Datu Jarewe di Makassar Mempermaklumkan Dirinya Berkuasa di Sumbawa

BERKUASA DI SUMBAWA. Beberapa bulan kemudian, setelah Datu Museng hidup sebagai suami-isteri dengan puteri termolek, Maipa Deapati, terbetiklah berita ke Sumbawa bahwa Datu Jarewe di Makassar, Gowa, Tallo, Bontobiraeng, Salo, dan Cenranaya, mempermaklumkan dirinya sebagai pelindung rakyat dan berkuasa di Sumbawa.





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 15 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (22):

 

 

Datu Jarewe di Makassar Mempermaklumkan Dirinya Berkuasa di Sumbawa

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Beberapa bulan kemudian, setelah Datu Museng hidup sebagai suami-isteri dengan puteri termolek, Maipa Deapati, terbetiklah berita ke Sumbawa bahwa Datu Jarewe di Makassar, Gowa, Tallo, Bontobiraeng, Salo, dan Cenranaya, mempermaklumkan dirinya sebagai pelindung rakyat dan berkuasa di Sumbawa.

Alangkah murka Maggauka Datu Taliwang ketika mendengar berita itu. Hatinya sakit tiada tertahan atas penghinaan ini, hendak direbut kuasanya dari tangan. Daulat sultan hendak dialihkan begitu saja oleh Datu Jarewe yang tak punya hak sedikit pun.

Karena diamuk jengkel yang amat sangat, Maggauka bertepuk tangan sekeras-kerasnya memanggil Suro. Dan abdi setia ini datang terbirit-birit.

“Suro, panggilkan segera Gelarang, ketua adat. Katakan aku ingin supaya ia cepat menghadap. Ada sesuatu yang perlu segera dibicarakan. Katakan, ada berita yang memengkalkan hati, menyesakkan menggelapkan mata. Lekas napas, pergi ke sana dan cepat kembali kemari bersama Gelarang!” kata Maggauka.

Sesuai sabda Maggauka, berdatang-sembahlah Suro, permisi menunaikan perintah yang dipertuan. Ia lalu berangkat tergesa-gesa, seperti maling yang takut kesiangan. Jika kaki tersandung dan terjerembab ke tanah, ia segera berdiri, kemudian berlari-lari kecil.

Ia tak perduli lagi sapaan kenalan di tengah jalan. Pikirannya bulat ke satu arah, menyampaikan amanat yang dipertuan secepat mungkin, karena teramat penting rupanya.

Ya, hatinya tak kuat menahan jika menyaksikan yang dipertuan gelisah-resah, berjalan keluar-masuk balairung, mundar-mandir di depan jendela sambil meremas-remas tangan sendiri, sambil menggertak-gertakkan gigi-geraham.

Ketika Suro tiba di rumah Gelarang, ketua adat ini keheranan dan takjub. Ada apa dengan Suro ini, pikirnya. Napas tersengal-sengal, dada kembang-kempis dan terbata-bata memberi salam, sehingga tak kentara yang diucapkan.

Dalam sikap duduk pun ia tak tenang seperti biasa, dan peluh mengucur ke seluruh tubuh. Namun hati Gelarang nan bijaksana tak tergoncang melihat keadaan Suro yang lain dari biasa itu. Dengan tenang disodorkannya puan ke hadapan Suro yang duduk bersila dengan gelisah. Suro lalu menjamah puan, mengambil sirih-sekapur dan dimamah perlahan, berusaha menenteramkan pikiran dan mengembalikan napas sampai teratur.

Dan setelah napas balik seperti semula, ia mulai mengutarakan maksud kedatangannya, “Tuanku Gelarang yang bijaksana. Hamba diperintahkan oleh Maggauka Datu Taliwang untuk segera menemui tuanku. Beliau minta tuanku secepat mungkin menghadap ke istana. Ada sesuatu yang harus segera dibicarakan oleh paduka tuan hamba Maggauka dengan tuanku. Beliau minta tuanku berangkat sekarang juga, jangan ditunda-tunda besok atau lusa, tapi saat ini juga tuanku wajib hadir menghadap. Jika berlama-lama, pasti lama pula kesal hati Maggauka junjungan kita. Tak patut yang dipertuan dibiarkan dalam keadaan demikian.”

“Baiklah suro!” jawab Gelarang sambil berpikir, apa gerangan yang menggelisahkan Maggauka, “Aku berkemas dahulu, tunggulah, kita berangkat bersama!”

Beberapa saat kemudian berangkatlah Gelarang menuju istana, diiringi Suro di belakang. Tak sepatah-kata pun keluar dari mulut mereka selama perjalanan. Semua asyik dibuai pikiran masing-masing.

Ketika mereka sampai di istana, Gelarang segera diajak duduk berdekatan oleh Maggauka. Sesudah ketua adat ini mengunyah sirih-sekapur, Maggauka Datu Taliwang mulai berbicara menyampaikan berita yang terbetik ke telinganya dan menggelisahkan hatinya.

“Gelarang, aku bagai disambar petir, terkejut seperti dada tersayat sembilu dan hati nurani laksana ditusuk-tusuk. Pedih sekali, mendengar berita bahwa Datu Jarewe di Makassar dewasa ini sedang membusung-busungkan dada dan berkhianat. Kudengar ia sekarang mengangkat dirinya sebagai yang dipertuan dan yang berkuasa di Sumbawa ini. Dia kini menganggap kita hanyalah boneka hidup yang tak berdaya. Kita dianggapnya dungu dan bebal, sebagai benda yang tak berharga sepeser pun.”

Maggauka berhenti sejenak, berpikir, lalu sambungnya lagi.

“Apalah usaha kita mengatasinya? Aku sungguh bersusah hati diperlakukan semacam sampah di jalan, hendak ditiup dipermainkan. Mataku pasti tak dapat terpicing, hati gemuruh selalu, rusuh sepanjang waktu jika keadaan itu dibiarkan berlarut-larut,” kata Maggauka lagi sambil bermenung bertopang dagu, seperti berputus asa.

“Tuanku Maggauka..., karena soal ini menyangkut keselamatan negara, maka hamba rasa sebaiknya dipanggil seluruh anggota adat merundingkannya. Keputusan adat adalah keputusan kita. Bermusyawarah adalah adat yang diadatkan. Bertindak sendiri-sendiri kurang bijaksana, dan tidak banyak hasil yang dapat diperoleh darinya. Adapun sakit yang tuanku derita itu adalah sakit kita semua dan sakit seluruh rakyat. Jika tuanku berduka, duka itu adalah duka rakyat tuanku,” kata Gelarang.

“Kalau begitu bicaramu,” jawab Maggauka kemudian, “Panggillah seluruh anggota adat. Kita bicarakan sekarang juga peristiwa pengkhianatan Datu Jarewe yang hendak merampas kekuasaan di tangan, mendaulat kedudukan turunan kita.” (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Maipa Deapati Kembali ke Istana dan Dinikahkan dengan Datu Museng

Sultan Lombok Menerima Pemutusan Perjodohan Maipa Deapati dengan I Mangngalasa


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama