-belah.

Gelas, contoh sederhananya. Butuh proses tak sederhana untuk mempersatukan berbagai elemen pembentuk gelas, termasuk silika (SiO2) dengan keunikannya. Mulai dari penyiapan bahan, kemudian pencairannya pada suhu hingga 1.500 derajat celcius.

Selanjutnya bahan kaca berbentuk cair itu dialirkan ke dalam alat pembentuk kaca padat, dengan menggunakan proses Fourcault, Colburn, Pilkington, atau yang lain. Tahapan berikutnya annealing, setelah itu barulah finishing.

Proses pembuatan gelas tak mudah, memang. Apalagi gelas seperti Corning Ewer, salah satu gelas cameo yang sangat indah yang dibuat para seniman Muslim jauh sebelum Eropa menjejak abad pertengahan.

Dengan seluruh proses tak mudah itu, tidak lantas membuat elemen-elemen pembentuk gelas otomatis tetap bersatu. Gelas tetap saja gelas. Untuk memecah-belahnya hanya butuh satu jentikan ringan. Blaarr! Agar petaka itu tak terjadi, gelas pun butuh perlakuan tepat dan terbaik. Lelaku berkepemimpinan, sebutlah begitu.

Keluarga, organisasi, dan negara punya kesamaan dengan gelas. Sama-sama terbentuk dari elemen-elemen beraneka, menjalani proses pembentukan yang tak mudah, dan setelah terbentuk pun tidak otomatis tetap bersatu. Selalu ada kemungkinan terpecah-belah.

Bedanya, gelas tak berdaya hidup. Ketika terjentik dan menggelinding jatuh, gelas tidak punya intuisi paling primitif sekalipun untuk menyelamatkan dirinya dari pecah berkeping-keping.

Lain halnya dengan keluarga, organisasi, dan negara, penghuninya manusia. Berdaya hidup kompleks. Punya intuisi dan inisiatif. Punya emosi dan daya kreasi. Berakal dan berhati. Maka ketika terjentik tidak serta-merta menggelinding apalagi langsung jatuh. Kalau pun jatuh, tidak serta-merta tak lagi bersatu.

Mengapa? Salah satu faktor terpentingnya adalah ada pemimpin yang mempersatukan. Keluarga punya kepala keluarga. Organisasi punya ketua. Negara punya kepala negara. Ada pemimpin yang mempersatukan. Namun bagaimana jika pemimpinnya yang justru jadi biang kerok pemecah-belah? Naudzubillah, satu jentikan ringan pun sudah cukup untuk membuatnya menggelinding jatuh dan tercerai-berai!

KETIGA, pengaruh memecah-belah lebih kuat dibanding mempersatukan. Jika dianalogikan, 1001 ajakan mempersatukan belum tentu sepadan pengaruhnya dengan 8 celoteh yang memecah-belah. Bisa juga dikatakan, 8 celoteh pemecah-belah sudah dapat mengacaukan 1001 kekuatan pemersatu.

Bercermin pada sejarah, bubarnya Uni Sovyet memberi contoh betapa rentan nasib persatuan suatu bangsa di hadapan palu godam kekuatan pemecah-belah.

Seperti kita ketahui, negara adidaya itu pernah ada antara tahun 1922-1991 di Eurasia. Uni Soviet didirikan 30 Desember 1922 setelah kaum Bolshevik menang dalam Perang Sipil Rusia pascarevolusi. Meliputi Revolusi Februari tahun 1917 yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Rusia, dan Revolusi Oktober yang menggulingkan Pemerintahan Sementara Rusia.

Setengah abad lebih Uni Soviet jadi adidaya yang sangat disegani, termasuk dalam era Perang Dingin perebutan pengaruh ideologi dan politik global. Namun akhirnya Uni Soviet kalah dalam hal ekonomi serta politik dalam dan luar negeri.

Pemimpin terakhir Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, pada akhir 1980-an mencoba melakukan restrukturisasi lewat kebijakan glasnost dan perestroika, tetapi justru memicu perpecahan dalam negara adidaya itu sendiri. Uni Soviet pun resmi bubar 26 Desember 1991.

Uni Soviet mungkin tidak kekurangan kekuatan pemersatu, kala itu, tetapi itu saja tidak cukup untuk tetap mempersatukannya. Kekuatan pemecah-belah, dari dalam dan luar, lebih besar dan terlalu kuat untuk membiarkannya tetap bersatu.

Kekuatan pemecah-belah tidak saja berhasil melantakkan Uni Sovyet menjadi 15 negara merdeka, termasuk Rusia dan Ukraina. Di benua lain, kekuatan itu berhasil mencerai-beraikan Jazirah Islam di Timur Tengah. Bahkan dalam kasus terkini, yaitu perang Rusia - Ukraina, juga teramati fenomena serupa : Eropa dicabik oleh kekuatan pemecah-belah yang sama.

Strategi memecah-belah, adu domba, devide et impera, merupakan jalan paling mudah untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaan. Penjajah dan penjarah menerapkan strategi itu. Dengan devide et impera, Belanda menjajah Indonesia tiga abad lebih.

Ada yang lebih mengenaskan. Yaitu ketika strategi devide et impera diterapkan semakin bar-barian : anak bangsa memecah-belah, menjajah dan menjarah bangsanya sendiri. Sebaliknya, ini yang mengesankan, masih jauh lebih banyak anak bangsa yang teguh membela, menjaga dan merawat keutuhan bangsanya.

***

Persatuan Indonesia, sesuai sila ketiga Pancasila, adalah niscaya bagi bangsa berpopulasi besar dan sangat majemuk ini. Dan itu alasan ideologis-konstitusional mengapa dibutuhkan pemimpin yang mempersatukan.

Dengan populasi penduduk 277,9 juta jiwa per Desember 2021, Indonesia butuh pemimpin yang mempersatukan. Berpenduduk terbesar keempat di dunia, setelah China (1.447,5 juta), India (1.400,3 juta), dan Amerika Serikat (333, 9 juta), Indonesia harus dicegah dari jerumusan "pemimpin boneka berkacamata kuda" : pandangan tertutup, rahang terantai, berlari tanpa peduli, dan hanya patuh pada kehendak kusirnya.

Dengan total 1.340 lebih suku bangsa, mengacu sensus BPS tahun 2010, termasuk kelompok suku Jawa yang mencapai 40,2% dari total populasi, disusul suku Sunda (15,5%), juga suku Bugis-Makassar (3,82%) yang terbesar di Indonesia Timur dan suku Batak (3,58%) yang terbesar di Sumatera, termasuk juga suku-suku terpencil berpopulasi kecil ratusan orang di Kalimantan dan Papua, Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang mempersatukan.

Dengan populasi penduduk sebesar dan seberagam itu, sulit dipungkiri adanya sekam disharmoni terpendam di perut bumi pertiwi. Buktinya, Timor Timur sudah memisahkan diri. Organisasi Papua Merdeka (OPM) tak henti bergolak.

Di bawah kepemimpinan nasional yang punya komitmen mempersatukan Indonesia, pun, hasilnya bisa seperti itu. Apalagi jika kepemimpinan ada di tangan boneka nekat yang membawa misi untuk memecah-belah anak bangsa. Yang lewat berbagai kebijakan berkedoknya, semakin leluasa semburan api dari banyak naga dan peniaga. Yang dengan beragam jargon klisenya, memecah-belah persatuan atasnama persatuan. Naudzubillah.

Indonesia butuh pemimpin yang mempersatukan anak bangsa. Agar negeri tercinta ini tidak bernasib seperti gelas terjentik yang menggelinding manja di meja sejarah, lalu jatuh dan tercerai-berai seperti Uni Sovyet.

Indonesia butuh pemimpin yang nawaitu dan doanya, mimpi-mimpinya, tindak-tanduknya, kata dan kalimatnya, kebijakan dan kebajikannya, jargon dan manuver politiknya, bahkan international polecy-nya, semuanya mencerminkan visi pun aksi pemimpin yang mempersatukan.

Semoga Allah SWT mengijabah do’a harapan dari banyak anak bangsa ini, aamiin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama