Putus Sudah Harapan Mengangkat I Mangngalasa Menjadi Menantu

Alangkah baiknya jika puterinya diambil kembali ke istana dengan damai. Kemudian, diupacarai dan dikawinkan dengan Datu Museng secara resmi, agar semua pihak tak dirugikan. Dan hilang sengketa dalam damai.

Jika Maipa telah kembali, istana akan hidup dan semerbak lagi, seperti sedia kala. Kembang-kembang yang layu di taman akan kuncup kembali, mengelopak menebarkan harum semerbak. Margasatwa penghuni taman akan berkicau kembali sepanjang hari.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 09 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (18):

 

 

Putus Sudah Harapan Mengangkat I Mangngalasa Menjadi Menantu

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Maggauka terperanjat ketika melihat I Mangngalasa memasuki pekaranyan istana. Ia diikuti beberapa tubarani yang pucat dan terengah-engah, bagai dijegal hantu.

Maggauka memerhatikan secara saksama calon menantunya. Ia tidak berikat kepala lagi. Rambutnya yang panjang, terurai tidak menentu. Dadanya turun naik, sedang mulutnya terbuka lebar-lebar, tapi tiada kuasa mengucap sesuatu.

“Wahai anak muda perkasa, mengapa gerangan semua ini lakumu?” tanya Maggauka, “Ceritakan sebab-sebab musibah menimpamu. Dimana semua tubarani pilihan kerajaan Sumbawa dan Lombok yang kau pimpin? Dimana semua pemuda gagah perkasa yang pantang terkalahkan, ayam jago sabungan,  kerbau aduan pantang surut? Dimana semua? Adakah sayap menjadi patah, taji ayam tiada berbisa lagi?”

I Mangngalasa tetap diam, tiada jawaban. Ia berdiri lesu, menekuri tanah di hadapannya. Bahunya yang bidang kini bergantung lepas ke bawah, menggambarkan perasaan yang di kandungnya.

Hatinya pedih tiada terkira, kecewa tiada bertara. Tiada kesampaian maksud merebut tunangannya Maipa Deapati, idamannya selama ini. Sakit hatinya tiada terobat sekarang, pilu nanti sepanjang usia. Geringlah ia kelak, karena Datu Museng telah nengiris-iris sembilu jiwanya, merenggut pujaan kalbunya dari pangkuan. Dirampas begitu saja makanan dalam mulut, disambar kekasih dari tangan.

Ah, tiada celaka lagi di atas dari celaka ini, sial dari segala sial. Hendak mati, masih sayang pada nyawa, ingin hidup kasihan pula diri yang harus berputih-mata. Pening kepalanya. Berkunang-kunang pandangannya, memikirkan semua itu.

Pertanyaan Maggauka yang berulang-ulang, tiada tersambut. Hilang pikiran untuk menjawab, dihalang mulut 'yang terkatup rapat. Musnah kira-kira yang akan diperkirakan. Hilang tempat bersandar, runtuh tempat berpijak.

Menyaksikan laku calon menantunya demikian rupa, jauh dari kebiasaan semula, Maggauka jadi bingung dan takut. Dan belum habis kuatir beliau, tiba-tiba Mangngalasa terjerembab ke tanah, tiada sadarkan diri, laksana hendak mati sebelum ajal meninggalkan jasad.

Kepala Tubarani dari Lombok yang masih sempat melarikan diri ikut junjungannya, segera tampil ke muka dan mengangkat ikutan sembahannya, naik ke istana, ke bilik tempat peraduan sang pangeran yang malang.

Sambil berpikir keras, Maggauka mengayunkan langkah menuju bilik permaisuri. Direka-rekanya perihal yang menimpa calon menantunya di medan laga. Walau tanya tak bersua jawab, ia kini mengerti Mangngalasa hilang semangat bertarung. Kepercayaan diri yang longsor membentuknya jadi penakut dan pengecut. Bertolak belakang dengan darah bngsawan tinggi yang mengalir di tubuhnya.

Tiada disangka, tiada dinyana calon menantu begitu lemah batin menantang musuh dua orang. Belum berbilang ratus dan ribu. Ya, apalagi kalau dipikir, putra mahkota Sultan Lombok ini maju ke medan laga, beserta tubarani yang mahir mempersilang senjata.

Hilang sudah harapan, pupus sudah percayanya kepada Mangngalasa yang diharap akan mengganti diri di masa mendatang. Dan jadi pelindung putri si birang-tulang. Tiada pantas, tiada layak memimpin rakyat beribu-berjuta. Apalagi jadi raja sembahan yang berwibawa. Pendek kata, putus sudah segala harapan untuk mengangkat jadi menantu idaman hati.

Ia kini sudah berada dekat pembaringan Permaisuri. Diperhatikannya dengan seksama keadaan istrinya yang menyedihkan dalam wujudnya. Tubuh agak kurus, mata cekung dan rambut tergerai kacau. Ibanya timbul, rasa kasihan berkecamuk di rongga dadanya. Ia harus mencari jalan keluar dari kesulitan keluarga yang maha rumit. Dan datanglah pemikiran baru ke dalam hatinya.

Ia duduk di pembaringan, di sisi Permaisuri yang lena dalam kelesuan. Hatinya lemah memikirkan nasib putrinya yang tak kembali, jika tak dipanggil pulang. Untuk mengambilnya secara kekerasan, telah tak terpikirkan. Sudah cukup darah yang tertumpah, sudah banyak mayat yang bergelimpangan. Ya, tak ada gunanya menumpahkan darah lebih banyak lagi. Tak ada untung dan tak ada laba jika terus menerus darah dialirkan juga.

Alangkah baiknya jika puterinya diambil kembali ke istana dengan damai. Kemudian, diupacarai dan dikawinkan dengan Datu Museng secara resmi, agar semua pihak tak dirugikan. Dan hilang sengketa dalam damai.

Jika Maipa telah kembali, istana akan hidup dan semerbak lagi, seperti sedia kala. Kembang-kembang yang layu di taman akan kuncup kembali, mengelopak menebarkan harum semerbak. Margasatwa penghuni taman akan berkicau kembali sepanjang hari.

Prajurit kerajaan pasti akan lebih gagah perkasa menentang maut, bila dipimpin oleh Datu Museng, orang yang cukup berilmu dan kuat iman di dada. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Kakek Adearangan Mengamuk, Membunuh Ratusan Tubarani dengan Pedang Lidah Buaya

Rumahnya Dikepung Pasukang Tubarani, Adearangan Terbayang Kembali Masa Mudanya di Makassar 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama