Menjajaki Terminologi Sastra di Era Literasi Digital

Di era “digital literscy” ini, terutama yang tersosialisasi melalui media sosial sepeti Facebook (FB), WhatsApp (WA), blog, dan lain-lain, terminologi sastra memang kembali bertumbuhan seperti jamur yang tak kenal musim. Ada banyak istilah sastra baru yang dapat kita temukan melalui media sosial yang kadang-kadang membuat kita pangling dan membuat kita menduga-duga apa makna sesungguhnya dari istilah-istilah tersebut.



----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 11 Agustus 2022

 

 

Menjajaki Terminologi Sastra di Era Literasi Digital

 

 

Oleh: Badaruddin Amir

(Sastrawan, Budayawan)

 

Jika kita menjajaki terminologi sastra sejak periode awal sastra (di) Indonesia, tentu kita akan menemukan sejumlah peristilahan yang sudah dibakukan, sudah melalui proses kodifikasi, elaborasi, sehingga sudah terimplementasi ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sebuah entri.

Contohnya “prosa lirik” dari sub-entri “Prosa” yang maknanya dalam KBBI disebut sebagai “prosa berirama”, tercatat sama maknanya dengan “prosa puitik.

Terminologi seperti ini akan lebih banyak lagi bisa ditemukan apabila kita membuka-buka kamus khusus Sastra (Kamus Istilah Sastra), seperti “Kamus Istilah Sastra” yang dieditori oleh Panuti Sudjiman (Gramedia, 1984), “Kamus Istilah Sastra” susunan Abdul Rozak Zaidin dkk. (Balai Pustaka , 2004).

Juga “Kamus Istilah Sastra Indonesia” susunan Ajip Rosidi (Pustaka Jaya, 2018), “Kamus Istilah sastra” susunan Dwi Susanto (Pustaka Pelajar, 2015). Demikian juga jika kita menelusuri glosarium dan ensiklopedia-ensiklopedia sastra.

Tetapi istilah sastra tidak hanya dapat dijajaki melalui kamus, glosarium, ensiklopedia yang hanya mencatat sebuah terminologi sampai pada era penerbitannya saja. Kita juga harus menjajaki sumber lain untuk menemukan banyak istilah sastra, baik yang sudah dianggap istilah resmi dan mendukung sebuat pengertian baku, maupun yang masih dalam proses kodifikasi, elaborasi, dan implementasi penerapan.

Salah satu sumber yang sangat familiar digunakan untuk menjajaki istilah-istilah sastra tersebut adalah liteasi digital. Meski disadari bahwa literasi digital adalah sebuah keniscayaan yang tidak hanya melibatkan kemampuan teknologi, informasi dan komunikasi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inspiratif, karena dunia digital adalah dunia eksploratif.

Informasi dunia digital (digital literacy) memang dinamis dan selalu ter-update. Beda dengan dunia cetak yang sifatnya statis dan untuk meng-update harus melalui penerbitan baru, publikasi baru.

Meski literacy digital kadang-kadang statusnya belum menjadi istilah resmi karena belum melalui proses kodifikasi, elaborasi, dan belum terimplementasi sebagai istilah resmi (baku) melalui lembaga resmi, pusat Pusat Bahasa misalnya.

Namun demikian, Pusat Bahasa sesungguhnya telah memberi peluang untuk melakukan “explore” sejauh “istilah asing” melalui rambu-rambu Pedoman Peristilahan. Tapi, apalah istilah resmi itu jika memang masyarakat pemakai bahasa sudah mengetahui makna sebuah istilah.

Kita pun masih mengingat betapa pekerjaan “membakukan” istilah, kadang hanya menimbulkan dampak kekaburan makna, seperti istilah “penyair” –meski tak baku-- karena sudah digunakan sejak dahulu, akan sia-sia saja untuk menggantinya dengan istilah lain seperti “pemuisi”, “penyajak”, dan sebagainya.

Paling-paling itu hanya akan memperkaya khasanah peristilahan, sebagai alternatif dalam pemilihan kata atau diksi saja.

Dulu, di era media cetak, kita diperkenalkan dengan istilah baru “Puisi Mbeling” yang digagas oleh sastrawan Remy Silado dkk. Istilah sastra ini sempat terkodifikasi dan akhirnya terimplementasi pada beberapa Kamus Istilah Sastra dalam sub-entri “puisi”, seperti juga istilah “Puisi Akrostik” yang hanya diperkenalkan oleh kalangan akademisi di Perguruan Tinggi, serta “Puisi Kongkter” yang diperkenalkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto-- juga sempat terimplementasi pada beberapa Kamus Istilah Sastra. Tetapi ketika istilah-istilah sastra itu tak ada lagi pengikutnya, istilah itu pun meredup.

Di era “digital literscy” ini, terutama yang tersosialisasi melalui media sosial sepeti Facebook (FB), WhatsApp (WA), blog, dan lain-lain, terminologi sastra memang kembali bertumbuhan seperti jamur yang tak kenal musim.

Ada banyak istilah sastra baru yang dapat kita temukan melalui media sosial yang kadang-kadang membuat kita pangling dan membuat kita menduga-duga apa makna sesungguhnya dari istilah-istilah tersebut.

Interpretasi menjadi penting untuk menjajaki kembali “konsep dasar” dari orang-orang yang mencetuskannya. Seperti dulu ketika awal diperkenalkan “Puisi Mbeling” pada dunia sastra kontemporer, istilah-istilah yang kita peroleh dari literasi digital, kini seperti berlomba merebut perhatian khalayak sastra.

Pada dunia facebook misalnya, kita mendapatkan istilah-istilah baru yang sebelumnya tidak pernah kita kenal seperti “Puisi Esai”, “Puisi Bonsai“ (Pusai), “Haiku Indonesia” (yang diadopsi dari Haiku Jepang tapi dengan konsep yang lain), “Puisi Mini Kata”, “Puisi Supra Kata”, “Puisi Idiom Baru.

Dan belakangan diperkenalkan pula “Puisi Fotopoema” oleh Yayasan Asih Sasami Indonesia Global Writers, dengan Rini Valentina sebagai sastrawan penggerak. Istilah-istilah sastra tersebut, yang kemudian akan menuju ke “kebakuan” (pembakuan istilah), niscaya memang dilatarbelakangi oleh sebuah konsep penciptaan.

Karena kapan hanya gagasan saja tanpa dilatarbelakangi oleh sebuah konsep penciptaan yang jelas, maka lambat laun istilah itu akan menguap pula dan akhirnya kabur tertelan istilah-istilah baru lagi.

Pembakuan istilah akhinya memang berdampak besar di sini. Dan itulah salah satu yang dikejar oleh para deklarator dari sebuah gerakan sastra, seperti “puisi esai” yang konon sudah termaktub dalam KBBI versi terbaru.

Kelahiran terminologi sastra tersebut --dalam konteks sastra kontemporer, tentunya sah-sah saja. Tetapi harus dipahami bahwa kekuatan dari konsep yang melatar-belakangi, serta kemampuan konsep tersebut menciptakan sebuah tradisi dalam bersastra yang akan menentukan apakah terminologi sastra tersebut dapat disebut sebagai sebuah “genre baru” dalam dunia sastra atau hanya sekadar bentuk eksprimen belaka.

Karena tercatat pada sebuah kamus saja belum tentu dapat disebut sebagai sebuah genre sastra. Kita masih menunggu sejarah, meski itu rasanya seperti menunggu kedatangan “Godot”!

Barru, 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama