Munculnya Neologisme Selama Pandemi Covid-19, Bukti Bahwa Bahasa Itu Dinamis dan Hidup

“Munculnya bentuk neologisme selama pandemi Covid-19, sekali lagi memberikan bukti kuat bahwa bahasa itu dinamis, hidup dan akan terus tumbuh ke berbagai arah seperti gurita.”

- Prof. Andi Sukri Syamsuri -

(Guru Besar Linguistik UIN Alauddin Makassar) 




----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 10 November 2022

 

 

Andi Sukri Syamsuri Jadi Profesor Setelah 16 Tahun Sandang Doktor (8-habis):

 

 

Munculnya Neologisme Selama Pandemi Covid-19, Bukti Bahwa Bahasa Itu Dinamis dan Hidup

 

 

Penggunaan Singkatan

 

Singkatan merupakan pemendekan yang biasa berupa huruf atau gabungan huruf. Bentuk neologisme dari aspek penggunaan singkatan ditemukan cukup bervariasi selama pada Covid-19 khususnya di Indonesia. Sementara itu, di Malaysia, dari data penelitian yang dianalisis sangat terbatas.

Penggunaan singkatan baru yang muncul pada pandemi Covid-19 di Malaysia ditemukan hanya ada tiga kategori, sedangkan di Indonesia ditemukan ada delapan kategori singkatan baru yang muncul pada masa pandemi Covid-19.

“Singkatan yang muncul di Indonesia berasal dari istilah-istilah medis, imbauan, atau kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, serta istilah prokem yang mengacu pada kondisi sosial yang terjadi pada pandemi Covid-19,” kata Andi Sukri Syamsuri dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Linguistik (Bahasa) Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Senin, 31 Oktober 2022.

Andi Sukri Syamsuri membacakan membacakan pidato pengukuhan dengan judul “Neologisme Linguistik di Masa Pandemi Covid-19: Studi Kasus di Indonesia dan Malaysia.”

“Tidak berbeda jauh dengan Malaysia. Singkatan baru yang muncul di Malaysia juga berasal dari kebijakan pemerintah dan prokem yang digunakan di berbagai media sosial terkait penanganan Covid-19,” ungkap Andi Sukri.

Temuan ini menarik jika dibandingkan dengan bentuk penggunaan neologisme dari aspek kata yang memperlihatkan bahwa di Malaysia lebih banyak daripada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk penggunaan neologisme dari aspek singkatan tampak lebih disukai atau dipilih di Indonesia.

Sementara itu, penggunaan kata lebih dipilih di Malaysia dalam menjelaskan fenomena krisis kesehatan (Covid-19). Bentuk neologisme dari aspek singkatan yang dominan digunakan di Indonesia, dan aspek kata yang dominan digunakan di Malaysia karena kedua bentuk neologisme itu mudah dipahami dan berterima di masyarakat.

Singkatan dan kata lebih banyak muncul karena lebih mudah diproses dalam memori kerja daripada klausa dan kalimat (Alwi et al., 2003; Rudner, 2018).

“Memori kerja menyediakan platform untuk pemrosesan bahasa dengan menyimpan informasi dalam pikiran dan mengintegrasikannya dengan informasi baru selama pemrosesan wacana, yaitu pembentukan representasi linguistik baru,” kata Andi Sukri.

Singkatan yang muncul selama pandemi Covid-19 di Indonesia dan Malaysia umumnya berkaitan dengan medis dan kebijakan pemerintah. Di Indonesia, misalnya, menggunakan istilah PSBB yang merupakan singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.

Dalam konteks ini, pembatasan itu meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

“Singkatan WFH atau Work From Home merupakan sistem atau skema yang dipilih pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19. Dengan skema ini, diharapkan akan menjaga jarak sosial, yakni mengurangi mobilitas orang, menjaga jarak fisik, dan mengurangi kerumunan orang,” papar Andi Sukri.

Dia mengatakan, penggunaan singkatan Working From Home (WFH) sebenarnya bukan hal baru. Dalam dunia kerja dan perencanaan kota, WFH bahkan telah dikenal sejak tahun 1970-an sebagai salah satu upaya mengatasi kemacetan lalu lintas dari perjalanan rumah-kantor pulang-pergi setiap hari.

Skema ini biasanya diberlakukan dalam kondisi normal dan bukan karena adanya pandemi, seperti sekarang ini.

“Meskipun begitu, WFH pada konteks ini dapat dikategorisasi sebagai bentuk neologisme karena neologisme mencakup baik bentuk leksikal yang ada dengan makna baru, serta bentuk-bentuk baru dan makna baru,” kata Andi Sukri

 

Penggunaan Akronim

 

Akronim merupakan bentuk kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Dengan kata lain, akronim adalah kata-kata baru yang dibentuk dari huruf awal suatu himpunan kata lain yang mana terbentuk dari pengucapan setiap huruf yang terpisah.

“Penelitian kami menemukan bahwa bentuk neologisme dari aspek penggunaan akronim hanya ditemukan di Indonesia. Penggunaan akronim tidak ditemukan di Malaysia pada pandemi Covid-19,” kata Andi Sukri.

Penggunaan akronim yang ditemukan di Indonesia berupa istilah medis dan istilah prokem yang sering kali digunakan di media sosial. Berikut ini disajikan gambar bentuk neologisme dari aspek penggunaan akronim di Indonesia dan Malaysia pada pandemi Covid-19.

Dari studi yang dilakukan ditemukan bahwa terdapat bentuk neologisme dari aspek akronim di Indonesia. Sementara itu, di Malaysia tidak ditemukan bentuk penggunaan neologisme dari aspek akronim.

“Bentuk akronim yang ditemukan di Indonesia ialah prokes, alkes, komuk, dan bocil. Prokes adalah akronim dari protokol kesehatan, alkes adalah alat kesehatan, komuk adalan kondisi muka, dan bocil adalah akronim dari bocah kecil,” jelas Andi Sukri.

Bocil adalah istilah slang yang sering digunakan untuk menyebut orang yang ikat pinggangnya kecil, pendek, dan perilakunya seperti anak kecil.

(Slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti, red).

“Prokes, alkes, komuk dan bocil digunakan selama pandemi Covid-19 di Indonesia karena akan menghemat ruang dan lebih menarik daripada menggunakan kumpulan kata yang lengkap,” kata Andi Sukri.

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan kedua akronim itu dalam pencakapan sehari-hari selama pandemi Covid-19.

Bentuk neologisme dari aspek akronim di Indonesia menunjukkan bahwa pengguna bahasa di Indonesia mengkreasikan atau menciptakan istilah baru (atau akronim) agar lebih mudah dan lebih cepat untuk diucapkan dan dipahami ketika merujuk pada situasi pandemi Covid-19.

Kata prokes adalah akronim yang digunakan secara luas di Indonesia selama pandemi Covid-19. Dengan kata lain, kata prokes diterima sebagai norma bahasa baru selama pandemi Covid-19 di Indonesia.

Keberterimaan itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya brevity (keringkasan), handleability (potensi penurunan), dan productivity (produktivitas). (Pavel & Diane, 2001, p. 21)

“Prokes sebagai akronim lebih ringkas daripada menggunakan protokol kesehatan sehingga lebih mudah diingat dan disimpan di dalam memori,” kata Andi Sukri.

Berbeda prokes, bocil sebagai bentuk slang yang sering digunakan selama pandemi Covid-19 merupakan bentuk penyimpangan leksikal. Penyimpangan leksikal ini terjadi ketika seorang membuat kata yang belum pernah ada sebelumnya.

Ini disebut neologisme atau penemuan kata-kata baru. Ini adalah salah satu cara yang lebih jelas di mana seorang menggunakan bahasa (atau kata-kata) tertentu yang tidak secara normal (Leech, 2014).

“Penyimpangan leksikal cenderung menghasilkan neologisme yang mengacu pada penciptaan kata-kata baru dalam hal aturan-aturan (pembentukan kata) yang ada diterapkan dengan generalisasi,” kata Andi Sukri.

 

Hidup dan Tumbuh Seperti Gurita

 

Dalam kesimpulannya, Andi Sukri mengatakan, terdapat enam kategori bentuk neologisme yang muncul di Indonesia dan Malaysia, yaitu bentuk penggunaan kata, frasa, klausa, kalimat, singkatan, dan akronim.

Dari enam kategori tersebut, penggunaan kata tidak ditemukan di Indonesia, sementara itu, di Malaysia ditemukan ada delapan kategori penggunaan kata. Begitu juga dengan penggunaan klausa yang hanya ada satu di Indonesia, sedangkan di Malaysia ditemukan ada empat kategori klausa.

“Pada sisi lainnya, penggunaan frasa di Indonesia terlihat lebih banyak digunakan daripada di Malaysia. Begitu juga dengan penggunaan singkatan lebih dominan di Indonesia daripada Malaysia, bahkan penggunaan akronimi tidak ditemukan di Malaysia,” tutur Andi Sukri.

Hal ini memperlihatkan bahwa baik di Indonesia maupun di Malaysia memunculkan bentuk neologisme yang berbeda dan menandai adanya bentuk kreativitas berbahasa dalam menjelaskan fenomena Covid-19.  

Bentuk neologisme yang tercipta di Indonesia dan Malaysia merupakan bentuk penggunaan singkatan dan kata.

Di Indonesia, lebih dominan memanfaatkan bentuk singkatan untuk memberikan edukasi dan imbauan kebijakan terkait Covid-19, sedangkan di Malaysia lebih dominan memanfaatkan penggunaan kata.

“Penggunaan singkatan di Indonesia dan penggunaan kata di Malaysia menjadi dominan karena kedua bentuk neologisme ini mudah dipahami dan berterima di masyarakat,” kata Andi Sukri.

Singkatan dan kata, lanjutnya, lebih banyak muncul karena lebih mudah diproses dalam memori kerja daripada klausa dan kalimat.

Memori kerja menyediakan platform untuk pemprosesan bahasa dengan menyimpan informasi dalam pikiran dan mengintegrasikannya dengan informasi baru selama pemrosesan wacana yaitu pembentukan representasi linguistik baru.

Fenomana neologisme di Indonesia dan Malaysia pada masa pandemi Covid-19 lebih dominan berakar dari istilah medis yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang awam.

“Di masa pandemi Covid-19, istilah-istilah medis secara terus-menerus diproduksi untuk mengarah pada pemahaman konseptual dan kecukupan komunikatif mengenai Covid-19,” kata Andi Sukri.

Bentuk neologisme di Indonesia dan Malaysia pada masa pandemic Covid-19 umumnya merupakan bentuk penggantian. Seperti yang kita ketahui bahwa The World Health Organization (WHO) adalah organisasi internasional yang banyak memunculkan neologisme dalam bahasa Inggris selama wabah Covid-19.

Melalui WHO pada awal pandemi, misalnya, muncul kosakata baru dari bahasa Inggris seperti social distancing.

“Kata ini hampir digunakan seluruh dunia termasuk di Indonesia dan Malaysia, walaupun belakangan ini kata tersebut mengalami penggantian menjadi jaga jarak,” kata Andi Sukri.

Oleh karena itu, berbagai bentuk neologisme yang muncul di Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari adanya kesenjangan konseptual dan terminologis untuk menjelaskan fenomana Covid-19 kepada masyarakat.

“Selain itu, munculnya bentuk neologisme selama pandemi Covid-19, sekali lagi memberikan bukti kuat bahwa bahasa itu dinamis, hidup dan akan terus tumbuh ke berbagai arah seperti gurita,” tutup Andi Sukri.***


-----

Artikel sebelumnya:

Bagian 7:

Hanya Klausa ‘Jaga Jarak’ Yang Muncul Selama Pandemi Covid-19 di Indonesia

Bagian 6:

Neologisme Diciptakan Guna Mengisi Kekosongan Leksikal

Bagian 5:

Enam Kategori Bentuk Neologisme di Indonesia dan Malaysia

Bagian 4:

Andi Sukri Syamsuri: Neologisme Terus Menerus Muncul Sebagai Bagian Alami Evolusi Bahasa

Bagian 3:

Andi Sukri Syamsuri, Alumni Pertama Unismuh Makassar Yang Dibiayai Kuliah S2

Bagian 2:

Andi Sukri Syamsuri Aktif Berorganisasi Sekaligus Mahasiswa Berprestasi

Bagian 1:

Andi Sukri Syamsuri Jadi Profesor Setelah 16 Tahun Sandang Doktor

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama