“Maharku: Pedang dan Kain Kafan” Otobiografi Bergaya Sastra

Para pembahas Mahrus Andis, Muhammad Amir Jaya, dan Ishakim, dalam Diskusi Buku "Maharku: Pedang dan Kain Kafan", dan peserta antara lain Asia Ramli “Ram” Prapanca (akademisi, teaterawan, sutradara, sastrawan), Suradi Yasil (sastrawan asal Sulawesi Barat), Yudhistira Sukatanya (seniman, sastrawan, sutradara), Syahril Patakkai Daeng Nassa (sastrawan), Idwar Anwas (akademisi, sastrawan, penulis buku), dan Andi Ruhban (akademisi, sastrawan). 


 

-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 01 Juli 2022

 

 

Catatan dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (4-habis):

 

 

“Maharku: Pedang dan Kain Kafan” Otobiografi Bergaya Sastra

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Rahman Rumaday bukanlah siapa-siapa dibandingkan Mahrus Andis, Muhammad Amir Jaya, dan Ishakim. Maman, sapaan akrab Rahman Rumaday, memang sudah menerbitkan tiga buku, tapi Maman sangat belum bisa dibandingkan dengan Mahrus Andis, Muhammad Amir Jaya, dan Ishakim yang sudah malang-melintang di jagat sastra, dan seni budaya, khususnya di Sulawesi Selatan.

Namun dengan rendah hati, ketiga tokoh seni sastra ini bersedia bahkan serius menyiapkan diri dan tampil menjadi pembahas buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, yang diadakan Forum Sastra Indonesia (Fosait), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Ahad, 26 Juni 2022.

Kerendahan hati juga ditunjukan sejumlah seniman, sastrawan, dan budayawan yang sudah punya nama di level regional dan level nasional untuk hadir dalam diskusi buku tersebut.

Mereka yang hadir antara lain Asia Ramli “Ram” Prapanca (akademisi, teaterawan, sutradara, sastrawan), Suradi Yasil (sastrawan asal Sulawesi Barat), Yudhistira Sukatanya (seniman, sastrawan, sutradara), Syahril Patakkai Daeng Nassa (sastrawan), Idwar Anwas (akademisi, sastrawan, penulis buku), dan Andi Ruhban (akademisi, sastrawan). 

Juga hadir Nurdin Dakka (penggiat literasi, peneliti budaya), serta wartawan senior Rusdy Embas dan Arwan Dg Awing.

Saking seriusnya, Mahrus Andis bahkan mengulas buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” secara tertulis dan kemudian ia bacakan saat tampil sebagai pembahas bersama Muhammad Amir Jaya dan Ishakim dalam diskusi yang dimoderatori Anwar Nasyaruddin.

Dengan membuat ulasan secara tertulis, maka pembahasan yang disampaikan Mahrus Andis menjadi terstruktur dan runut, sehingga enak untuk dicerna. Dan satu lagi, pembahasannya terdokumentasi secara manual dan digital karena dibuat secara tertulis. Ulasannya ia beri judul “Antara Syariat dan Simbol Patriotisme Jihad Keluarga.”

Mahrus Andis juga membuat ulasan secara tertulis saat tampil sebagai pembahas dalam Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022. Ulasan tertulisnya ketika itu ia beri judul: “Pada Sebuah Reuni”, Puisi Aslan Abidin: Siapa dan Bagaimana “Aku Lirik?”

Tidak salah memang kalau label kritikus sastra disematkan kepada Mahrus Andis, karena pembahasannya selalu luas dan mendalam, tetapi juga tidak sembarang karya sastra yang ia kritik.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa peran kritikus ialah memperjelas dan memotivasi. Dan modal utama seorang pengamat sastra ialah ilmu pengetahuan yang dalam, punya pengalaman yang luas (pengalaman makro dan microkosmos), dan memiliki hati yang terbuka (berani mengakui baik atau tidak baiknya suatu karya).

Kerendahan hati atau hati yang terbuka itulah yang mengantarkan seorang Mahrus Andis meluangkan waktu membuat ulasan dan tampil sebagai pembahas pada Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” karya Rahman Rumaday.

 

Getah Sastra pada Citra Imaji Cerita

 

Dalam ulasan lanjutannya, Mahrus mengatakan, “Tidak dapat dipungkiri bahwa Rahman Rumaday telah berupaya menuturkan secara indah kisah pernikahannya dengan wanita Heliati Eka Susilowati dalam buku Maharku: Pedang dan Kain Kafan.”

“Keindahan bahasanya cukup menonjol melalui ungkapan-ungkapan naratif yang terbingkai ke dalam plot yang terstruktur,” kata Mahrus.

Secara konvensional, Maman–sapaan akrab Rahman Rumaday–sebagai penulis memaparkan ceritanya yang diawali dengan gambaran situasi, antara lain penulis memperkenalkan tokoh cerita Maman dan Esti.

Pada alur ini penulis melukiskan latar belakang sosial-budaya dan tradisi keluarga Maman (baca: termasuk konvensi mitologis di lingkungan masyarakat Desa Sera, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku).

Salah satu mitologi yang menjadi tradisi di lingkungan penulis yaitu kebiasaan secara turun-temurun “memberikan anaknya” ke orang lain untuk dipelihara agar terhindar dari kutukan leluhur. Walaupun bagi penulis, hal ini dinilai sebagai takdir Tuhan.

“Kedua orang-tuaku termakan mitos tentang ketidak-cocokan antara anak dengan orang tua kandungnya. Ketidak-cocokan itu dihubungkan dengan suatu peristiwa–yang  kemudian disimpulkan sebagai bukti–bahwa setiap anak yang lahir dari mereka paling lama hanya berusia sekira satu tahun.

...

Padahal, ini adalah jalan takdir. Cara Tuhan untuk menguji kesabaran dan ketabahan hati hamba-Nya.” (hal. 4 dan 5)

Mahrus mengatakan, gambaran karakter dan lingkungan kehidupan tokoh berlangsung hingga pada episode 4 di halaman 35. Dan tantangan mulai merasuki pikiran pada halaman 37 dengan subjudul “Kapan Menikah?”

“Pertemuan antara Maman dan Esti memiliki logika plot yang tersusun melalui hukum kausaprima,” sebut Mahrus.

Dia mengatakan, tokoh dokter Jihad, tempat Maman dan Esti curhat mencari pasangan, inilah yang berperan sebagai mak comblang. Peran Dokter Jihad mencapai puncaknya di halaman 65, setelah proposal mencari pendamping hidup dari Maman sudah berada di tangan Esti.

Episode ke-7, “Inilah Proposalku!” di halaman 43 tersebut terlalu formal hingga halaman 65. Mirip bahasa baku narasi penyuluhan untuk menemukan pasangan yang tepat.

Selain itu, ada beberapa kata sulit (asing) yang mengganjal imaji pembaca. Antara lain, kata-kata dimaksud adalah: ikhfa, izhar (hal. 43), qadarullah, murabbi, dan ta'aruf (hal. 46 dan 47).

Istilah asing ini tidak sama perannya dengan kata istikharah (kata ini sudah baku sebagai jenis salat sunat minta petunjuk di hal.51).

“Pertanyaan, apakah menggunakan istilah asing seperti itu tidak dibolehkan dalam cerita bergaya sastra? Jawabnya, boleh. Hanya saja, apabila penggunaan istilah tersebut terkesan dipaksakan tanpa disertai penjelasan (skenotesia), kadang-kadang cerita kurang komunikatif,” ulas Mahrus.

Di sisi penggarapan bahasa, memang ada beberapa filosofi-kultural yang penting dipertanyakan kepada penulis. Misalnya; Ini drg. Jihad orang keturunan apa? Dialeknya memakai sapaan ente? Esti memakai kata Ikhwan? Dan Bang Maman, orang dari mana dan berlatar budaya apa?

“Ini yang saya maksud sebagai bahasa yang diarab-arabkan, sehingga mengurangi getah sastra pada citra imaji cerita tersebut,” ungkap Mahrus.

Istilah “maisyah” pada hal.55, juga asing. Tetapi, tetap komunikatif di wilayah apresiasi pembaca, sebab ada penjelasan di dalam kurung (skenotesia) yang artinya: tidak harus berpenghasilan tetap, tetapi tetap berpenghasilan.

Lafaz ijab-kabul yang menggunakan gabungan bahasa Arab dan Indonesia pada halaman 145, memang terasa lain dari yang biasa. Moralitas ijab-kabul tersebut tetap terpelihara dan sah sesuai syariat.

Kelainan yang dimaksud ialah struktur bahasanya yang panjang menyebutkan detail anasir mahar:

“Bismillahirrahmanirrahim, ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Heliati Eka Susilowati binti Saiful alal Mahri, sebuah pedang yang di atasnya bertulis Rahman Rumaday dan Heliati Eka Susilowati, kain kafan, sebuah cincin emas, satu paket kitab Riyadussholihin, sebuah Al Quran dan seperangkat alat salat halal.”

Ucapan ijab dari bapak Esti di atas, tentu sudah menjadi konvensi di kalangan orang-orang dekat Maman. Dan, sekali lagi, itu sahih dari dimensi syariat. Namun, ketika struktur lafaz ijab tersebut dikonversi ke dalam cerita bergaya sastra, tentu nilai komunikasi sastrawinya agak tergerus.

“Mungkin lebih bagus apabila kalimat ijab tersebut diucapkan dalam bahasa Indonesia secara utuh,” kata Mahrus.

 

Alur Cerita Kurang Utuh

 

Secara keseluruhan, dari dimensi sastra, cerita pengalaman hidup ini tergolong otobiografi Rahman Rumaday yang bernilai estetik. Unsur-unsur fisik dan batin sebuah karya sastra, seperti majas (figurative language), kata konkret, tema sentral, dan tipografi, nyaris sempurna.

Meskipun demikian, salah satu kelemahan cerita “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” ini ialah plot (alur cerita) kurang utuh. Karakter pelaku cukup tergarap, namun dinamika penceritaan terasa datar. Suspens, klimaks dan antiklimaks belum terbina dengan cerdas.

“Itulah sehingga saya cenderung menyebut kisah ini sebagai otobiografi yang digarap dengan bahasa sastra,” kata Mahrus.

Di akhir pembahasannya, Mahrus mengatakan, judul “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” ternyata hanyalah simbolisme keteguhan hati seorang suami dalam jihad keluarga secara lahir-batin, material-spiritual serta dunia wal akhirat.***


----

Artikel sebelumnya: 

Mahar Pedang dan Kain Kafan Menyimpang dari Tradisi Masyarakat Islam

Mahar Apa yang Diberikan Nabi Adam kepada Siti Hawa?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama