Gelar pun Ditunggangi

Jakarta punya cerita mulai dari tukang rongsokan berhingga mempertuankan presiden apapun, sekalipun tanpa keyakinan pada Tuhan.

 

Tuan,

Presiden Jokowi

 


-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 02 September 2022

 

OPINI SASTRAWI

 

 

Gelar pun Ditunggangi

 

 

Oleh: Maman A Majid Binfas

(Akademisi, Sastrawan, Budayawan)

 

Posisi kiai atau ustadz adalah mandat sosial yang diberikan kepada seseorang yang dianggap layak dan bisa diteladani. Termasuk, pemberian predikat budayawan, sastrawan, agamawan, dan lainnya, yang menjadi tokoh ikon publik.

Keputusan dalam memberikan status tersebut, berada di tengah masyarakat dan dianggap mampu serta mumpuni menjadi seorang pemimpin di tengah masyarakat.

Setiap individu yang disebut kiai atau ustadz juga sastrawan dan yang lainya, berarti telah mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat atau publik untuk berperan secara terang-terangan dalam ruang kehidupan bersosial.

Peran sosial tersebut, otomatis membuat kiai atau budayawan menjadi sosok sentral di tengah masyarakat atau publik dan menjadi ikonnya. Tidak terkecuali, kepada siapapun menjadi pemimpin atau ilmuwan yang dianggap pantas digelarin demikian.

Sama halnya, budayawan dan sastrawan/penyair itu lahir dari pemberian publik juga oleh kalangan intelektual yang memahami kadar kemampuannya kepada yang dinilainya pantas fan mumpuni.

Bukan penilaian berpredikat tersebut di atas, itu hadir dari penilaian oleh diri sendiri, jujur saya secara pribadi saja, merasa canggung diberi oleh teman dengan gelar budayawan dll.

Bahkan budayawan berkelas di Eropa, telah menulis predikat mengenai diri saya, dan saya justru yang masih merasa asongan dalam menggoreskan sesuatu. Misalnya, budayawan Australia, di antaranya  Geoff Fox (2020) menulis tentang saya, yakni sbb.

“Reflecting upon American passion for freedom and the role America played in 1944 and 1945 in ending Japanese colonialism in Indonesia, Jakarta poet Maman A Majd Binfas sent me the above Indonesian words.”

Kemudian, setiap saya mengirim goresan narasi atau opini di media publik, baik bersifat online maupun offline, selalu tanpa menyebut predikat dan bertitelan. Namun, setelah diterbitkan justru muncul tambahan diberikan oleh tim redaksi media tersebut. Di antaranya, saat saya mengirim tulisan di Pedoman Karya (Agustus, 2022) tentang “Kapolri Momongin Peluru Cinta” dan saya tanpa mengikutsertakan predikat gelar dan bahkan foto, serta nama saya pun tidak dicantumkan. Tetapi, setelah diterbitlan muncul predikat nama dan foto tanpa saya duga, dan hal itu menjadi hak prerogatif media bersangkutan.

Kemudian, muncul penilaian, baik pujian atau mungkin juga boleh jadi cemoohan dari pembaca, dan hal yang wajar. Misalnya, ada komentar dari alumni pascasarjana tertanggal 15/8 06:34, Ahsin MPEP: Keren..... pak Maman Akademisi budayawan sastrawan...

Kemudian, saya komentar lebih kurang begini: “Itu yang menulisin predikat demikian tentang saya, adalah redaksi pedoman karya pak Ahsin, termasuk yang mendesain fotonya mereka ambil di medsos

Saya, hanya mengirim narasinya aje__ dan saya tetap berstatus penulis asongan”

Lalu, Ahsin MPEP: Top, Penulis proposional pak, maaf, bp selalu merendah__

Kemudian saya menjawab: Sebenarnya, saya sangat malu dgn predikat begitu Pak Ahsin, boleh lihat di buku-buku saya tulis dan jurnal pun, saya tidak pernah menulis titel dan predikat apapun, terkecuali orang atau pembaca yang menilai/memberinya .

..

Dan komentar tersebut, kemudian saya teruskan kepada Pemimpin Redaksi Pedoman Karya, Asnawin Aminuddin, dan beliau menjawab: “alhamdulillah... apresiasi itu.”

Saya balas coment: “waduh, apresiasi atau nyeleneh urusan penilaian pembacanya.”

Tetapi, saya kaget juga dengan predikat yang diberikan oleh jurnailis senior yang telah mamahami karakter dan penjiwaan akan wujud karya diidentikan dengan penulisnya. Dan itu langka juga tidak mudah kalau tidak didasari lintang pukang pengalaman dan kecerdasan tinggi yang terukur__ini mungkin tidak menggurui sang jurnalis senior yang bernama Asnawin Aminuddin... mesti diakui dan tanpa bisa diingkari oleh siapanpun mengenai hal ini. sekalipun antar kota, kita tetap bertautan saling menyapa tanpa titelan.

 

Titelan Juga Jakarta

 

Gelaran bijak atau buruk mesti diterima__bah goresan saya 22 Agustus 2016, walau berlalu tatapi masih relevan kejadian melanda ibu kota Jakarta.

 

Jakarta punya cerita tentang cinta dan benci

juga Istana

 

Jakarta punya cerita tentang romantis dan Monas

juga monalisa

 

Jakarta punya cerita tentang kasmaran dan pelacuran

juga selingkuhan

 

Jakarta punya cerita tentang banjir dan tergusur

juga terdampar

 

Jakarta punya cerita tentang busung lapar dan kolom jembatan, juga pengemis bayaran

 

Jakarta punya cerita tentang jalan tol dan tikus

juga trotoar politikus

 

Jakarta punya cerita tentang THR dan TKW juga WTS

 

Jakarta punya cerita tentang kematian dan tunjangan

juga kuburan

 

Jakarta punya cerita tentang kesahajaan dan kesengsaraan

juga kesetiaan

 

Jakarta punya cerita tentang  menjanjikan dan kemunafikan

juga menjijikkan

 

Jakarta punya cerita tentang seribu harapan dan sejuta kehampaan

juga berjuta kebohongan

 

Jakarta punya cerita tentang  kepolosan dan penipuan

juga kepura-puraan

 

Jakarta punya cerita tentang  keuletan dan kelejatan

juga kemacetan

 

Jakarta punya cerita tentang  lalulintas dan polisi

juga bringas

 

Jakarta punya cerita tentang  ugal ugalan dan tabrakan beruntun

juga dagelan penembakan

 

Jakarta punya cerita tentang  kegirangan dan kemalasan

juga kesengsaraan

 

Jakarta punya cerita tentang  metropolitan dan kesemrawutan

juga kecopetan

 

Jakarta punya cerita tentang  kebrengsekan dan kesantunan

juga kesetiakawanan

 

Jakarta punya cerita tentang  kesetanan dan kemanusiaan

juga kebinatangan

 

Jakarta punya cerita tentang  kedamaian dan kedzoliman

juga kebinasaan

 

Jakarta punya cerita tentang  kekuasaan dan kerakusan

juga perampasan

 

Jakarta punya cerita tentang  pemerintahan dan rekayasawan

juga pendewaan

 

Jakarta punya cerita tentang  keadilan dan kediktatoran

juga sogokan

 

Jakarta punya cerita tentang  hukuman dan kurungan

juga keuangan

 

Jakarta punya cerita tentang  kesejahteraan dan kesimpangsiuran

juga kekoruptifan

 

Jakarta punya cerita tentang  terorisme dan turisme

juga rekayasaisme__ (Mabinfas, 2016).

 

Jakarta punya cerita mulai dari tukang rongsokan berhingga mempertuankan presiden apapun, sekalipun tanpa keyakinan pada Tuhan.

 

Tuan,

Presiden Jokowi

 

Isu selingkuh bertikungan jalan tikus berduren tiga _ semoga terkuak hingga tak kabur dengan titah BBM yang ditaburi mesiu bom waktu__ dan kesan hukum mati hanyalah tembang angin surga bagi mereka dilanda kasmaran cinta membara _

Bahkan diksi 'tahi kucing' pun terasa coklatan_kebrutalan mental kasmaran buta berhati batu_

Isu amboi aduhai tomboy dalam lentingan layar lebar, negeri dirundung malang ditebar hampa akhir diklimalisasikan. Semoga kali ini terbukti berhingga tuan Presiden Jokowi__berakhir dengan husnul khotimah tersalami, dan tanpa disesali dikemudian hari

 

Tuan, Presiden Jokowi

ini bukan juga puisi dan bukan jua narasi, tetapi diksi tanda cinta. Namun, bukan juga kasmaran

minta tolong buktikan janji tuan.

Semoga terlalu heorik tema sandiwara tanpa akhir, dan kini moga-moga terakhiri, agar tuan dikenang pula. Minimal seperti secuil pita dari diksi pesan akhir Bung Karno:

 

“ ... kalau kamu pergi dan atau tinggalkan Istana Merdeka, tidak boleh membawa barang-barang milik negara, apa pun itu,” ( Guntur, 1967).

 

Tentu, pesan ini berbeda, namun, kesan tetap dicinta hingga kini dikenang jua dari kata berakar hatinurani Bung Karno

 

Moga moga dan semoga

Tuan bertuankan kata hatinurani pula, dan berakar cinta demi negeri Indonesia tercinta.

 

Tuan, selama ini telah menikmati mainan nyanyian mulai dari Solo hingga ibukota Jakarta beristana. Bahkan dianugerahi gelaran budaya adat dari berbagai pelosok negeri ini. Kami minta, tolong terangi keadilan bersama aparat Kapolri, juga yang lain, hingga tidak terkesan, keadilan negeri hancur di punggung tuan sedang ditunggangi.

 

Wollohu 'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama