“Bimbang”, Puisi Ejekan Sosial A. M. Dg. Miyala

Seorang penyair Indonesia asal Sulawesi Selatan yang tercatat di dalam sejarah sastra Angkatan Pujangga Baru, ialah A. M. Dg. (DaEng) Miyala. Penyair ini lahir di Makassar, 02 Januari 1909. Nama lengkapnya, Abdul Muin DaEng Myala. Dia pun pernah menulis dengan memakai nama A. M. Tahir.





----

PEDOMAN KARYA

Senin, 04 Juli 2022

 

Jejak Sastrawan Sulawesi Selatan:

 

 

“Bimbang”, Puisi Ejekan Sosial A. M. Dg. Miyala

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)

 

Tidak banyak orang yang mengenal A. M. Dg. Miyala. Di sekolah-sekolah, para siswa hanya menghapal mati nama-nama sastrawan Indonesia seperti Charil Anwar, Taufik Ismail, atau W. S. Rendra. Itu pun bagi mereka yang meminati pelajaran Sastra dan Bahasa Indonesia.

Para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (1933-1942) semisal Sutan Takdir Alisyahbana, M. Yamin, Armijn Pane, Sanusi Pane, J. E. Tatengkeng, dan yang lainnya, jarang mereka ingat. Apalagi mau mendiskusikan karya-karya para sastrawan ini. Selain siswa kurang berminat, guru-guru bahasa Indonesia pun, umumnya, tidak berbakat mengajarkan  apresiasi sastra.

Seorang penyair Indonesia asal Sulawesi Selatan yang tercatat di dalam sejarah sastra Angkatan Pujangga Baru, ialah A. M. Dg. (DaEng) Miyala. Penyair ini lahir di Makassar, 02 Januari 1909. Nama lengkapnya, Abdul Muin DaEng Myala. Dia pun pernah menulis dengan memakai nama A. M. Tahir.

Catatan berupa naskah cetak tentang diri dan karya sastrawan ini belum ada saya temukan. Dulu, akhir 1970-an, Dewan Kesenian Makassar (DKM) di gedung Societeit De Harmonie, ada satu ruangan yang diberi nama Sanggar A. M. Dg. Miyala.

Di situ para sastrawan sering berdiskusi. Tentu dokumen historis, baik buku, majalah maupun kliping surat kabar yang memuat karya-karya penyair Angkatan Pujangga Baru itu masih tersimpan rapi di Sekretariat DKM saat ini. Atau setidaknya, ada di antara seniman-budayawan Sulsel yang memiliki catatan manual tentang kiprah A. M. Dg. Miyala selama aktif berkesenian di Makassar.

Kemarin, saya membuka-buka perpustakaan gogelnet. Ada satu puisi A. M. Dg. Miyala yang saya temukan dan menarik untuk direnung-renungkan. Puisi dimaksud adalah  sebagai berikut :

 

BIMBANG

 

Sabar! Sabar! Sabar!

Inilah seruan yang acap kudengar:

Heran daku benar-benar,

Adakah ‘ku belum cukup bersabar?


Sadar! Sadar! Sadar!

Inilah seruan yang acap kudengar;

Heran daku benar-benar,

Adakah ‘ku belum cukup tersadar?


Semakin aku bersabar

Semakin aku terlantar

Semakin aku tersadar

Semakin aku kesasar *)

 

Ini sebuah satire. Namun, saya cenderung melihat secara verbal bahwa puisi tersebut adalah “ejekan sosial” penyair terhadap suasana lingkungannya. Boleh jadi lingkungan yang dimaksud adalah keluarga, masyarakat, atau pun yang lebih luas dalam konteks kebangsaan.

Euforia nasionalisme yang berangkat dari semangat Sumpah Pemuda, 1928, tentu memunculkan persoalan-persoalan kebatinan di jiwa penyair. Nilai kesabaran dan kesadaran tidak jarang hanya menjadi simbol kamuflase untuk memuaskan nafsu kepentingan tertentu.

Keseringan menerima seruan vulgar untuk selalu bersabar serta tetap dalam kondisi jiwa yang sadar, membuat penyair heran dan merasa tersentil:

 

Sabar! Sabar! Sabar!/

Inilah seruan yang acap kudengar:/

Heran daku benar-benar,/

Adakah ‘ku belum cukup bersabar?/


Sadar! Sadar! Sadar!/

Inilah seruan yang acap kudengar;/

Heran daku benar-benar,/

Adakah ‘ku belum cukup tersadar?/

 

Petuah-petuah berisi nasihat kesabaran atau pun kesadaran, oleh sebagian pihak, kadang-kadang dijadikan sebagai kuda tunggangan untuk menutupi perilaku kemunafikan dirinya di tengah masyarakat.

Mereka yang terlibat dalam “persekutuan iblis” seperti itu, di mata penyair, tidak lebih dari sebuah penyesatan umat manusia, yang akan membuat banyak orang kesasar dalam pikiran dan perilaku kehidupannya.

Puisi A. M. DaEng Miyala tersebut adalah pancaran kegelisahan psikologis di sekitarnya. Penyair menjadi bimbang:  “Adakah dirinya selama ini tidak pernah bersabar dan sadar menerima realitas hidup?”

Kebimbangan yang dialami penyair boleh jadi kebimbangan atas konsepsi ideologi ke-Indonesia-an, atau kebimbangan di alam keterjajahan di negeri sendiri. Bahkan, boleh jadi, kebimbangan dalam perspektif kebebasan berkreasi di bawah “persekusi” Balai Pustaka pada saat itu?

Di tataran ini, pembaca luput menangkap pesan detailnya. Puisi yang berjudul “Bimbang” itu tergolong separuh prismatis. Tidak jelas subjek otoritasnya. Namun yang pasti, puisi tersebut menyentil nurani kita semua, bahwa tidak semua seruan kesabaran dan kesadaran (baca: nasihat dari mulut siapa saja) selalu memberikan arah yang benar bagi orang-orang yang dinasihati.

Sepertinya keadaan yang dirasakan oleh penyair di tahun 1932 itu, kita pun mengalaminya di era kemerdekaan ini. Yaitu era, di mana kebenaran melawan kebenaran:

 

“Semakin aku bersabar/

Semakin aku terlantar/

Semakin aku tersadar/

Semakin aku kesasar”

 

Demikian diksi “Ejekan Sosial” lewat puisi A. M. DaEng Miyala. ***

 

Mks, 1 Juli 2022-

*) Panji Pustaka,1932.


----

Baca juga:

Siapakah Sastrawan S. Daeng Muntu?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama