Perpisahan Maipa Deapati dengan Ibunda Permaisuri Diwarnai Isak Tangis

Setelah kedua orang-tua yang melahirkan isterinya mengakhiri petuahnya, Datu Museng pamit, lalu berdiri pelan-pelan. Maipa Deapati yang kemudian ikut berdiri, menubruk ayah-bundanya, merangkul mereka disertai isak-tangis, disambut pula isak-tangis Permaisuri yang cukup memilukan perasaan. Untuk sejenak suasana menjadi demikian beku, hingga perasaan masing-masing seakan dikuasai kehampaan yang tiada berbatas.
 



-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 21 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (26):

 

 

Perpisahan Maipa Deapati dengan Ibunda Permaisuri Diwarnai Isak Tangis

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

 

Ketika permaisuri bertutur beriba, Maggauka mendekat, sambil berkata: “Kegelapan yang kau maksud itu dinda, bukanlah kegelapan yang akan merusak dan memadamkan semangat. Tapi kegelapan itu akan mendatangkan kecemerlangan bagi kita dan negara. Kepergian Maipa Deapati dan junjungannya I Datu Museng ke daratan Makassar tidaklah pergi begitu saja, tetapi untuk menjalankan tugas mulia bagi kepentingan rakyat kita.”

“Ya, mereka pergi sebagai pahlawan tanah-air yang seharusnya kita banggakan serta junjung tinggi. Kepergian ini tak layak ditangisi, tak baik diiringi air mata. Karena tangis dan air-mata besar pengaruhnya terhadap iman dan tekad yang sudah membaja, permaisuriku.”

“Tapi..,” Permaisuri tak dapat meneruskan kata-katanya.

“Tapi apa? Teruskan bicaramu.”

“Kami..., kami kaum hawa, lemah hati halus perasaan. Tak sekuat sekeras hati kaum lelaki.”

“Oh..., tentang itukah permaisuri maksudkan? Aku cukup mengetahui perasaan kaum hawa, dinda. Dan karena itulah kuperkenankan permohonan anak kita Datu Museng membawa isterinya ke Makassar. Bukankah keduanya tak dapat berpisah lagi?”

“Dalam hal ini kita harus memperbanyak pengorbanan rasa dan kepentingan diri pribadi daripada kepentingan rakyat banyak. Kendati kita cinta dan sayang puteri kita, tapi karena kepergiannya untuk kepentingan negara, maka rasa sayang dan kasih itu seharusnya dialihkan kepada kasih dan cinta terhadap negara dan rakyat.”

“Dengan jalan itu kesedihan akan hilang dan berubah gembira, karena memiliki anak yang patuh menjalankan kewajiban. Kuatkanlah hatimu melepaskan mereka. Jangan diiringi dengan genangan air mata. Iringilah dengan do’a restu agar selamat dan lekas kembali pulang menemui kita. Semoga berhasil segala daya-upaya dan perjuangannya di tanah seberang.”

“Cuma ini yang harus kita lakukan, menguatkan hati mereka agar tabah tak terbata-bata menempuh ombak dan badai mengarungi laut menuju Makassar. Kuatkanlah hatimu, teguhkan iman menghadapi cobaan ini. Agar kuat dan teguh pula hati dan iman anak kita menjalankan tugas menentang musuh sekuat apa pun.”

“Sekalah air mata adinda dan ajaklah Maipa Deapati bergegas, segera bersedia-sedia untuk berangkat. Persiapan sudah mustustaid, bahtera kenaikan telah lama mengambang terapung. Rakyat sudah berjejal di pantai menanti ingin mengucap kata selamat jalan. Waktu yang baik sudah hampir tiba, saat matahari raja alam muncul di tubir langit ufuk timur. Saat itulah waktu yang baik untuk berangkat menjajal tujuan.”

Ketika Maggauka mengakhiri nasehatnya, Datu Museng muncul di ambang pintu istana. Maggauka kemudian berkata lagi: “Nah, Datu Museng sudah datang menjemput Maipa.”

Datu Museng melangkah masuk ruangan dengan takzim ke dekat kaki Maggauka dan duduk bersila sambil berucap: “Kini kami akan berangkat, tuanku. Kami akan berangkat membawa nama tuanku, nama negara dan rakyat yang kita cintai. Restu tuanku dan ratu juga yang kami harapkan. Mudah-mudahan kami selamat pulang kembali ke tanah air.”

Ia lalu berpaling kepada Maipa Deapati yang masih berlutut di kaki ibunda Permaisuri. “Dinda Maipa, marilah minta izin pada Maggauka. Sang Matahari sudah hampir muncul. Jangan sampai kita didahului menjelajah tanah menjamah air. Pesan kakek jangan dilupakan, petuah Maggauka dipegang teguh. Bergegaslah sedikit, agar kita berangkat sekarang juga.”

Mendengar kata suami junjungannya, Maipa Deapati melepaskan tangan dari lutut ibundanya. Dengan menghapus air mata ia pergi mendapatkan ayahandanya, berlutut memegang kakinya.

“Ayahanda, izinkan nanda berangkat meninggalkan ayahanda dan ibunda yang kami cinta dan sayangi.”

“Baiklah anakku, berangkatlah kalian berdua dengan nama Tuhan, dan kembalilah dengan selamat sejahtera tak kurang suatu apa.”

Perlahan-lahan Maggauka membimbing tangan anaknya dan mengajak berdiri. Permaisuri yang kini sudah berada dekat suaminya, kemudian berkata: “Semoga Tuhan menjelmakan maksud kita bersama dan kalian kembali dengan selamat di daratan Sumbawa.”

Permaisuri berhenti bertutur, seakan kehilangan kata-kata yang akan diucapkan.

Setelah kedua orang-tua yang melahirkan isterinya mengakhiri petuahnya, Datu Museng pamit, lalu berdiri pelan-pelan. Maipa Deapati yang kemudian ikut berdiri, menubruk ayah-bundanya, merangkul mereka disertai isak-tangis, disambut pula isak-tangis Permaisuri yang cukup memilukan perasaan. Untuk sejenak suasana menjadi demikian beku, hingga perasaan masing-masing seakan dikuasai kehampaan yang tiada berbatas.

Perlahan-lahan rangkulan dilepaskan dan berjalanlah kedua pasangan suami-isteri ini meninggalkan bilik istana sambil berbimbingan tangan menuju tangga, kemudian turun ke pekarangan. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Datu Museng Ajak Maipa Deapati ke Makassar Hadapi Pengkhianatan Datu Jarewe

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama