Dinamika Plot Novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” Terasa Datar

TERASA DATAR. Mahrus Andis (kanan) dan Yudhistira Sukatanya tampil sebagai pembicara pada Peluncuran dan Bedah Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)”, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
 




------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 26 November 2022

 

Catatan dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (3):

 

 

Dinamika Plot Novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” Terasa Datar

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Salah satu bagian yang paling penting dalam sebuah cerita adalah konflik. Konflik bisa disebut juga percekcokan, pertentangan atau perselisihan. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik atau batin.

Peristiwa fisik biasanya melibatkan aktivitas fisik seperti, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang berasal dari luar dirinya, sedangkan peristiwa batin, yakni sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri atau peristiwa yang terjadi dalam batin, pemikiran dan hati tokoh dalam suatu cerita.

Kedua bentuk peristiwa itu saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu sama lain.

Konflik adalah kejadian yang tergolong penting dan berfungsi menggerakkan plot (alur cerita), sehingga konflik merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan yang menyita perhatian pembaca sewaktu membaca suatu karya naratif adalah (terutama) peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang semakin memuncak, klimaks dan penyelesaiannya.

Karena itulah, kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan pembaca.

Konflik memegang peranan penting dalam suatu jalannya cerita, tanpa konflik jalan cerita akan terasa hambar. Konflik terbagi dua, konflik fisik dan konflik batin. Konflik fisik melibatkan tokoh dengan lingkungannya, sedangkan konflik batin melibatkan tokoh dengan dirinya sendiri.

Unsur konflik inilah yang terasa kurang dalam novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (jilid 2)” karya Rahman Rumaday, sehingga kritikus sastra Mahrus Andis mengatakan; “….dinamika plot terasa datar.”

Mahrus mengatakan, novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)” adalah cerita kehidupan rumah tangga yang tergolong otobiografis. Rahman Rumaday selaku pengarang menukilkan kisah dirinya dengan teknik penulisan sastra.

“Unsur-unsur fisik dan batin sebuah karya sastra, seperti majas atau figurative language, kata konkret, tema sentral, nada dan amanah, dapat ditemukan di dalam cerita ini. Karakter pelaku cukup tergarap. Namun demikian, dinamika plot terasa agak datar. Pergerakan tokoh, suspens, klimaks dan antiklimaks belum terbina secara organis,” kata Mahrus.

Penilaian itu ia sampaikan saat tampil sebagai salah satu pembahas dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 2)” yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022.

Bedah buku menampilkan tiga pembahas, yakni Mahrus Andis (Kritikus Sastra), Yudhistira Sukatanya (Seniman, Sutradara Teater), Lily Rachim (Pegiat Keadilan Gender), dan dipandu oleh Arwan Rusli yang lebih dikenal dengan nama Arwan Awing (Pemred Bugispos.com) selaku moderator.

Hadir dalam peluncuran dan diskusi buku antara lain S Fatma Assegaf (Aktris, Produser & Sutradara Film), Zulkarnain Hamson (akademisi, penulis), Fadly Andi Natsif (akademisi, penulis), Ishakim (seniman), Idwar Anwar (sastrawan, penulis), Anwar Nasyaruddin (cerpenis), sejumlah wartawan dan undangan lainnya.

Mahrus Andis mengatakan, novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” adalah seulas kisah rumah tangga yang menggugah. Bolehlah disebut otobiografi bergaya sastra yang dituturkan seorang suami atas kecintaan terhadap istrinya.

“Rahman Rumaday menuliskannya dengan bahasa yang rapi, sehingga buku jilid kedua ini menawarkan keindahan yang lentur dan menyentuh batin. Walaupun dirasakan adanya ganjalan dari beberapa aspek, terutama dinamika plot, yang masih lemah dan belum terbangun secara cerdas,” kritik Mahrus.

Terlepas dari semua itu, dimensi moral cerita ini sangat jelas. Ada kesan pembangkangan tradisi leluhur yang dinilai tidak Islami. Dan di tataran ini daya tariknya: ada dialektika yang mengundang perenungan.

Buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan (Jilid 1) yang sudah dibincangkan sebelumnya, memuat gagasan penulis yang membuat pembaca harus berhadapan dengan nilai syariat agama (Islam) dan tradisi budaya masyarakat (Bugis-Makassar).

“Pada jilid dua ini pun cukup masif memfreming eksistensi sebuah rumah tangga yang bersyariat. Hal ini dapat dilihat pada struktur bagian-bagian episudnya,” kata Mahrus.

 

Malam Pertama Pernikahan

 

Bagian 1, penulis memaparkan suasana malam pertama pernikahannya. Di masyarakat Bugis-Makassar, malam pertama pernikahan merupakan suasana yang dianggap sakral. Karena itu, sesudah selesai mempelai bersanding di pelaminan, keduanya harus dipisahkan dan dianggap tabu berduaan secara langsung di dalam kamar.

Menurut filosofi leluhur, malam pertama sesudah mempelai duduk pengantin, adalah momentum pesta pora para iblis di dalam kerajaan nafsu. Karena itu, sebelum kedua mempelai memasuki kamar pengantin pada malam pertama, maka gejolak hawa nafsu (birahi) yang ditunggangi oleh iblis harus diredakan melalui satu ritual khusus yang disebut “mattamaq ri biliq.”

“Prosesi ritual ini biasanya diisi dengan doa-doa keluarga ketika si istri akan bermalam selama tiga malam (maqbenni tellumpenni) di rumah suaminya,” kata Mahrus.

Di bagian ke-1 buku “Maharku; Pedang dan Kain Kafan”, penulis membangkang terhadap tradisi leluhur itu. Namun, perilaku pembangkangannya tetap bersifat rasional, yakni kedua mempelai langsung memasuki kamar pengantin yang diisi dengan dzikir, shalat tahajud dan bahkan penandatanganan komitmen perjanjian keluarga.

Bagian ke-1 cerita ini menyodorkan sebuah gagasan yang bisa disebut sebagai konsep diri penulisnya. Bang Maman menulis: “Jodoh terindah adalah jodoh yang didapatkan dari sejauh mana orang itu memperbaiki keimanan dalam dirinya.”

“Dengan konsep diri ini, penulis seakan ingin menjelaskan sebuah kontradiksi pemahaman aspek syariat dan aspek budaya tentang perjodohan,” ulas Mahrus.

Secara kultural (pemikiran budaya), jodoh tidak perlu dicari karena sudah ditetapkan takdirnya oleh Tuhan (dalam istilah Bugis disebut “totoq mannessae, selain kelahiran dan kematian).

Namun dari aspek keagamaan, jodoh itu harus dicari berdasarkan kriteria yang dianjurkan oleh Nabi, yakni: kaya (li maaliha), cantik (li jamaaliha), keturunan baik (linasaabiha) dan beragama (lidiiniha).

“Apabila keempat kriteria ini harus dipilih salah satunya, maka pilihlah agamanya. Dalam cerita ini, rupanya Bang Maman selaku penulis, telah ditakdirkan memilih seorang istri yang mungkin sempurna memenuhi keempat kriteria tersebut,” kata Mahrus. (bersambung)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama