Politik Identitas dan Strategi Pecah Belah Bambu

Politik identitas seyogyanya dijadikan ruang alternatif bagi terciptanya keseimbangan menuju menuju proses demokratisasi sebuah negara. Karena jika tidak bisa dikelola dengan tepat dan bijak, akan ikut melemahkan stabilitas negara.

- Achmad Ramli Karim -

(Pengamat Politik) 




-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 19 Oktober 2022

 

OPINI

 

 

Politik Identitas dan Strategi Pecah Belah Bambu

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim 

(Pengamat Politik)


Secara global Identitas Nasional adalah kepribadian nasional sebagai jati diri suatu bangsa yang membedakan dengan bangsa lainnya. Adapun identitas nasional dalam konteks bangsa adalah “kemajemukan keyakinan, adat istiadat, perilaku serta kepribadian masyarakat sebagai karakter bangsa (Character Builbing), yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain.”

Dengan demikian nasionalisme sebagai identitas Indonesia adalah kepribadian atau karakter bangsa (character building), yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai pembeda dengan bangsa lain.

Nasionalisme dapat diartikan secara sempit dan arti secara luas. Nasionalisme dalam arti sempit adalah perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang sangat tinggi dan berlebihan, sehingga memandang rendah terhadap bangsa lain.

Sedangkan Nasionalisme dalam arti luas adalah perasaan cinta yang tinggi atau bangga terhadap Tanah Air, dan tidak memandang rendah bangsa lain. Nasionalisme berkaitan dengan sikap atau perilaku warga negara dalam menjaga, mempertahankan, dan menjunjung tinggi ciri khas dan karakter serta nilai-nilai luhur (peradaban) bangsanya.

Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan sebagai sikap perilaku warga negara dalam menjaga, mempertahankan, dan menjunjung tinggi karakter dan peradaban bangsanya (Character Building).

Membangun karakter building adalah suatu proses atau upaya menanamkan dan membentuk tabiat, watak, dan akhlak mulia (budi pekerti) individu dan masyarakat, sehingga mampu menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik dan benar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di dalam Negara Indonesia sendiri, politik identitas kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok nasionalis dan kelompok agamis. Saya tidak akan membahas mengapa bisa terbagi dua kelompok seperti tersebut di atas, tetapi saya akan membahas bagaimana dampak dari politik identitas tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman suku budaya, agama, ras, dan antar golongan (SARA), yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainnya. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, setiap masyarakat pulau memiliki bahasa komunikasi, karakter dan budaya agama yang berbeda dengan suku lainnya. Namun secara global, identitas masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, maka karakter dan peradaban sebagai identitas masyarakat Indonesia dominan bersumber dari nilai-nilai dan peradaban islam itu sendiri.

Maka pola perilaku dan peradaban masyarakat yang tertanam selama berabad-abad, yang bersumber dari nilai-nilai Islam, membentuk karakter dan peradaban bangsa (Character Building). Oleh karena itu arti dan makna nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari karakter dan nilai-nilai luhur budaya Islami.

Hal ini menunjukkan bahwa “Identitas Islami merupakan sumber dan pondasi dalam pembentukan carakter building” bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, politik identitas merupakan ciri khas dan character building dalam nasionalisme, dan bukanlah pemecah belah persatuan dan kesatuan.

Dan sebagai solusi dalam mempersatukan keaneka-ragaman tersebut, maka lahirlah semboyang “Bhinneka Tungga Ika” sebagai tagline pemersatu.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya politik identitas bukanlah aib yang harus dihindari, tetapi memanfaatkan politik identitas itu sebagai senjata memecah belah masyarakat, adalah bentuk anti nasionalis dan sikap intoleran karena mengingkari karakter bangsanya.

Kondisi perpolitikan dalam sistem pemerintahan Indonesia terkadang berada dalam kondisi tidak stabil, terutama pasca-kemerdekaan RI, dimana Indonesia berganti-ganti sistem pemerintahan mulai dari sistem kekuasaan seumur hidup dan sistem parlementer di masa Orde Lama, Demokrasi Terpimpin sampai demokrasi Pancasila di zaman Orde Baru.

Di masa Soeharto berkuasa, semua tersentralisasi pada pemerintah pusat, dan di masa sekarang mulai di era reformasi, demokrasi kita sudah dianggap cukup matang dan jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Walaupun kondisi demokrasi di negara kita bergerak maju semakin membaik, namun ada hal yang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah politik di Indonesia, yaitu “Politik adu domba dan strategi pecah belah bambu” yang menjegal tegaknya keadilan dan kebenaran, karena di satu sisi ada yang diangkat dan di sisi lainnya diinjak dimarginalkan.

Politik adu domba dan strategi pecah belah bambu terkadang masih digunakan oleh pemegang kekuasaan untuk kepentingan politik kelompok, seperti penggunaan istilah Politik Identitas pada saat pelaksanaan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Akibatnya, masyarakat terpecah belah menjadi dua kubu yang berlawanan, yaitu petahana versus oposisi atau cebong versus kampret. Walaupun pada akhirnya kelompok yang diangkat tersingkir dan yang di bawah berhasil naik, namun bukan berati persoalan politik sudah tuntas.

Busur panah yang dilepas lima tahun silam untuk melemahkan kekuatan calon tertentu, sekarang kembali dilepas busur politik identitas tersebut yang juga dapat diduga sama untuk menjegal calon tertentu.

Politik Adu domba sangat terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda yang dikenal dengan istilah “devide et impera”, adalah sebuah strategi yang digunakan oleh VOC, dimana tujuannya adalah untuk melemahkan kekuasaan-kekuasaan kerajaan di Indonesia agar mendapatkan keuntungan yang besar demi kepentingan monopoli mereka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah sebuah cara berpolitik yang didasarkan pada kesamaan identitas yang bersumber dari character building, seperti “Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA)”.

Politik identitas seyogyanya dijadikan ruang alternatif bagi terciptanya keseimbangan menuju menuju proses demokratisasi sebuah negara. Karena jika tidak bisa dikelola dengan tepat dan bijak, akan ikut melemahkan stabilitas negara.

Mempertentangkan antara kedua identitas tersebut, dapat mengancam stabilitas nasional apabila legislatif (DPR) bersama pemerintah tidak memiliki political will dalam menengahi isu tersebut. Karena bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan, melainkan juga kepentingan masyarakat luas. Politik identitas sebagai politik perbedaan merupakan tantangan tersendiri bagi tercapainya sistem demokratisasi yang mapan.

Sejarah telah membuktikan bahwa di masa penjajahan VOC dulu, kita mampu bersatu sebab kita memiliki satu identitas, yakni rasa nasionalisme Indonesia. Kita mampu melawan penjajah karena dilandasi semangat persatuan dan rasa nasionalisme tersebut. Namun jika salah mengelola, maka politik identitas akan membuat masyarakat terpecah belah seperti saat Pilkada DKI lima tahun lalu.

Dan sampai saat ini pun, masyarakat tetap terkotak-kotak dan terbagi tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya, namun juga dalam kehidupan sosial budaya, antara cebong dan kampret. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan merontokkan stabilitas nasional.

 

------

Penulis, Drs Achmad Ramli SH MH, adalah Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengawas Sekolah dan Madrasah Indonesia (APSI) Provinsi Sulsel, Alumni 92 Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama