Novel “Surat untuk Maria”, Karya Sastra atau Laporan Jurnalistik?

SURAT UNTUK MARIA. Dari kiri ke kanan, Presiden Fosait Muhammad Amir Jaya, Suradi Yasil (pembincang), Ishakim (pembincang), Ramli S Nawi (penulis novel Surat untuk Maria), Anil Hukma (pembincang), dan Anwar Nasyaruddin (moderator) foto bersama seusai Diskusi Buku Novel "Surat untuk Maria" yang diadakan oleh Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Ahad, 18 September 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)


 

-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 19 September 2022

 

 

Novel “Surat untuk Maria”, Karya Sastra atau Laporan Jurnalistik?

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra)

 

Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT), Ahad, 18 September 2022, membuka kembali diskusi sastra di Meja Solusi Kafebaca, Makassar. “Surat untuk Maria”, sebuah buku cerita yang ditulis oleh Ramli S Nawi, seorang wartawan yang juga berkiprah di dunia fiksi, menjadi objek perbincangan.

“Peserta sangat serius mengikuti diskusi yang dihadiri para seniman, penulis dan pencinta sastra ini,” tulis Muhammad Amir Jaya, biangkerok terwujudnya acara debat tersebut lewat WA Fosait yang dikelolanya.

Beberapa penulis di era 1970-80-an yang sempat hadir antara lain Dr M Dahlan Abubakar, sesepuh pers Sulsel yang selama ini menyicil usianya menulis biografi tokoh seperti Prof. Achmad Amiruddin (mantan Rektor Unhas dan mantan Gubernur Sulsel), serta Ramang (legendaris sepak bola dunia asal Makassar).

Hadir pula Usdar Nawawi. Ia, selain menulis banyak puisi dan artikel budaya di masa mudanya, lelaki kelahiran Tanete Bulukumba ini juga aktivis pers dan organisasi profesi di Makassar.

Prof Hamdar Arraiyyah, Peneliti Ahli milik Kementerian Agama RI dan penulis beberapa buku agama termasuk puisi, juga tidak ketinggalan di forum yang cukup seru itu.

Tokoh budaya dan sastrawan lainnya pun hadir, antara lain Dr Fadli Andi Natsif dari UIN Alauddin Makassar, Dr Ram Prapanca dari UNM, Dr Idwar Anwar, Andi Ruhban, Asnawin Aminuddin, Nurdin Dakka, Mama (boneka) Miko, dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya.

Yang tidak kalah pentingnya, forum debat ini dipandu oleh Cerpenis Anwar Nasyaruddin dengan pembincang Anil Hukma (penyair dan dosen UIM), Dr Suradi Yasil (novelis), dan Ishakim Arts (budayawan).

Forum sastra tersebut cukup seru. Pengarang sebagai narasumber utama tampaknya agak kewalahan menampung serbuan pertanyaan dari peserta.

M Dahlan Abubakar melancarkan pertanyaan tentang jenis cerita itu, apakah ia tergolong fiksi ataukah kisah nyata. Soalnya, menurut Dahlan, beberapa segmen cerita di dalamnya cenderung realistis dan jarang bermain di wilayah fiktif. Lagi pula, tokoh Maria di dalam novel tersebut terlalu samar.

Dalam kesempatan lain, Prof Hamdar mempertanyakan pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui novel tersebut. Mungkin soal judul “surat” sehingga pembaca ingin tahu misi apa di balik cerita itu. Pertanyaan ini harusnya terjawab oleh si pengarang sebagai refleksi tanggung jawab moral-literatif sebuah karya sastra.

Muncul dialektika dalam forum. Pemahaman tentang bentuk novel dan otobiografi penulis menjadi persoalan rumit.

Suradi Yasil dan Anil Hukma, selaku pembincang, mengatakan jika itu adalah novel. Meskipun, oleh Suradi, ia tidak menemukan adanya konflik dalam perjalanan cerita. Di aspek lain, Suradi kurang tertarik pada novel tersebut karena terlalu banyak kesalahan pengetikan.

Anil Hukma pun menilai bahwa cerita tersebut terlalu lemah dalam karakter tokoh dan konflik. Menurut Anil, seharusnya pengarang mempertegas kedua segmen itu.

“Tokoh dan konflik harus kuat dalam sebuah novel,” kata Anil, dan menambahkan, “Judulnya Surat untuk Maria, tapi isinya tidak mengeksplor isi suratnya.”

Ani juga menilai Ramli S Nawi sebagai penulis novel, belum bisa melepaskan diri dari kesehariannya sebagai seorang wartawan.

“Di dalam novel disebut ditulis, Saya membelai rambutnya, saya minta maaf”. Seorang novelis tidak perlu minta maaf,” demikian kritik Anil.

Pengarang novel “Surat untuk Maria”, Ramli S Nawi, mengakui bahwa karyanya itu adalah sebuah novel yang berangkat dari pengalaman pribadinya dan dibumbui ramuan imajinasi. Namun demikian Ishakim kurang merespon pengakuan itu dan menyebutnya ada ganjalan “dosa” pengarang dalam penulisan karyanya.

Tanggapan lain dari Usdar Nawawi. Seperti gayanya di tahun 70-an, ia memuji bahwa tidak banyak wartawan yang menulis novel, dan tidak banyak novel yang lahir dari penulis di Sulawesi Selatan dalam 10 tahun terakhir.

Usdar salut dengan kreativitas Ramli S Nawi yang meluangkan waktu menulis novel di sela kesibukannya sebagai jurnalis.

Berbeda dengan Asnawin Aminuddin. Lelaki wartawan yang juga ustadz berjanggut ini membandingkan kehadiran saya di forum itu. Dia katakan bahwa kalau Bung Mahrus Andis hadir dan tampil sebagai kritikus sastra, dirinya khawatir Ramli S Nawi nanti akan pingsan.

Saya menilai komentar ini snobis, karena itu, saya spontan menjawabnya bahwa hal itu belum pasti terjadi. Bisa juga sebaliknya, yaitu Ramli S Nawi merasa puas karena saya membahas karyanya dengan pendekatan kritik yang berfokus pada pertimbangan nilai kekuatan dan kelemahan suatu karya sastra.

Sementara itu, di luar forum, Bahar Merdu ikut pula memberikan tanggapan terhadap kerja kreatif teman sastrawan di Fosait. Menurut Bahar, bincang sastra seperti ini bisa menjadi media yang menarik.

“Fosait bisa pula membuat diskusi untuk karya yang belum jadi, sebelum naik cetak misalnya,” harap Bahar yang sering disapa Petta Puang itu.

Moderator Anwar Nasyaruddin, dalam catatannya, menyimpulkan, “Pertama, karya ini berada di persimpangan, antara karya sastra, laporan jurnalistik dan autobiografi. Kedua, karya ini merupakan 'Pengakuan dosa' masa lalu penulisnya dalam wilayah love story dan true story.”

“Ketiga, karya ini mempunyai nilai misteri pada isi surat untuk Maria. Sampai ending cerita tidak terungkap apa dan bagaimana isinya dan ini menjadi pertanyaan di hati pembacanya,” kunci Anwar yang di kesehariannya sering disapa Aji oleh kawan-kawannya.

 

Makassar, 18 September 2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama