Tumalompoa Akui Datu Museng dan Maipa Deapati Manusia Istimewa

MANUSIA ISTIMEWA. Dan ketika berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia terus didera masygul dan rasa bersalah itu, I Tuan Tumalompoa (penjajah Belanda yang berkuasa di Makassar) akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Datu Museng dan Maipa Deapati, adalah dua anak manusia yang amat istimewa, tak ada taranya di seantero jagat. Mereka telah dirajut oleh paduan jiwa yang satu dan hakiki, yang tak mungkin dipisah. Dan kisah cinta-kasih yang suci dan agung ini telah dilukis sejarah.   
 


-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 07 Agustus 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (44-habis):

 

 

Tumalompoa Akui Datu Museng dan Maipa Deapati Manusia Istimewa

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Diperhatikannya tajam-tajam keseluruhan bentuk tubuh Maipa yang benar-benar istimewa. Sorot matanya menjalar mulai dari wajahnya yang bundar menelur, ke pipi montok halus, terus ke hidung mancung indah.

Alis laksana bulan menyabit, bulumata panjang melentik. Bibir bak limau seulas. Dagu laksana lebah bergantung. Leher berjenjang, dibalut kain merah. Tubuh padat berisi dalam pakaian baju bodo merah jambu.

Ia benar-benar terpesona menyaksikan pemandangan yang indah, molek tiada terkira. Dia beruntung, karena mendapatkan Maipa yang sedang tidur, hingga sempat memandang sepuas-puas hati. Bukankah jika sudah berada dalam tangan Tuan Tumalompoa, ia tak mungkin lagi melihat bidadari menjelma ini walau sesaat?

Entah berapa lama sudah ia tegak mematung memandangi perempuan itu ketika ia tiba-tiba sadar akan tugas yang dibebankan kepadanya oleh penguasa daratan Makassar itu. Sebenarnya ia belum puas berdiri di depan wanita itu. Tapi ia takut pada Tumalompoa yang kini tentu telah gelisah menunggu kedatangannya membawa perempuan ini.

Dengan dada berdebar-debar, ia melangkah maju perlahan-lahan mendekati Maipa. Di sana, ia kembali termenung, merenungi wajah indah dan masyhur, yang menjadi buah bibir ke mana-mana itu. Beberapa saat lamanya ia kembali mematung kagum, tak tahu apa yang hendak dibuatnya.

Ah, semakin dekat semakin cantik juga, gumamnya di dalam hati. Karena tak tahan lagi hatinya, ia pun berbisik.

“Wahai puteri Maipa Deapati..., bangunlah, ratu. Sudah lama beta di sini, disuruh I Tuan Tumalompoa yang berkuasa di dunia, yang dapat menghitam-putihkan keadaan di Makassar. Usungan yang bertatahkan intan baiduri telah tersedia. Sesuai benar dengan kemolekan tuan puteri. Aduhai ratu, senyumlah, bicaralah pada beta biar hanya sepatah kata, agar kukecap juga suara lembut yang lewat dari bibir tipis limau seulas, kusaksikan juga gigi putih-gading yang rata laksana delima merekah.”

“Puteri juita, tengoklah kemari, biar hanya separuh pandang, setengah lirikan saja. Wahai tuan puteri Maipa, bayangan dewi kayangan, bukalah matamu dan lihatlah kemari, biar hanya sekejap, agar bahagia hati ini dan puas menghambakan diri pada tuan puteri. Pantas dan patut benar karaeng Datu Museng menyabung nyawa dan berani menghadang maut, mengamuk membabi buta, karena kecantikan rupa dan kemolekan tubuhmu ini. Ya, lelaki siapa yang tak bersedia mati untukmu, wahai ratu kecantikan.”

Ketika Maipa Deapati ternyata tidak juga bergerak, berlututlah Tuan Jurubahasa di depan kaki sang puteri. Sambil menengadah dalam sikap memuja, ia kemudian berkata lembut: “Tuan puteri, bangunlah. Sudah lama Tumalompoa, Sri paduka yang dipertuan di Makassar menanti. Hangus jantung dan perasaannya nanti, dibakar api cinta, karena terlalu lama menunggu tuan puteri...!”

Maipa Deapati ternyata tetap membisu, diam tiada mendengar bisikan I Tuan Jurubahasa. Sebenarnya, kendati ia berteriak sekeras guruh membahana, guntur menggeledeg, tak akan mampu membangunkan sang puteri kemayu. Karena tak ada telinga yang hendak mendengar, tak ada hati yang ingin dirayu lagi.

Akhirnya I Tuan Jurubahasa merasa jemu membujuk merayu, mengharap dikabulkan pintanya, diterima rayuannya. Ia laksana sedang menyembah berhala, dimana tak akan pernah ada jawaban.

Karena tak tahan hatinya lagi, didorong rasa takut dan cemas akan mendapat amarah dari Tumalompoa, diputuskannya dalam hati untuk membawa sang puteri dalam keadaan demikian. Diusung semasih dalam lena. Rasanya akan lebih mudah memboyongnya, daripada dalam keadaan terjaga.

Setelah putus kata hatinya, ia berdiri perlahan-lahan mendekati sang puteri. Dengan mengerahkan segala kekuatannya, diangkatnya tubuh Maipa Deapati di atas kedua lengannya yang kokoh untuk dibawa ke usungan yang sudah tersedia di bawah dekat tangga.

Tetapi sebagai manusia biasa, ia tak tahan untuk melihat pula leher jenjang Maipa yang dikabarkan sangat indah itu. Maka selagi tubuh sang puteri di dalam bopongannya, salah satu tangannya secara usil membuka setangan merah yang melilit tebal di leher itu.

Ketika kain terlepas, menyemburlah darah kental menerpa wajah I Tuan Jurubahasa. Wakil Tumalompoa ini amat terkejut laksana disambar petir. Wajahnya pucat-pasi dan seperti ada sesuatu yang tiba-tiba memukul jantungnya keras sekali. Tulang-tulangnya laksana lepas dari persendian, badannya lemas tak kuat menahan rasa ngeri dan takut yang muncul mendadak, dan ia pun jatuh berdebam ke lantai.

Ia jatuh bukan karena pingsan tak sadarkan diri, tetapi jatuh untuk dijembah maut. Jantungnya ternyata tak berdenyut lagi. Darahnya yang tadi bergejolak penuh gairah, kini berhenti beredar.  Dan tubuhnya yang menjadi mayat itu, tiarap di atas permadani, dihimpit tubuh Maipa Deapati.

 

* * *

 

Karena lama menunggu, para pengiring mulai kesal di anak tangga. Dan setelah yang dipertuan mereka tak muncul-muncul juga, mereka mulai curiga. Jangan-jangan I Tuan Jurubahasa mendapat kesulitan. Siapa tahu di atas rumah masih ada joa yang mengawal puteri Maipa Deapati, dan...

Ah, kepala pengawal tak tahan menerka-nerka lebih lama. Bersama lima orang prajurit, ia bergegas naik ke rumah dan langsung ke ruang tengah. Alangkah terkejutnya mereka, ketika menyaksikan tuannya tiarap di atas permadani, dihimpit tubuh sang puteri.

Buru-buru diperiksanya kedua orang yang tergeletak di lantai itu. Ternyata dua-duanya sudah meninggal. Tanpa sadar, kepala pengawal berteriak minta tolong, dan seluruh pengawal dan pemikul usungan menghambur ke atas rumah dengan keris terhunus. Pikir mereka, tentu musuh telah mencelakai yang dipertuan dan pengawal yang naik belakangan.

Mereka berdesak-desakan hendak dahulu mendahului. Ketika tiba di ruang tengah, mereka menyaksikan pemandangan yang mengerikan dan tak masuk akal. Segenap ruangan segera digeledah, tapi tak seorang pun musuh yang mereka jumpai.

Mereka kemudian kembali pada kedua mayat itu dan sama mematung memikirkan kejadian yang jauh dari sangka dan kira-kiranya. Tak seorang pun dari mereka yang mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

Akhirnya, salah seorang dari mereka memberi perintah supaya mayat I Tuan Jurubahasa diangkat ke bawah, dinaikkan ke usungan dan diantar kembali menghadap I Tuan Tumalompoa.

Demikianlah terjadi, usungan yang sedianya membawa puteri Maipa Deapati, kini dibawa kembali dengan mengangkut mayat Jurubahasa. Dan apa reaksi Tumalompoa ketika menyaksikan mayat Jurubahasa di atas usungan indah permai itu?

Matanya membelalak, mulutnya menganga. Ia sangat heran, tapi tak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun. Hatinya hancur total, semangatnya terpukul hebat. Tak disangkanya, korban yang demikian banyak jatuh, hanya berakhir sia-sia dan demikian menyedihkan.

Sejak kejadian itu, Tumalompoa terus diamuk gundah-gulana. Hatinya risau berkepanjangan dan selalu murung termenung. Ia rasanya tak rela mengerti tentang malapetaka itu. Mengapa kekuasaannya yang demikian besar dan selama ini senantiasa berhasil mencapai tujannya, kini menderita kegagalan secara amat hina.

Dan ketika berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia terus didera masygul dan rasa bersalah itu, ia akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Datu Museng dan Maipa Deapati, adalah dua anak manusia yang amat istimewa, tak ada taranya di seantero jagat. Mereka telah dirajut oleh paduan jiwa yang satu dan hakiki, yang tak mungkin dipisah. Dan kisah cinta-kasih yang suci dan agung ini telah dilukis sejarah.   

---000O000---  

 

Keterangan:

-         I Tuan Tumalompoa adalah penjajah Belandaa yang diberi kekuasaan penuh di Makassar

 

-----

Kisah sebelumnya:

Datu Museng Serahkan Ajimatnya kepada Karaeng Galesong 

Karaeng Nyikko dan Karaeng Mangemba Tewas, Karaeng Galesong Melarikan Diri

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama