Datu Museng Ajak Maipa Deapati ke Makassar Hadapi Pengkhianatan Datu Jarewe

“Bunda..., nanda akan pergi meninggalkanmu. Relakan segala asuhan ibu pada ananda. Kupergi ini bukan karena kasih-sayang sudah lenyap, bukan karena jemu pada tanah tumpah-darahku. Tidak, sekali-kali tidak. Kepergianku karena perintah ayahanda Maggauka tak dapat dielakkan, tak dapat ditolak. Harus diikuti sabda perintahnya sebagai kepala seluruh anak negeri,” kata Maipa Deapati lalu merangkul bundanya, sambil menangis tersedu-sedu.
 



-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 20 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (25):

 

 

Datu Museng Ajak Maipa Deapati ke Makassar Hadapi Pengkhianatan Datu Jarewe

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

 

Sesampai di rumah, Datu Museng menceritakan kepada isterinya apa yang dibicarakan dan diputuskan oleh pertemuan adat.

“Dinda sayang Deapati... Aku datang dari pertemuan adat di istana. Di sana dibicarakan masalah yang sangat penting menyangkut hidup matinya pemerintahan ayahanda Maggauka. Dan sebagai hasil keputusan rapat, aku ditunjuk dan diperintahkan berangkat secepatnya ke Makassar untuk menyelesaikan peristiwa pengkhianatan Datu Jarewe terhadap tanah pertuannya.”

“Perintah ayahanda ini tak dapat ditunda berlama-lama. Intan zamrudku sayang, ayahanda Maggauka yang bersabda, kita yang harus melaksanakan dan mewujudkannya. Berdosalah kita jika tak dapat menunaikan tugas dan harapan rakyat. Tak ada gunanya hidup jika tak dapat memberikan dharma bakti pada ibu pertiwi.”

“Kini tiba masanya ibu pertiwi memerlukan tenaga serta segala yang kita miliki, untuk menegakkan kewibawaan pemerintah dari pengkhianatan Datu Jarewe serta penyokong-penyokongnya. Bersedialah dinda kita pergi ke Makassar menjadi utusan negara.”

“Kepercayaan ayahanda dan anggota-anggota adat harus kita tunaikan. Siapa lagi jika bukan kita sebagai putranya yang harus menghapuskan arang yang dicorengkan Datu Jarewe ke wajah ayahanda. Kendati tak diminta, kita wajib mengajukan diri. Dan aku telah bersumpah di balairung akan memikul segala beban itu,” kata Datu Museng sambil membelai-belai rambut isterinya penuh mesra.

“Karaeng Datu Museng, junjungan dinda... Sumpahmu adalah sumpahku, janjimu adalah pula janjiku. Tak usah dikata ke Makassar, menentang maut sekali pun aku rela menurut. Apalagi jika hanya ke tanah seberang, melintasi laut, menentang badai dan gelombang yang berjangka waktu selintas dalam angan.”

“Kemana kanda pergi, di situlah adinda. Jika harus mati, kita mati bersama. Sengsara dan duka ditanggung bersama pula. Junjunganku, sudah kurelakan jiwa ragaku padamu. Jika maut datang menjemput, kita berangkat bersama. Kurasa runtuhlah tempatku berpijak jika harus berpisah dari kanda.”

“Bukankah sejak dulu sudah kuserahkan bulat-bulat jiwa raga ini? Mengapa sekarang ragu, takut mati berkalang tanah di samping junjunganku. Oh, Datu...., sejak dulu kita memadu janji, jiwa dan badan menjadi satu. Adakah bayangan ragu dan bimbang terlintas sekilas dalam cahaya mata adinda?”

“Datu, nyala api dalam hati ini masih membakar seluruh jantung dan pembuluh darahku. Nafas hidupku adalah nafas kasih-sayang dan cinta mesra, sehingga seluruh titik peluh di sekujur tubuh masih tetap mewangi keharuman cinta kasih yang tiada akan pudar, tak lekang oleh apa pun juga,” kata Maipa.

Dengan tak terasa air mata Maipa Deapati melumeri pipi pauh-dilayang. Perasaannya nampak menguasai seluruh jiwa raganya, sehingga tak mampu meneruskan kata-hati ulasan jantungnya. Di balik itu, terkenang pula ayah-bunda yang akan ditinggalkannya.

“Adindaku sayang..., aku tak ragu setengah hati pada cinta yang telah berpadu. Tak ada kuatir sedikit pun akan kelumeran cinta, keputusan kasih mesra. Tidak, dindaku sayang. Aku bijak melihat, arif menyelidiki dan merasakan detak--detak jantung yang senantiasa beriramakan nyanyian kasih sayang semata. Itu tidak mungkin dipersoalkan lagi, sudah dibuktikan oleh paduan kasih agung kita berdua.”

“Jika aku mengajak, itu karena adat bagi kita. Berunding bermufakat, seia-sekata, adalah pusaka turun-temurun dalam hidup Yang beradab. Dan untuk kerelaan dinda, aku mengucap terima kasih. Apalagi segala keterangan ikhlas suci dari sanubari yang murni. Jika kata sudah sepakat, baiklah kita bersiap-siap sekarang juga, agar besok dapat berangkat tak tertunda lagi. Lebih cepat kita berangkat, akan lebih cepat pula terwujud tugas kewajiban kita,” kata Datu Museng.

“Baiklah junjunganku. Sebentar dinda akan berkemas-kemas.”

“Ya, aku pun akan pergi mempersiapkan bahtera kenaikan kita yang akan digunakan menyeberang ke Makassar, negeri baru bagimu itu.”

Datu Museng lalu pamit mengurus bahtera kenaikannya. Keesokan harinya, ketika fajar sedang menyingsing di ufuk timur, Maipa Deapati menuju istana mengunjungi permaisuri bunda kandungnya dan ayahandanya, Maggauka Datu Taliwang.

“Bunda..., nanda akan pergi meninggalkanmu. Relakan segala asuhan ibu pada ananda. Kupergi ini bukan karena kasih-sayang sudah lenyap, bukan karena jemu pada tanah tumpah-darahku. Tidak, sekali-kali tidak. Kepergianku karena perintah ayahanda Maggauka tak dapat dielakkan, tak dapat ditolak. Harus diikuti sabda perintahnya sebagai kepala seluruh anak negeri,” kata Maipa Deapati lalu merangkul bundanya, sambil menangis tersedu-sedu.

“Anakku, buah hati sayang,” kata Permaisuri membelai-belai rambut puteri si birang-tulang, dengan airmata jatuh satu-satu di atas rambut panjang menghitam ikal.

Kemudian sambungnya lagi, “Rangkaian hatiku telah putus karena kepergianmu. Hilang sudah cahaya semarak rumah-gadang istana ini. Dikau zamrud permata keindahan penghuni istana. Engkau pergi, gelaplah ruangan ini, tak bercahaya lagi. Keuntungan orang di Makassar mendapatkan kau sebagai bintang temarang di tengah malam. Menjadikan bunda di Sumbawa malang kesialan, laksana dalam kamar gelap tak berlentera. Hilang cahaya, tinggal gelap semata. Oh, anakku..., kami di Sumbawa kehilangan mustika hati dan hayati" (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Hamba Bukanlah Turunan Pengkhianat, Hamba akan Membela Kehormatan Negara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama