Kakek Adearangan Mengamuk, Membunuh Ratusan Tubarani dengan Pedang Lidah Buaya

Akan tetapi, belum lenyap asap mesiu diterbangkan angin, kakek Adearangang telah berdiri pula. Ia berlari dengan kencang ke arah tubarani-tubarani yang tak sempat lagi mengisi peluru senjatanya. Sekejap saja orang tua sakti itu, sudah berada di tengah- tengah mereka. Dan tanpa ayal-ayalan lagi si lidah buaya terayun ke kanan­kiri, ke depan-belakang, menebas siapa saja yang berdiri di dekatnya. Layaknya kakek sedang merambah semak-semak yang menghalangi jalannya. Semua tumbang dan darah memancur tiada henti-hentinya.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 08 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (17):

 

 

Kakek Adearangan Mengamuk, Membunuh Ratusan Tubarani dengan Pedang Lidah Buaya

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Adapun kakek ketika kakinya menjejak tanah, terus memperbaiki letak sarungnya. Kemudian, ia maju menyongsong  serbuan para tubarani, dengan si lidah-buaya di tangan kanannya. Rambut dan kumisnya tegak, sedang sorot mata dan jiwanya menyala-nyala. Luapan marahnya tak terbendung.

Kawanan tubarani yang maju diiringi sorak-sorai gegap gempita, meletup-letupkan bedil dan lelanya. Tapi, pasukan itu menahan langkahnya ketika melihat kakek berlari kencang ke arah mereka.

Semua bedil dan lela, diarahkan ke satu sasaran. Semua membidik sang kakek yang kini kian dekat. Sedetik kemudian, meletuslah serentak senjata-senjata itu. Suara bedil yang beratus dan lela yang berpuluh, menjadi satu bahana laksana hendak memecahkan buana layaknya. Peluru yang keluar dari laras-laras senjata tak berperasaan itu, menumpuk ke badan kakek hingga orang tua itu terlempar setombak ke belakang.

Akan tetapi, belum lenyap asap mesiu diterbangkan angin, kakek Adearangang telah berdiri pula. Ia berlari dengan kencang ke arah tubarani-tubarani yang tak sempat lagi mengisi peluru senjatanya.

Sekejap saja orang tua sakti itu, sudah berada di tengah- tengah mereka. Dan tanpa ayal-ayalan lagi si lidah buaya terayun ke kanan­kiri, ke depan-belakang, menebas siapa saja yang berdiri di dekatnya. Layaknya kakek sedang merambah semak-semak yang menghalangi jalannya. Semua tumbang dan darah memancur tiada henti-hentinya.

Tubarani yang sedikit berilmu, mencoba menghalang-halangi. Kepala manusia sudah banyak menggelinding, bercerai dari tubuh. Sedang darah mengucur terus menerus dari leher yang terpenggal dan tubuh luka terbelah sudah menggenangi tempat pertarungan. Tingginya setumit.

Mereka yang meregang jiwa, bergelimpangan tak teratur. Sedang yang luka agak ringan, merintih menahan sakit sambil merangkak mencoba menyelamatkan jiwanya.

Melihat amukan kakek Adearangang, I Mangngalasa mengambil langkah seribu. Ia lari terbirit-birit seperti dikejar hantu. Tak perduli anak buahnya. Ia takut sang kakek berhasil mengejar dan mencabut nyawanya.

Wajahnya yang merah-padam menahan amarah ketika menuju medan laga, kini pucat, sepucat-pucatn ya, laksana tiada berdarah lagi. Semangatnya yang berkobar-kobar ketika memimpin barisan tubarani yang tegap-tegap, sekarang ciut sekecil-kecilnya. Ia tak kuasa lagi memikirkan sedikitpun tunangannya. Ya, ia sekarang hanya memikirkan bagaimana menyelamatkan jiwanya. Lain tiada.

Beberapa orang tubarani yang belum sempat kena tetakan si lidah buaya, ketika melihat pemimpinnya melarikan diri dari medan laga, cepat-cepat mengangkat kaki. Mereka lari lintang-pukang mengikuti tuannya yang sudah jauh di depan, selayak rusa yang melihat harimau.

Dan, sekejap saja habislah tubarani-tubarani jagoan Sumbawa dan Lombok. Gelanggang menjadi sunyi, hanya mayat bergelimpangan dan darah membanjir yang membentuk panorama mengerikan.

Dengan melangkahi mayat-mayat itu, kakek Adearangang kembali ke rumah dengan lesu. Seribu-satu macam perasaan mengaduk kalbunya. Menyesalkah ia kini? Tidak! Ia melakukan pembantaian ini karena dipaksa. Keadaanlah yang memaksanya memilih satu dari dua alternatif yang disodorkan kepadanya. Hidup atau mati! Dan ia memilih alternatif pertama. Itu pun dengan cara laki-laki sejati.

Kita kembali sebentar kepada Maipa Deapati. Ketika peluru berdebam membentur dinding-dinding rumah dan membocor-bocorkan atap, ia menjerit sambil mendekap erat-erat Datu Museng di dalam bilik.

“Datu, jangan tinggalkan daku. Marilah mati bersama jika kanda harus mati di tangan tubarani-tubarani itu. Aku tak ingin berpisah darimu lagi.”

“Ah, Maipa-ku sayang, kanda tak akan pergi. Belum masanya kita harus berpisah. Tak seorang pun di antara tubarani itu yang dapat memisahkan kita. Mereka masih memerlukan waktu bertahun-tahun menuntut ilmu kejantanan, jika hendak mencoba merenggut dikau dari sisiku. Jangan takut, janganlah bimbang, adikku sayang. Bukankah rindu kita belum terbayar seluruhnya. Dengarkah tadi, apa kata kakek kita? Yang datang menyerang itu belum sepadan dengan kesaktian kakek yang sangat masyhur di daratan Makassar. Bahkan, beribu musuh pun tak akan mampu mengalahkannya. Sabarlah, mari kita nyanyikan lagu asmara yang hakiki.”

Dan keduanya pun tenggelam dalam rayuan asmara loka. Bunyi dentum peluru lela dan malela, sorak musuh yang menyerang, sudah tak terdengar lagi. Semua hilang lenyap disapu keheningan yang mencekam dan mendinginkan perasaan.

Kakek tiba di rumah dengan diam-diam. Ia enggan mengusik cucu kesayangannya. Dibiarkannya kedua sejoli itu tenang dalam peraduan. Setelah duduk di anjung depan rumahnya, ia mengeluarkan sarung dari tubuhnya. Kemudian, diseka-sekanya pedang yang berlumur darah. Lalu tenang-tenang memandang ke depan, ke arah musuh yang datang teratur dan pulang kocar-kacir. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Rumahnya Dikepung Pasukang Tubarani, Adearangan Terbayang Kembali Masa Mudanya di Makassar

Maggauka Minta Maipa Deapati Dikembalikan, Kakek Adearangan Menolak dan Siap Mempersilang Senjata

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama