Rindunya Bergejolak, Tumalompoa Ingin Segera Miliki Maipa Deapati

Tumalompoa berdiri dari duduknya, berjalan bolak-balik di depan jendela kamar kerjanya. Rindunya bergejolak penuh gairah dalam dadanya sekarang. Hatinya tak tenang lagi, terbayang terus wajah Maipa Deapati di ruang matanya. Akhirnya nafsu menguasai dirinya. Ia tak kuasa lagi berangan-angan berkepanjangan. Ia ingin secepat mungkin menguasai wanita milik Datu Museng. 

 



-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 29 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (31):

 

 

Rindunya Bergejolak, Tumalompoa Ingin Segera Miliki Maipa Deapati

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

“Begini Jurubahasa! Bukankah Datu Museng dan isterinya yang bernama Maipa Deapati sekarang berada di Makassar ini? Sudah berapa lama mereka berada di tanah tempat kita berkuasa? Apa maksudnya kemari? Sebagai pedagang? Sebagai sahabat atau sebagai musuh? Jangan-jangan dia mencari hubungan dengan orang Gowa?”

Tumalompoa berhenti sejenak sambil meraba-raba dagunya dan mencabut-cabut bulu yang tumbuh jarang-jarang.

“Tuanku, kudengar iA datang tak sembarangan datang. Ia datang untuk menyelesaikan soal pengakuan Datu Jarewe sebagai yang dipertuan di Sumbawa. Itulah tujuan utamanya. Yang lain belum hamba maklumi. Mengenai hal itu sedang hamba selidiki. Adapun waktu tibanya di sini, sudah tiga purnama, tuanku.”

“Tiga purnama? Bukankah itu waktu yang cukup lama? Dan hasil penyelidikan belum kau peroleh? Bagaimana mungkin ini semua?” kata Tumalompoa sambil meremas-remas tangannya.

“Tapi baiklah, kau tentu sudah cukup berusaha. Aku selalu tak meragukan tindakanmu, Jurubahasa. Aku juga mengerti bahwa Datu Museng yang kau sedang selidiki itu orang istimewa yang tak mudah masuk perangkap. Justru itulah aku selalu merasa dia sangat berbahaya. Ya, terlalu berbahaya bagi pemerintahan kita. Kau mengerti?”

Tumalompoa berhenti lagi sesaat, menelan air-liur, lalu sambungnya lagi, “Begini saja. Kau..., kau harus berusaha sekuat-kuatnya memisahkan dia dari isterinya!”

Lega perasaan Tumalompoa setelah mengeluarkan kalimat terakhir ini.

“Diceraikan, tuanku?” Jurubahasa terperanjat mendengar perintah yang tak diduga-duganya itu.

“Ya, diceraikan! Karena dia terlalu berbahaya. Menurut pengalamanku, jika hendak meruntuhkan seseorang yang kuat, pukullah dahulu semangatnya. Kacaukan pikirannya, ia pasti berkelahi tanpa perhitungan yang matang. Begitu juga dengan Datu Museng. Ceraikan dari isterinya puteri Maipa yang kabarnya sangat dicintainya itu, maka ia tentu akan bertindak gegabah, mudah memasukkannya ke dalam perangkap.”

“Tapi itu berarti mati, tuan besar,” jawab Jurubahasa terbata-bata.

“Memang, itulah kehendakku! Aku yakin, kedatangannya kemari, di samping menentang Datu Jarewe, ia akan menentang pula kita. Ia orang yang cukup cerdik. Cepat atau lambat akan diketahuinya juga bahwa kitalah yang berdiri di belakang Datu Jarewe. Itu berarti ia akan menentang kekuasaan dan kedaulatan Belanda di negeri ini. Kukira ia sekarang sedang main mata dengan orang-orang Gowa untuk bekerjasama menggulingkan kekuasaan kita. Apabila berhasil usahanya, maka ia akan didudukkan di Sumbawa sebagai Sultan, menggantikan mertuanya Maggauka sekarang, yang kurang kita sukai karena masih setia dan taat secara sembunyi-sembunyi pada orang-orang Gowa. Adanya dia di Makassar ini bagai duri dalam daging kita. Dan sebelum duri itu merusak daging, sebaiknya kita cabut sekarang juga, jangan tunggu berlama-lama,” kata Tumalompoa, sambil menatap tajam-tajam Jurubahasa.

Sebenarnya hati kecil I Tuan Jurubahasa berat sekali menerima perintah itu. Ia tahu siapa Datu Museng sebenarnya. Ia maklum akan kesaktian menantu Maggauka Datu Taliwang ini yang sudah tersohor kemana-mana. Akan tetapi karena ia penjilat yang berbakat yang menyebabkan ia sekarang menduduki jabatan tertinggi di antara anak negeri, dengan sendirinya ia tak berani menentang kemauan Tumalompoa.

Dengan gaya penjilatnya yang mahir, Jurubahasa berkata: “Tuanku, sebenarnya hamba sudah mempunyai pikiran seperti itu, tapi belum dapat hamba sampaikan karena belakangan ini hamba lihat tuan besar selalu repot, banyak urusan. Hamba tak sampai hati mengusik tuanku. Hamba sebenarnya menunggu saat yang baik untuk menyampaikannya. Tapi kiranya tuan besar yang mendahului. Jadi apa yang tuanku minta tadi, akan hamba laksanakan sebaik dan sekuat-kuasa mungkin.”

Jurubahasa terdiam. Tumalompoa juga berpikir. Di benak Jurubahasa terbayang Datu Museng yang akan dihadapinya dengan kemungkinan untung-rugi. Sedang dalam pikiran Tumalompoa, terlukis kemolekan Maipa Deapati yang telah menyiksa batinnya berkepanjangan.

Tanpa dapat menahan emosi, ia kemudian berkata: “Kecantikan dan kemolekan tubuh isteri Datu Museng itu tiba di telingaku bagai suatu nyanyian yang sangat indah. Hanya sayang, keindahan lagu ini mendatangkan duka dan sakit dalam kalbu. Konon kabarnya, kecantikan Maipa masyhur bukan di Sumbawa dan Makassar saja, tapi ke lain-lain daerah pun sudah terdengar dan menjadi buah bibir setiap orang. Tak ada tara dan tandingannya lagi. Sehingga..., aku turut menjadi gila pula dibuatnya.”

Kata yang terakhir ini diucapkan Tumalompoa perlahan sekali, seakan malu didengar orang lain, selain I Tuan Jurubahasa. Ia kemudian merenung sejenak, lalu menarik napas panjang dan menatap bawahan kepercayaannya itu sambil melepaskan sesungging senyum tawar.

“Ya, rasanya setiap lelaki yang punya naluri sempurna, tergila-gila padanya, tuanku. Sekurang-kurangnya menyimpan dalam hati, karena tak kuat atau tak berani untuk....” Jurubahasa sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya untuk memancing dan menghasut tuannya.

“Untuk apa, Jurubahasa?” sela Tumalompoa agak bernafsu, “Teruskan bicaramu!”

“Untuk merebut dan memilikinya, tuanku.”

“Yang kau maksudkan aku?”

“Oh, bukan tuanku!” jawab Jurubahasa cepat.

Dan sambil menjilat-jilat bibirnya, ia melanjutkan: “Tuan besar, orang yang maha kuasa di daratan Makassar. Jika tuanku mau, soal Maipa Deapati adalah soal yang amat mudah. Kukira wanita itu pun tak akan menolak. Selain cukup tampan, tuan juga adalah orang yang memerintah di negeri ini. Satu kelebihan yang diidamkan setiap wanita.”

Kata-kata yang diucapkannya tepat mengenai sasaran. Tumalompoa berdiri dari duduknya, berjalan bolak-balik di depan jendela kamar kerjanya. Rindunya bergejolak penuh gairah dalam dadanya sekarang. Hatinya tak tenang lagi, terbayang terus wajah Maipa Deapati di ruang matanya.

Akhirnya nafsu menguasai dirinya. Ia tak kuasa lagi berangan-angan berkepanjangan. Ia ingin secepat mungkin menguasai wanita milik Datu Museng. Ya, jika tak dapat dengan damai, menumpahkan darah pun jadilah. Ia tokh orang berkuasa, dapat mengerahkan ratusan, bahkan ribuan serdadu dan tubarani untuk mengambilnya. Jika perlu lebih dari itu pun bisa. Kini tegas sudah pendiriannya, nafsu binatang telah merajai kalbunya. Tak ingat sopan-santun lagi, iblis telah menempati hati. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Tumalompoa di Makassar Jatuh Cinta kepada Maipa Deapati

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama