“Mencari Rumah Sembunyi” Bukan Sekadar Kumpulan Puisi

PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU. Penyair Maysir Yulanwar (berdiri) dan Anil Hukma (duduk paling kanan) tampil sebagai pemantik, sedangkan Rosita Desriani sebagai moderator pada Peluncuran dan Diskusi Buku "Mencari Rumah Sembunyi; Kumpulan Puisi dan Musikalisasi", di Roemah Masagena, Jl Pengayoman, Makassar, Sabtu, 12 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 

 


----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 13 November 2022

 

 

“Mencari Rumah Sembunyi” Bukan Sekadar Kumpulan Puisi

 

 

Oleh: Maysir Yulanwar

(Sastrawan)

 

-----

Maysir Yulanwar (kanan) foto bersama Agus K Saputra di Roemah Masagena, Jl Pengayoman, Makassar, Sabtu, 12 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin)

-----

 

“Menyembunyikan bunyi(?)” Isolasi yang dialami Agus K Saputra akibat Covid, menjadi ruang sembunyi. Jika bunyi dimaksudkan sebagai perih; nyeri dan segala remuk demam ke sumsung tulang yang dialaminya menjadi puisi. Ngeri yang indah. Sakitnya puitis.

Saya beruntung diminta sebagai pembicara buku puisi ini (pada Peluncuran dan Diskusi Buku “Mencari Rumah Sembunyi; Kumpulan Puisi dan Musikalisasi”, di Roemah Masagena, Jl Pengayoman, Makassar, Sabtu, 12 November 2022.

(Maysir Yulanwar tampil sebagai pemantik bersama Anil Hukma, musikalisasi oleh Soni Hendrawan, moderator Rosita Desriani, red).

Beruntung yang merugi. Saat saya mengalami hal yang sama; dilunglaikan Corona, tak satupun puisi yang lahir. Bahkan tak ada tulisan tersimpan, sekadar tanggal penanda, kapan saya terserang Covid? Berapa lama? Bagaimana saya menghabiskan detik isolasi? Kapan sembuhnya? Kemesraan seperti apa yang kualami bersama-Nya? TIDAK ADA. Sungguh merugi saya.

Kang Agus menulis semuanya.

“Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi,” jelasku.

Buku ini kumpulan data yang ditulis sastrawi. Banyak istilah kedokteran di dalamnya. Ada penanggalan bahkan waktu peristiwa. Ada clue yang ditebar. Secara semiotik banyak tanda yang menarik dicermati. Asiknya, tanda-tanda itu saling berkolerasi antara satu puisi dengan puisi lainnya.

Ada kerjasama yang baik antara penyair dengan desain bukunya. Apik. Rapi. Permainan grid-nya keren.

Pun kalau ada catatan, puisi-puisi Kang Agus terlampau disiplin. Maka ‘kuracuni” dia dengan permintaan: “Untuk buku Kang Agus selanjutnya, biarkan saya menjadi pembicara lagi. Dan jika saat itu terjadi, puisi-puisi Kang Agus sudah tidak terlalu disiplin lagi. Lebih longgar lebih bebas.”

Puisi bukan soal kepatuhan pada konvensi. Puisi adalah soal inovasi. Dalam mencipta puisi bukan lagi anjuran untuk “jangan takut salah”. Tapi sudah pada “Lakukan kesalahan!”

Lakukan kesalahan dengan kesadaran. Dalam konteks puisi, kesalahan yang dilakukan dengan sadar adalah kreativitas. Lakukan pelanggaran! Tinggalkan kelaziman. Terlalu banyak keindahan yang perlu disingkap. Puisi soal rasa. Menyingkapnya, puisi tak butuh jera.

Seorang Chairil Anwar melakukan ‘kesalahan’ tanpa perlu merasa bersalah. Dan kritikus sastra kawakan kita, HB Yasin dibuatnya kagum saat itu.

Ambil contoh: Pada puisi DOA, Chairil menulis “Caya-mu panas suci.”

Pada puisi TAK SEPADAN: “Kau kawin, beranak dan berbahgia.” 

Pada puisi SENJA DI PELABUHAN KECIL: “Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.”

Apakah Yasin “membantai” Chairil? Yasin justru memujinya. Sapardi bahkan mengakui bahwa Chairil-lah yang berhasil mendobrak Pujangga Baru. Licentia Poetica berpesta.

Puisi adalah karya kreatif imajinatif. Jangan mengkritik puisi dengan standar kebenaran dan konsistensi ilmiah. Jangan juga berusaha menolak efek yang ditimbulkannya. Sekali lagi, puisi bukan soal konvensi tapi inovasi. Kematian puisi justru saat masih berkutat di area konvensi.

Puisi adalah bahasa yang bersifat semiotik, sementara bahasa sehari-hari bersifat mimetik. Karena puisi lebih bersifat semiotik, puisi mempersila penyairnya melakukan upaya “Pergeseran Makna” (Displecing), “Perusakan makna” (Distorsing), dan “Penciptaan Makna” (Creating). 

Puisi adalah karya sastra yang unik. Saking uniknya, puisi nyaris tak lagi punya definisi.

 

Biarkan Misteri

 

Di akhir acara, saya meminta pada Kang Agus untuk jangan menjelaskan pada saya apa makna sebenarnya puisi berjudul MARET itu. Biarkan dengan segala misterinya. Biarkan saya merasainya sebagai ungkapan kepasrahan seorang Agus yang “berjangan-jangan”  tulisan Maret yang akan terpahat di nisannya. Maut mengetuk. Rasa sakit yang dialaminya didih.

Dengan puitis penyair Anil Hukma menyampaikan rasa dan berkata “Sakit adalah setengah cahaya”. Di tengah sakitnya, Kang Agus berkasih mesra dengan Tuhan-nya. Tak heran jika beberapa sahabat yang hadir menilai puisi-puisi Kang Agus religius.

Kang Soni justru lain. Pemusik yang pelukis ini menyahut dari seberang via zoom: “Jangan sakit lagi. Gak perlu sakit untuk menghasilkan karya. Benar, jangan takut salah. Tugas kita adalah berkarya; menjadi berguna dengan cara menghibur orang.”

Sebanyak 300 puisi karya Kang Agus sudah dimusikalisasi oleh Kang Soni Hendrawan. Semua karya itu bisa dinikmati di kanal YouTube miliknya.

Saya mengira puncak sakit Kang Agus justru ada di puisi berjudul “Menemani Setitik Doa”. Mengira dan tidak perlu kuminta kejelasan pasti dari penyairnya.

Saya tidak butuh pengetahuan benar atau salah. Biarkan menjadi semesta penafsiran saya yang (tentu saja) tidak perlu sama dengan penafsiran orang lain. Dan di situ letak keindahan puisi-puisi itu. Biarkan dia bersinggasana di kemisteriusannya.

Apapun itu, buku Kang Agus sangat saya apresiasi. Menjadi inspirasi bagi saya untuk melakukan inovasi karya yang terhubung digital. Era yang menawarkan banyak kemudahan dan kelincahan karya.

Di buku “Mencari Rumah Sembunyi”, membaca puisi berteman segelas kopi, kita bisa mendengar lantunan musikalisasi puisi. Tinggal menyorot gadget ke barcode, langsung terhubung ke youtube. Jenis buku seperti ini yang dibutuhkan kekinian jaman.

Roemah Masagena menjadi saksi atas perlehatan bersejarah itu. Bersejarah? Buku adalah tugu. Dan setiap peristiwa peluncuran buku adalah sejarah.

“Rasa adalah sejarah. Sebaik-baik tempat penyimpanannya adalah puisi. Bukan begitu, Kang Agus?”

 

Makassar, 12 November 2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama